Jumat, 28 Oktober 2011

MENELUSURI KEMBALI CATATAN KURBAN

Tinggal menunggu hari hingga umat Islam seluruh dunia akan mengumandangkan takbir. Sebuah ungkapan kebahagiaan manusia kepada Sang Pencipta atas nikmat dan karunia-Nya. Di hari tersebut baik si kaya dan si miskin melebur menjadi satu seakan tidak ada perbedaan derajat sosial.

Hari tersebut seolah menjadi alat pemersatu umat. Yang kaya merasa gembira bisa membantu yang miskin dan yang miskin gembira mendapat santunan dari yang kaya. Puluhan bahkan ratusan hewan diserahkan oleh orang-orang kaya untuk disembelih sebagai perwujudan syukur mereka terhadap Allah. Ribuan bungkus daging juga dibagikan dan diterima dengan ikhlas sebagai tanda terima kasih.

Hari Raya Idul Adha yang lebih umum oleh orang Indonesia disebut hari raya kurban. Kurban dari etimologi Arab berasal dari lafal Qaraba-yaqrubu-qurbaanan yang berarti mendekatkan diri. Mendekatkan diri kepada Sang Pemberi rizki dengan menyerahkan sesuatu barang bernilai dengan ikhlas.

Dalam pandangan fiqh istilah kurban dalam bahasa arab adalah udlhiyyah atau tadlhiyyah yaitu hewan yang disembelih dari binatang ternak yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada allah mulai dari hari ‘iidin nahri sampai akhir hari tasyriq. (Hasyiyah al-Jamal, XXII, 143)

Kurban sendiri punya sejarah berharga. Pertama, kisah Qobil dan Habil putra Nabi Adam. Mereka berdua berlomba untuk mendapatkan Iqlima. Mereka berdua disuruh oleh Nabi Adam untuk mempersembahkan kurban pada Allah sebagai penentu siapa yang berhak atas Iqlima. Akhirnya, ada api turun membakar kurban habil. Api itu menandakan bahwa kurban Habil diterima dan kurban Qobil tidak diterima.

Kedua, diilhami dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Dalam mimpinya, Nabi Ibrahim diperintah Allah agar menyembelih anaknya Ismail. Tepat pada 10 Dzulhijjah, Nabi ibrahim menunaikan perintah Allah. Namun, ketika hendak menyembelih Ismail, Allah menggantinya dengan domba dari langit. Setelah selesai menyembelih domba, Nabi Ibrahim dan Ismail kecil mendendangkan takbir menuju rumah.

Sampai sekarang, kurban masih disyariatkan bagi umat Muhammad. Sedangkan hukumnya sunnah muakkadah bagi umat Muhammad. Dan sunnah muakkadah ini dibagi lagi menjadi sunnah kifayah jika mempunyai anggota keluarga dan menjadi sunnah ‘ain jika tidak memiliki anggota keluarga. Sedangkan bagi Nabi Muhammad sendiri, kurban diwajibkan. (Hasyiyah al-Jamal, XXII, 143)

Adapun dalil berkurban yang sudah akrab di telinga kita ialah:

فَصَلِّ لِرَبِّك وَانْحَر

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (QS. al-Kautsar, 2)

Dalam Islam sebuah pengorbanan kepada Tuhan bukanlah hal remeh. Buktinya Islam memberi batasan dan ketentuan untuk hewan kurban yaitu Bahiimatul an’am : meliputi kambing, sapi, unta, kerbau dan domba baik betina, khunsa (banci), ataupun jantan walaupun dikebiri. (Hasyiyah al-Jamal, XXII, 152)

Selanjutnya, hewan-hewan tersebut tidak boleh cacat fisik. Seperti pincang, buta, tak berekor. Semisal pecah tanduknya atau sobek kupingnya, tetap dibolehkan menggunakannya. Karena hal-hal tersebut tidak menandakan kurangnya daging hewan tersebut. Hewan kurban juga disyaratkan harus memiliki usia minimal yang telah ditetapkan. Yaitu kambing 1 tahun, sapi atau kerbau 2 tahun, unta 5 tahun. (Hasyiyah al-Jamal, XXII, 153)

Ketentuan-ketentuan di atas tentu mencitrakan bahwa Islam adalah rahmat. Islam tidak hanya memperhatikan tentang adab sopan santun kepada Allah, tapi juga menengok adab kasih sayang kepada sesama manusia. Dengan bukti sama-sama diperhatikannya antara si kaya dan si miskin. Dan mencerminkan bahwa si miskin masih memiliki harkat dan martabat.

