Sabtu, 14 Mei 2011

NKRI DARUL ISLAM?


Baru-baru ini istilah negara menjadi perbincangan hangat di masyarakat. eksistensi NKRI kembali diperdebatkan ketika isu Negara Islam Indonesia (NII) kembali muncul dalam pentas nasional. Patut menjadi renungan, diskursus perihal relasi Islam dan negara telah lama diperdebatkan, akan tetapi tetap belum terpecahkan secara tuntas, bahkan cenderung mengalami impasse (kebuntuan). Indonesia modern masih terus dalam proses pencarian pola hubungan yang pas antara Islam dan negara.

Istilah negara, memiliki banyak teori yang mendeskripsikan. Secara bahasa, negara berarti organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, atau kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentuntukan tujuan nasionalnya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 777).

Sementara, berdasarkan pendekatan teoritis ada beberapa macam pengertian negara. Pertama, teori ketuhanan, yang menjelaskan negara terbentuk atas kehendak Tuhan. Hal ini berpijak pada diutusnya Nabi Adam ke bumi oleh Allah untuk memulai hidup bersosial. Anak cucunya yang kini telah mencapai miliaran jumlahnya hidup berkelompok dengan menempati area tertentu yang kemudian dinamakan negara.
Kedua, teori perjanjian, yang menyatakan bahwa negara terbentuk karena antarkelompok manusia yang tadinya hidup sendiri-sendiri melakukan perjanjian untuk mengadakan suatu organisasi yang dapat menyelenggarakan kehidupan bersama. Teori ini mengarah pada tatanan kehidupan bersosial. Tinjauannya terletak pada sistem adanya perjanjian atau hasil kesepakatan bersama suatu kelompok yang mempunyai visi dan misi yang sama.

Ketiga, melalui teori kekuasaan. Teori ini berpijak pada kekuasaan yang tercipta dan yang paling kuat. Keempat, teori kedaulatan, yang menjelaskan bahwa setalah asal ausul negara menjadi jelas maka orang-orang tertentu didaulat menjadi penguasa. (Ilmu Negara, Umum dan Indonesia).
Lalu bagaimanakah fiqh memandang pendirikan sebuah negara? Ulama Sunni, Syi’ah, mayoritas Muktazilah dan Murji’ah sepakat bahwa mendirikan negara hukumnya wajib. Dalil yang digunakan adalah hadis imarah.

«إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم»

“Ketika ada tiga orang yang keluar rumah, hendaknya salah satu dari mereka memimpin”
Kalau hanya bertiga saja butuh pemimpin, maka mafhum muwafaqah fahwal khitab tentu menyatakan bahwa perkumpulan umat Islam lebih membutuhkan pemimpin. Tujuan kolektif umat Islam tidak akan tercapai tanpa adanya kepemimpinan imarah (kepemimpinan). Dan kepemimpinan (pemerintahan) inilah yang kemudian menjadi embrio hadirnya sebuah negara, disamping rakyat dan wilayah. (Mughnil Muhtaj, IV, 129; al-Fiqhu al-Islamiy wa adillatuhu, VIII, 414)

Imam Ghazali menyatakan bahwa dunia adalah ladang bagi akhirat. Agama tidak akan sempurna tanpa dunia. Negara dan agama ibarat dua anak kembar. Agama, ibarat batang pohon, sedangkan kepala negara ibarat penjaganya. Sesuatu tanpa batang akan tumbang, dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang terlantar, negara dan peraturan tidak akan terlaksana tanpa adanya pemerintahan. (Ihya’ ulum ad-din, I, 22)

Dengan melihat alasan pendirian negara di atas, sebenarnya masih ada satu pertanyaan. Kewajiban tersebut bersifat syar’i atau aqli? Mayoritas ulama (Sunni dan Muktazilah) berpendapat bahwa kewajiban mendirikan negara bersifat syar’i, karena berlandaskan pada dalil syar’i, sementara Syi’ah Imamiyyah menganggapnya sebagai kewajiban aqli, karena soal negara sesungguhnya soal kesepakatan bersama, bukan soal ada tidaknya dalil.

Negara yang bagaimana yang harus didirikan umat Islam? Negara Islam, negara monarkhi, republik atau negara madinah? Negara manakah yang dapat disebut sebagai negara yang betul-betul prototype Islam; Arab Saudi, Iran ataukah Pakistan? Atau, mungkin kita bisa bertanya, bisakah negara yang hanya mengimplementasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dikatakan sebagai negara Islam, walaupun bentuknya tidak Islam?