Jika kurban itu diambil dari hasil iuran, maka yang diperbolehkan adalah satu kambing untuk satu orang. Sedangkan unta, sapi, atau kerbau untuk tujuh orang. (Hasyiyah al-Jamal, XXII, 164 & 167)

Dalam ritual kurban dikenal “tanggal” di mana kurban dilaksanakan. Umat Islam diberi aturan bahwa waktu kurban ialah setelah sholat Idul Adha yaitu dua rakaat dan dua khotbah. Apabila tidak melaksanakan sholat, maka waktunya dikira-kirakan setelah sholat dua rakaat dan dua khotbah. Dan batas akhirnya, akhir hari tasyriq yaitu terbenamnya matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah. Apabila melebihi dari hari tasyriq maka tidak dianggap kurban. Tapi dianggap sebagai sedekah biasa. Jika kurbannya nadzar, maka wajib menyembelih walaupun waktunya sudah terlewat karena wajibnya kurban yang dinadzari dan kewajiban itu tidak gugur sebab tergelincirnya waktu. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, VIII, 387)

Kemudian, kepada siapa kurban itu diberikan?

Daging kurban hanya boleh diberikan kepada orang Islam, sedangkan kepada orang kafir hukumnya tidak boleh. Dalam kitab al-Majmu’ diterangkan bahwa boleh memberikan daging kurban kepada kafir dzimmy yang fakir dengan syarat kurban tersebut adalah kurban tathawwu’ (sunah). Apabila kurbannya wajib (nadzar) maka hukumnya tidak boleh. Dalam pembagiannya, daging kurban harus dibagikan dalam keadaan mentah, agar daging tersebut dapat dimanfaatkan sesuai kehendak si penerima. (Hasyiyah al-Bujairomy Ala al-Khathib, XIII, 244)

Lalu bagaimana dengan mudlohhi (orang yang berkurban), apakah dia boleh memakan daging kurban miliknya sendiri tadi?

Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa bahwa mudlohhi wajib memakan kurban tersebut walaupun sedikit, karena firman Allah :

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. al-Hajj, 28)

Namun qaul yang shahih berpendapat lain yaitu tidak mewajibkan bagi mudlohhi untuk memakan daging kurbannya tersebut, tetapi sunah untuk ikut memakan sebagian kurbannya. Ini jika kurban itu kurban tathawwu’. Tapi jika kurban nadzar, hukumnya adalah haram memakannya. Imam Haramain dan Imam Ghozali berpendapat bahwa menyedekahkan semua itu lebih baik, jika tidak disedekahkan semua, maka apa yang harus dilakukan? Qaul qadim Imam Syafi’i mengatakan bahwa separuh daging dimakan sendiri, dan separuh lainnya disedekahkan. Sedangkan menurut qaul jadid, sepertiganya dimakan sendiri dan dua pertiganya disedekahkan. Dan banyak ulama’ lain yang menukil qaul ini dengan memerincinya lagi, yaitu sepertiga dimakan sendiri untuk tabarruk, sepertiga disedekahkan kepada fakir miskin, sepertiga dihadiahkan kepada para aghniya’ (orang kaya). (Tafsir Ibnu Katsir, V, 416, Kifayah al-Akhyar, II, 241)

Daging kurban tidak boleh dijual dan juga tidak boleh digunakan sebagi ujroh (upah) bagi panitia pelaksana kurban atau penyembelih, meskipun kurban tersebut adalah kurban tathawwu’. Karena adanya daging kurban untuk dibagi-bagikan dan bukan untuk keperluan yang lain. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa menjual daging kurban hukumya boleh. (Kifayayatu al-Akhyar, II, 242)

Adapun hikmah yang dapat kita ambil dari ibadah kurban adalah menambah taqarrub kepada Allah. Juga sebagai wahana menumbuhkan keakraban antar warga dalam bersosialisasi dengan menghilangkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Semoga amal kurban kita kali ini diterima Allah dengan balasan yang berlipat ganda. [eLFa]

BULETIN MA’HAD QUDSIYYAH, EL-FAJR, Edisi 11

Jumat, 21 Oktober 2011

MEMBIASAKAN MEMBACA SHALAWAT NABI

Dalam kehidupan ini, kemajuan teknologi di segala bidang membuat kehidupan terasa semakin mudah. Jarak dan waktu seakan tak lagi membuat manusia kerepotan. Dengan sekali klik, kita bisa dengan mudah mendapatkan segalanya dalam hidup ini. Kendati demikian, kemudahan yang diberikan tidak lantaran membuat persoalan semakin berkurang dan mudah diatasi. Terkadang persoalan kehidupan justru kian pelik dan sulit diselesaikan.

Hal inilah yang seharusnya menjadi sarana manusia untuk bertafakkur dan membuat hati untuk tetap tenang dalam menghadapi problematika kehidupan. Sebab dengan hati yang tenang dan kita akan mudah mencari jalan keluar. Salah satu hal yang bisa membuat hati menjadi tenang adalah dengan membiasakan diri membaca shalawat atas Nabi Muhammad saw.

Al- ‘Allamah Sayyid Abdurrahman ibn Mustofa al- Idrus (Mesir), menjelaskan dalam kitab Mira’atussyumush fi Manaqibi Ali al- Idrus, bahwa di akhir zaman nanti ketika sudah tidak ditemukan seorang murrabbi atau mursyid (guru spiritual) yang memenuhi syarat, maka tidak ada satupun amal yang bisa mengantarkan seseorang wushul (ma’rifat) kepada Allah kecuali bacaan shalawat kepada baginda Nabi Muhammad saw baik dalam keadaan tidur maupun terjaga.

Dari sisi hukum, para ulama sepakat atas diwajibkannya membaca salawat atas Nabi. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat mengenai kapan dan berapa kali umat Islam diwajibkan membaca salawat. Menurut Imam Malik, membaca shalawat cukup sekali seumur hidup. Sedang menurut Imam Syafi’i umat muslim wajib membaca shalawat setiap kali dalam tasyahud (tahiyat) akhir dalam masing-masing salat. Menurut ulama lain, wajib membaca salawat satu kali dalam setiap majlis. Ada juga ulama lain yang berpendapat bahwa membaca shalawat wajib dilakukan setiap kali mendengar nama Nabi disebut. Ada pula yang berpendapat wajib untuk memperbanyak bacaan shalawat. Secara umum, membaca shalawat merupakan hal yang begitu agung dan tentu saja memiliki banyak keutamannya.

Shalawat sebagai penghantar ma’rifat kepada Allah bagi pengamalnya, dan tidak diharuskan membutuhkan mursyid (guru). Hal ini karena guru dan sanadnya (silsilahnya) langsung melalui Nabi (Hasyiyah Shawi al-Jalalayn). Ketentuan ini berbeda dengan dzikir. Dzikir (selain salawat) harus melalui bimbingan guru spiritual (mursyid) yang sudah mencapai derajat ma’rifat, jika tidak demikian maka akan mudah dimasuki setan, dan pengamalannya akan sangat sulit mendapat ma’rifat.

Keistimewaan serta buah dari shalawat sangat banyak. Dalam kitab Is’adur Rofiq, karangan Syekh Muhammad Ibn Salim disebutkan, keistimewaan salawat antara lain turunnya rahmat (anugerah), sarana penghapus dosa dan keburukan, mendatangkan hajat (kebutuhan), menghilangkan problematika yang sulit dipecahkan, sebagai penerang hati dan mendapat ridha Allah swt, mengetahui segala yang ghaib, menghilangkan aura panas seseorang menjadi dingan dan menjadikan berwibawa.