Jika dilihat dari sisi historisnya, istilah negara Islam (dawlah Islamiyah) lebih merupakan suatu fenomena modern, hasil perjumpaan antara dunia Islam dan kolonialisme Barat. Deklarasi formal mengenai negara Islam tidak pernah ada selama periode Islam salaf dan abad pertengahan. Istilah negara Islam, sebagaimana diperkenalkan Pakistan dan Iran, tidak memiliki dasar pijakan dalam sejarah politik umat Islam. Dalam wacana tarikh dan fiqh (siyasah), perbincangan politik umat Islam hanya mengenal Dawlah Abbasiyah dan Dawlah Umawiyyah. Pada periode Turki Usmani, istilah dawlah malah digunakan untuk merujuk pada makna giliran. Hal ini menunjukkan bahwa umat manusia ditentukan oleh roda nasib yang memiliki masa kebangkitan dan kejatuhan. Dalam hal ini, masa kebangkitan merujuk pada keberhasilan memperoleh kekuasaan dan wewenang. Gagasan mengontrol kekuasaan atau wewenang inilah yang kemudian dikenal dengan istilah dawlah. (al-Islâm wa Ushûul Hukmi, 92; Tempo, 29 Desember 1984, 17)

Dalam prakteknya di dunia modern, ada tiga paradigma yang menghubungkan Islam dan negara, yakni integratif, fakultatif, dan konfrontatif. Menurut pendekatan pertama, Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan bulat, sehingga Islam juga bisa menjadi dasar negara, syari’ah Islam harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik dan teritorial. (Untuk mengetahui pemikiran selengkapnya, dapat ditelusuri dalam al-Mabâdi` al-Asâsiyah li al-Dawlah al-Islâmiyah atau Nadhariyyat al-Islâm al-Siyâsiyah)

Kedua, paradigma yang mengajukan pandangan bahwa agama dan negara berhubungan secara fakultatif, yaitu berhubungan timbal balik dan saling membutuhkan-menguntungkan. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan negara. Sebab, melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam sinaran etik-moral. (Data lebih lanjut dapat dibaca pada al-Hukûmah al-Islâmiyah atau Mudzakkirat fiy al-Siyâsah al-Mishriyah)

Ketiga, paradigma konfrontatif yang mengajukan konsep pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam, atau menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Agama bukanlah dasar negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan individual semata. Dengan perkataan lain, aliran ini berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang tidak bertali temali dengan urusan kenegaraan. (data selengkapnya silakan baca : al-Fitnah al-Kubra ; al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu`allafat al-Duktur Thaha Husein)

Dengan melihat ketiga paradigma tersebut, fiqh salaf agaknya cenderung ke paradigm kedua. Hal ini tampak misalnya dalam pembahasan darul islam dan darul harb. Daarul Islam, memiliki lima karakteristik. Pertama, negara yang di dalamnya tampak hukum Islamnya, yakni hukum Islam bisa hidup di negara itu maksudnya adalah negara tersebut dapat menjalankan hukum-hukum Islam dan juga melaksanakan aturan-aturan dengan dasar syari’at Islam sebagai kebijakan negara itu; Kedua, negara yang penduduk muslimnya bisa menghidupkan hukum-hukum Islam di dalamnya; ketiga, adalah negara yang semua atau sebagian besar penduduknya beragama Islam; keempat, negara yang pemerintahannya dikuasai oleh kaum muslimin walaupun sebagian besar penduduknya tidak terdiri dari kaum muslimin; dan kelima negara yang dikuasai oleh nonmuslim, akan tetapi kaum muslim dapat mengamalkan hukum Islam di dalamnya. (Syarah Raudlatut Talibin, IV, 204).

Bertolak dari karakeristik darul islam diatas, maka tak ada keraguan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masuk dalam kategori daarul islam karena Pancasila dan UUD 1945 yang dijadikan dasar negara ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jauh sebelum bangsa ini merdeka, pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin tahun 1935, NU telah memberikan status hukum negara Hindia Belanda dengan “negara Islam”. Meskipun saat itu Indonesia masih dikuasai oleh Penjajahan Belanda, tetapi dalam sejarahnya Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam dan orang Islam dapat secara bebas menjalankan syari’at keagamaannya.

Atas nalar ini pula, Konferensi Nasional Alim Ulama NU di Cipanas pada 1954 dan kemudian dikukuhkan oleh Keputusan Muktamar NU ke-20 di Surabaya memutuskan bahwa kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliy al-amri al-dlarûri bi al-syawkah (pemegang pemerintahan secara de facto dengan kekuasaan penuh). Sebaliknya, terhadap Kartosuwiryo yang menggagas Negara Islam Indonesia (NII), Ulama NU memberikan hukum bughat, pemberontakan kepada negara yang sah. (Masalah Keagamaan; Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu-1926 s/d Kedua Puluh Sembilan 1994, 207-208).[eLFa]

2 komentar:

  1. Jika negara ini NII bagaimana ya... pasti banyak yang tangannya pada buntung, kakinya ilang, trus pasti pengangguran di Indonesia jadi tambah buaaanyak. wah susah jadi Negara NII.

    BalasHapus
  2. Wah, pemikiran anda menyedihkan, pak aan--"
    Ingatkah degnan jamannya nabi Muhammad ketika memabangun negeri Madinah, atau khalifah Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, dan jaman kegemilangan saat Islam ditegakkan. Baca sejarah dulu bung, jangan omdo seenaknya!

    BalasHapus