Dengan demikian, membiasakan diri membaca shalawat jelas sangat penting. Ini mengingat begitu banyaknya manfaat yang bisa diraih. Dalam konteks sekarang, makin banyaknya problem dalam kehidupan ini salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan semakin banyak membaca salawat. Semakin banyak membaca shalawat, selain sebagai bentuk cinta kepada Nabi juga sebagai sarana memohon kepada Allah agar membuat hati kita lebih tenang dan lebih nyaman. Dengan demikian, dalam menghadapi segala kesulitan dan tantangan akan selalu melihat dengan jiwa yang positif .

Bahkan, fatwa Sayyid Bakri Ibn Muhammad Syata, menyatakan shalawat mengantarkan wushul kepada Allah swt serta dapat melimpahkan rizki. Barang siapa yang memperbanyak salawat, maka jasadnya diharamkan Allah dari api neraka. So, tak ada keraguan lagi kan dalam membaca shalawat!

Sebaiknya, orang yang membaca salawat hendaklah dalam keadaan yang paling sempurna, yakni suci badannya, punya wudlu, menghadap kiblat, menghayati keagungan baginda Nabi dengan bermaksud tercapainya keingainan dan cita-cita, mengucapkan dengan tartil dan tidak tergesa-gesa dalam mengucapkan kalimat-kalimatnya.

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya bersalwat kepada Nabi . Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kepadanya (Nabi) dan berilah salam sesungguh salam kepadanya. (Q.S. Al Ahzab: 56) (*)

* Tulisan ini di muat di “Cermin Hati” Radar Kudus Edisi Jum’at, 21 Oktober 2011

** Penulis adalah Ustadz Ma’had dan MI Qudsiyyah Kudus

Minggu, 16 Oktober 2011

KONTINGEN SANTRI MA’HAD RAIH JUARA UMUM

QUDSIYYAH, KUDUS – Kontingen santri Ma’had Qudsiyyah meraih hasil terbaik dalam perkemahan santri pondok pesantren se-kabupaten Kudus tahun ini. Dalam acara yang digelar di bumi perkemahan Kajar, Colo Kudus pada Sabtu hingga Ahad (15-16 Oktober 2011), tim santri Ma’had Qudsiyyah meraih juara umum putra mengungguli kontingen dari pesantren yang lain.

Dalam kesempatan tersebut, santri Ma’had yang dipimpin langsung oleh ketua PSMQ (Persatuan Santri Ma’had Qudsiyyah), Amal Fuad, meraih tiga piala juara pertama sehingga berhak mendapatkan piala tergiat kategori sangga putra atau juara umum. Piala pertama disumbangkan oleh pidato Bahasa Arab oleh Khotibul Umam Annahar yang meraih juara pertama. Piala selanjutnya diraih melalui tim Lomba Cerdas Cermat (LCC) yang diikuti oleh M Nashirul Haq, M Zidni Nafi’, dan A Latif. Dalam kesempatan tersebut tim Ma’had sukses mengandaskan lawan-lawannya dalam lomba cerdas cermat yang bermaterikan keislaman, pengetahuan umum, dan kepramukaan.

Piala ketiga disumbangkan melalui lomba kreasi musik islami yang menampilkan variasi rebana. Tim yang diikuti oleh Musfar Munji, M Miftahul Albab, Amal Fuad, (vocal) A Sya’roni, Zahlul Firza, Arif Setiawan, dan Hudzaifi Al Hasani (personil alat musik rebana) menampilkan dua lagu andalan yakni Ya amanal khaifin dan anta nuskhotul akwan. Dua lagu tersebut mampu memukau dewan juri dan seluruh penonton dan mengantarkan meraih juara satu. (*)

Jumat, 14 Oktober 2011

HATI-HATI SMS BERHADIAH

Sudah jamak di kalangan kita, banyak acara yang bertaburan iming-iming hadiah besar. Di televisi misalnya, banyak acara yang menyelenggaraannya didukung dengan kuis melalui polling SMS. Semisal kontes menyanyi, da’i, lawak, olahraga dan lain-lain. Acara ini juga menawarkan hadiah yang menarik sehingga banyak masyarakat tergiur dengan hadiah-hadiah tersebut. Cukup dengan mengirimkan SMS (Short Message Service), peluang jadi jutawan sudah di ambang mata. Semakin banyak SMS yang dikirimkan maka semakin besar peluang untuk jadi jutawan. Tapi sebaliknya, jika tak jadi jutawan, banyak pulsa melayang. Cara yang ditawarakan dalam kuis itupun cukup mudah, yaitu dengan mengirimkan SMS. Operator akan mengundi nomor-nomor yang masuk, dan yang keluar itulah yang jadi pemenang dan tak mustahil menjadi orang kaya mendadak.

Model kuis SMS pun bervariasi Ada model kuis SMS memberikan dukungan kepada sang idola Biasanya cukup dengan mengetik nama idola yang sedang bertarung dalam kontes menyanyi atau da’i. Kalu beruntung, nomor anda akan keluar sebagai pemenang. Model lainnya, seperti dalam kuis dalam olah raga. Model ini dengan cara mengacak semua nomor yang masuk, kemudian nomor HP yang muncul akan dihubungi dan mendapatkan pertanyaan dari pihak penyelenggara. Kalau jawabannya tepat akan diberi hadiah. Dan masih ada juga model-model mekanisme kuis SMS berhadiah yang lain.

Lalu, bagaimana hukum kuis SMS jika dipandang dari kacamata fiqh?

Praktik semacam ini erat kaitannya dengan judi. Menurut Islam, judi adalah permainan yang di dalamnya terdapat kebimbangan antara untung dan rugi, sehingga membuat para audiensnya berharap-harap cemas. Dalam kitab-kitab salaf, judi biasanya disebutkan dengan menggunakan kata qimar atau maysir. Tapi antara qimar dan maysir tetap ada perbedaan yang sangat tipis sekali. Berangkat dari Hadits “كل قمار ميسر”, bisa difahami bahwa kata maysir lebih umum daripada kata qimar. Sehingga dapat disimpulkan setiap qimar adalah maysir, tapi setiap maysir belum tentu qimar. (Hasyiyatu al-Jamal, XXII, 269; Tafsir at-Thobari, IV, 323) Beberapa ulama juga ada yang berpendapat bahwa maysir dan qimar itu sama. Dan di sini kita anggap saja sama yaitu “judi”. (al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, XX, 117)

Keharaman pada judi baru muncul ketika pada zaman nabi kita yaitu Nabi Muhammad. Sedangkan pada nabi-nabi sebelumnya judi belum dilarang. (al-Mabsuth, XIII, 52)

Al-Qur’an juga angkat bicara tentang masalah perjudian:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah, 90)

Ayat ini turun karena adanya perjudian yang dilakukan orang-orang Arab Jahiliah zaman dahulu. Ada sepuluh orang pemain membeli seekor unta lalu disembelih dan dijadikan 28 (dua puluh delapan) bagian. Kemudian mengambil sepuluh lembar potongan kayu yang pada masing-masing lembar ditulisi al-Fadzdz berisi 1 bagian, al-Tauam berisi 2 bagian, al-Raqiib berisi 3 bagian, al-Hils berisi 4 bagian, al-Nafiis berisi 5 bagian, al-Musbil berisi 6 bagian, al-Mu’alla berisi 7 bagian (jumlah 28 bagian), al-Maniih Nihil, al-Safiih Nihil dan al-Waghd Nihil. Lalu lembaran kayu itu dikocok dan diambil oleh masing-masing pemain. Yang mengambil Al-Maniih, Al-Safiih dan Al-Waghd adalah pihak yang kalah dan harus membayar harga unta tersebut, sementara tujuh orang pemain lainnya tidak berkewajiban apa-apa. Kemudian daging unta itu dibagi-bagikan kepada fakir miskin. (Tafsir al-Maraghy, I, 139 – 140).

Semua yang mengandung taruhan itu termasuk maysir, sehingga permaianan anak-anak pun bisa masuk dalam kategorinya. Media yang banyak digunakan sekarang seperti kartu, dadu, domino, kelereng, catur, dan sebagainya oleh anak-anak ataupun orang dewasa. Menurut Imam Malik, judi dibedakan menjadi dua macam : Pertama, maysirul lahwi yaitu perjudian dengan menggunakan alat-alat seperti dadu, catur, alat musik dan lainnya. Kedua, maysirul qimar yaitu perjudian yang mempunyai resiko-resiko antara rugi-untung. (al-Jami’ Li al-Ahkami al-Qur’an Li al-Qurthuby, I, 632)

Adapun perlombaan yang digambarkan oleh syara’ dalam hal ini, seperti yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab salaf, dibagi dalam dua jenis model. Pertama, jika sumber hadiah perlombaan berasal dari salah satu pihak (yang mengikuti lomba). Seperti ketika seseorang berkata pada lawan tandingannya, “Jika kamu dapat menang atasku maka kamu mendapatkan sesuatu dariku tetapi jika aku menang darimu, aku tidak mendapat apapun darimu”. Dan secara singkat perlombaan ini bersifat dari salah satu pihak yang berani mempertaruhkan sesuatu yang dimilikinya.

Kedua, jika sumber hadiah pemenang berasal dari pihak yang kalah seperti ketika seseorang menantang lawannya dan berkata,”Jika aku menang maka aku mendapatkan sesuatu darimu dan jika kamu menang maka kamu mendapat sesuatu dariku”. Proses semacam ini, hadiah dari kedua belah pihak, hukumnya haram. Tapi model ini bisa jadi diperbolehkan dengan syarat adanya muhallil (pihak netral yang menjadi penengah antara kedua belah pihak). Disebut muhallil karena dia adalah penyebab halalnya perlombaan. Muhallil sendiri, apabila menang mendapatkan hadiah yang berasal dari kedua belah pihak, tetapi jika kalah maka ia tidak membayar uang (harta) yang menjadi sumber hadiah. (al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, XV, 150; Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, XXVII, 309)

Muhallil juga disyaratkan harus memiliki kompetensi dalam bidang yang diperlombakan. Jadi, jika muhallil diyakini pasti kalah maka hal itu menjadikan perlombaan ini tetap tidak sah karena wujuduhu ka ‘adamihi (wujudnya seperti tiadanya) dan keberadaanya tidak ada artinya. (Ibaanah al-Ahkam, III, 184)

Ada sebuah hadits yang berbunyi :

مَنْ أَدْخَلَ فَرَسًا بَيْنَ فَرَسَيْنِ وَهُوَ آمِنٌ أَنْ يَسْبِقَ فَهُوَ قِمَارٌ ، وَمَنْ أَدْخَلَ فَرَسًا بَيْنَ فَرَسَيْنِ وَهُوَ لَا يَأْمَنُ أَنْ يَسْبِقَ فَلَيْسَ بِقِمَارٍ

Barang siapa yang memasukkan seekor kuda di antara dua kuda dan dia merasa aman untuk menang, maka itu judi. Barang siapa yang memasukkan seekor kuda di antara dua kuda dan dia merasa tidak aman untuk menang, maka itu judi.

Di hadits ini, seorang muhallil (orang yang masuk antara dua orang yang berlomba), jika ia merasa aman, artinya tidak ada usaha untuk meraih juara (yakin kalah), maka termasuk judi. Tapi jika memungkinkan untuk menang, maka tidak judi. (Fatawy al-Kubra, VII, 17)

Lalu bagaimana dengan SMS berhadiah yang sekarang marak terjadi? Bisakah dianggap sebagai judi?

SMS berhadiah, kadang bertarif normal, kadang juga bertarif premium (premium call). Jika tarif SMS-nya normal, jelas tidak mungkin ada judi. Karena tarif itu adalah biaya kirim SMS, bukan masuk ke penyelenggara.

Tapi jika tarifnya premium, bisa jadi termasuk judi, karena kelebihan biaya pengiriman tadi dikirim ke penyelenggara untuk dikumpulkan sebagai modal pembelian hadiah. Premium Call adalah Layanan Informasi yang disediakan oleh Penyedia Jasa Informasi kepada pemanggil sebagai pengguna jasa, dimana biaya pemakaian pulsa premium seluruhnya dibebankan kepada pemanggil. Manfaatnya, bagi masyarakat mendapatkan jasa informasi yang dibutuhan seperti konsultasi kesehatan, infotainment, Party line, dll. Bagi service provider (penyelenggara) memperoleh pembagian pendapatan pulsa atas layanan informasi yang disediakan.

Bisa jadi juga tarif premium ini tidak temasuk judi, semisal tarif premium yang masuk ke penyelenggara digunakan untuk biaya administrasi. Dan hadiahnya bersumber dari sponsor atau penyelenggara, bukan berasal dari seluruh audiens. Atau, jika ada muhallilnya yang ikut berpartisipasi dalam kuis itu tanpa harus membayar sepeser pun kecuali biaya operasional. Tapi, penyelenggara mengadakan muhallil rasanya tidak mungkin.

Namun pada akhirnya, alangkah lebih baik jika kita tidak ikut-ikutan kuis berhadiah itu. Alasan utamanya adalah karena tidak adanya transparansi atau kejelasan dari penyelenggara mengenai sumber hadiah dan ada atau tidaknya muhallil yang bisa menghalalkannya. [eLFa]

Jumat, 07 Oktober 2011

TAMPIL MENAWN ITU PENTING

Di tengah perkembangan dunia, fashion merupakan salah satu hal yang terus berkembang dan terus update setiap saat. Satu mode belum layak dianggap lawas, mode lain sudah muncul. Semakin banyak trend pakaian, mulai dari yang islami sampai model bikini. Itu adalah upaya manusia untuk mempercantik diri agar lezat dipandang. Bukan hanya kaum Hawa, kaum Adam pun demikian.

Karena fashion, dengan style dan ukuran yang begitu beragam, orang kadang memandangnya dengan sebutan sok nggaya dengan alasan mubadzir atau israf. Ini salah satunya karena begitu banyaknya komponen yang tersusun merupakan bahan paling unggul, bahkan dipenuhi dengan pernik-pernik dan hiasan yang super. Namun di sisi lain, pakaian yang indah dan bagus adalah sesuatu yang mendamaikan mata.

Hemmm, seperti apa sih Islam memandangnya? Apakah hal itu termasuk mubadzir atau israf? Atau justru malah masuk dalam suatu amaliyah yang baik dikarenakan dapat menenteramkan pandangan?

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:

يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan & minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.(al-A’raf, 31)

Ayat ini berbicara tentang memakai pakaian, makan, dan minum. Dan semua hal ini ada hubungannya dan saling terkait dengan israf.

Israf didefinisikan dengan suatu sikap melebih-lebihkan dalam peggunaan sesuatu yang sudah kiranya cukup dalam memenuhi kebutuhan. Sementara mubadzir, adalah menggunakan sesuatu (barang) yang mana penggunaannya tidak pada haknya. Bedanya, Israf lebih cenderung dilihat dari sisi kuantitasnya (jumlahnya), sedangkan mubadzir dilihat dari sisi penggunaannnya. Keduanya termasuk sifat yang dilarang agama dan masuk kategori sifat madzmumah (tercela). Tetapi sifat madzmumah mubadzir lebih besar daripada israf Hal ini karena israf itu salah dalam jumlahnya, tapi benar dalam penggunaannya. Sedangkan mubadzir itu salah dalam penggunaannya. Dan mungkin akan berimbas kerugian pada diri sendiri ataupun orang lain. (Adabu ad-Dunya Wa ad-Din, I, 448)

Batasan mubadzir dan israf itu ada selama masih dalam haknya. Pada konteks ini kita berbicara tentang style dalam pakaian. Selama pakaian itu digunakan sebagaimana mestinya, maka tidak mubadzir. Selama pakaian itu tidak melebihi kebutuhan, maka tidak israf. Seperti diberitakan dalam Harian Jawa Pos (25 September 2011) ada pengantin yang memakai gaun dengan panjang sampai 3 Kilometer. Tidakkah hal ini berlebihan???

Tetapi ada juga, penggunaan sedikit namun dianggap israf. Yaitu makan makanan, minum minuman, atau memakai pakaian yang diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Semua itu termasuk israf walau sedikit. Seperti makan bangkai, minum arak, memakai barang ghasab, dan lain-lain. (Syarhu an -Nail Wa Syifau al-’Alil-Ibadhiyah, XXXII, 436)

Sebaliknya, ada juga hal berlebihan yang tidak termasuk israf. Yaitu berlebihan dalam hal kebaikan seperti sodaqoh, memerdekakan budak, membangun masjid, madrasah, dan yang menyerupai, semua itu tidak termasuk dalam kategori israf ataupun mubadzir. (Raudhatu at-Thalibin Wa ‘Umdatu al-Muftin, II, 51).

Imam Haramain dan Imam Ghozali berpendapat bahwa makan makanan lezat itu termasuk mubadzir. Tapi mayoritas ulama justru berpendapat sebaliknya, dikarenakan harta itu ada untuk dimanfaatkan dan dinikmati. Dan makanan tercipta untuk dinikmati. Begitu pula berpakaian bagus, memperbanyak budak dan bersenang-senang dengan budak itu, dan sebagainya. (Raudlatu at-Thalibin Wa ‘Umdatu al-Muftin, II, 51, Syarhu al-Wajiz, X, 284)

Lalu bagaimana dengan tajammul (berhias / tampil menawan)?

Tajammul dianjurkan ketika akan menjalani shalat, karena hakikat shalat adalah menghadap Sang Pencipta. Di mana kita harus bertata rapi ketika akan bertemu dengan-Nya. Keterangan ini berangkat dari mafhum kalimah ‘inda kulli masjidin yang telah termaktub di ayat di atas. Lafal ‘masjidin’ di atas bersifat umum. Tidak hanya dalam sholat, lafal itu bisa juga dikonotasikan dengan thawaf, dan thawaf itu khusus di Masjidil Haram. Dan tidak juga termasuk tajammul, sesuatu yang menutupi aurat. Karena itu termasuk perintah yang wajib dilakukan (pokok). (Tafsir al-Bakhru al-Muhith, V, 335)

Dalam hadits Arbain dikatakan :

ان تعبد الله كانك تراه وان لم تكن تراه فانه يراك

Ketika kau beribadah (sholat) menyembah Allah, seakan-akan kau melihat-Nya dan kalau tidak bisa melihat-Nya, seakan-akan kau dilihat-Nya.

Selain itu, apakah kita tidak malu kepada Allah, jika berpenampilan kurang pantas di hadapan-Nya. Sedangkan kalau kita pergi ke rumah calon mertua saja berdandan sangat necis. Maka dari itu tajammul dianjurkan, walaupun memang Allah pasti tahu apa yang berada berada dalam balik pakaian.

Juga ada hadits:

ان الله تعالى يحب اذا انعم على عبده نعمه ان يرى اثرها عليه

Sesungguhnya Allah ketika memberi nikmat kepada hamba-Nya, senang jika nikmat itu diperlihatkan.(Bahr al-Fawaid al-Musamma Bi Ma’ani al-Akhyar Li al-Kilabadzi, I, 103)

Bahkan dalam suatu hikayat, Imam Abu Hanifah pernah memakai rida’ yang harganya sangat mahal yaitu 400 dinar (1 dinar = ± 4,5 gram emas). Ini merupakan bentuk beliau dalam menghargai nikmat. Dan beliau juga memerintahkan kepada pengikutnya dan seraya berkata, “Sesungguhnya manusia melihatmu dengan mata rahmat”. (Takmilah Hasyiyah Radd al-Mukhtar, I, 346).

Ringkas cerita, agama memperbolehkan tajammul, ataupun israf, selama masih dalam koridor-koridor seperti yang tersebut di atas. Jadi, para pembaca silahkan ber-style ria tapi jangan lupa perhatikan juga syari’atnya. Masih banyak kan busana muslim/muslimah yang cocok antara kemajuan zaman dan agama. [eLFa]