Jumat, 27 Mei 2011

MASUK WARNET, JANGAN MAKSIAT!


Masih ingat salah seorang anggota DPR RI yang tertangkap basah nonton video porno saat sidang paripurna di Jakarta 8 April lalu. Kejadian ini menggegerkan warga yang berakhir dengan pengundurkan dirinya dari kursi legislatif. Nah, itulah salah satu kasus dari dampak negatif teknologi. Kita dapat melihat, teknologi sekarang ini sudah sangat maju di belahan dunia manapun. Sehingga, dunia ini bagai tanpa sekat, lebih-lebih bila internet menghubungkannya.

Internet merupakan sebuah sistem komunikasi global yang menghubungkan komputer dan jaringannya di seluruh dunia. Jika kita amati, internet mengandung beberapa hal. Misalnya hal-hal yang positif seperti sebagai media pendidikan, dakwah, dan lain sebagainya. Selain itu ada juga hal-hal negatif, seperti dipergunakan untuk menonton film atau gambar-gambar pornografi.

Pada dasarnya menonton pornografi dapat membangkitkan syahwat. Dalam ushul fiqh hal ini masuk dalam konsep sadd al dzari’ah (menutup jalan yang bisa mengarah pada kerusakan). Sehingga secara umum menonton pornografi hukumnya haram. Keharaman ini karena perbuatan tersebut diduga kuat mengandung mafsadah. Orang yang menonton pornografi ini diduga kuat selalu bangkit syahwatnya yang seringkali mengakibatkan timbulnya perzinahan yang dilarang dalam Islam. (Ushul Fiqh Abu Zahroh, 291)
Dalam kondisi tertentu, perbuatan ini memang diperbolehkan jika ada keperluan syar’i, yakni keperluan yang dibenarkan secara syariat. Misalnya pihak berwenang (polisi dan hakim) diperbolehkan melihat pornografi saat melakukan pemeriksaan dan penyidikan. Juga, dibenarkan dalam fiqh, laki-laki melihat aurat perempuan ketika ada hajat. Seperti dalam hal pengobatan, persaksian zina, persaksian kelahiran, dan persaksian penyusuan. Bahkan dalam persaksian zina dan persaksian kelahiran diperbolehkan melihat kemaluan wanita yang bersangkutan. (Raudhah al Thalibin, II, 458)

Internet sendiri, penggunaannya semakin meluas, mulai dari anak di bawah umur sampai orang dewasa, bahkan orang tua. Tidak heran jika hal ini menjadi peluang usaha yang cukup menjanjikan. Semakin banyak orang yang membutukan internet, maka warnet (warung internet) pun semakin menjamur.

Pada dasarnya warnet disediakan untuk membantu menjelajahi dunia maya, sedang apa yang ada di dunia maya tersebut ada yang baik dan ada yang buruk, ada maslahat dan ada pula maksiyat. Demikian pula si pengguna warnet, mereka tidak hanya orang-orang yang baik dengan niat baik, tapi ada pula orang-orang yang berniat tidak baik. Lantas bagaimana fiqh memotret fenomena ini?
Dimulai dari transaksi penggunaan warnet, dalam literatur fiqh, transaksi ini masuk dalam kategori akad ijârah (sewa). Pengertiannya, ijârah adalah memberikan kemanfaatan dengan menerima ganti/upah dan dengan syarat-syarat tertentu. (Fathul Mu’in, III, 129, Hâsyiyah al-Jamal, XIV, 308)
Adapun syarat-syarat tersebut, Pertama, barang/jasa yang disewakan harus diketahui oleh kedua belah pihak. Dalam konteks ini berupa layanan jasa internet bagi user (pengguna). Kedua, biaya/upahnya harus transparan. Tarif penggunaan internet harus transparan, yaitu biaya perjamnya sudah ditentukan dan dihitung berdasarkan durasi waktu yang ada. Dan yang terakhir, rentang waktu pemanfaatan barang yang disewakan harus jelas (diketahui oleh kedua belah pihak) karena waktu ditunjukkan oleh mesin penghitung maka keduanya sama-sama mengetahui tentang waktu pemakaianya (Tuhfatul Fuqahâ’, II, 347)

Selain itu, ijârah memiliki beberapa rukun yaitu shighat, ujrah, manfaat dan ‘aqid. Shighat adalah ijab qabul. Bentuk shighat secara umum memang harus melalui lisan tapi bisa juga menggunakan isyarat, tulisan atau kebiasaaan yang sudah dimaklumi oleh kedua belah pihak (Asna al-Mathallib, XII, 77). Rukun yang pertama kiranya sudah terpenuhi karena ketika operator warnet menyediakan warnetnya, berarti sudah menyatakan warnetnya ini disewakan. Kemudian dari pihak user, dirinya masuk ke dalam warnet dan menggunakan, disertai dengan mengetahui besar biaya pembayarannya, menunjukkan bahwa dia setuju dengan penyewaan itu.
Kedua, ujrah (upah/biaya sewa) disyaratkan harus diketahui oleh keduanya juga (Raudlatu at-Thalibin, II, 206). Ketiga, adanya manfaat (kegunaan benda yang disewakan). Adapun syarat dari pemanfaatan barang tersebut harus merupakan barang yang bernilai, tidak habis ‘ain-nya (bendanya) bila dipakai, dan manfaatnya harus sampai kepada penyewa. (Raudlatu at-Thalibin, II, 207-208). Keempat yaitu aqid, meliputi mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang menyewa). Keduanya harus berakal dan baligh. Jadi kesimpulannya, mu’jir dan musta’jir tidaklah boleh orang yang tidak berakal seperti orang gila dan tidak pula orang yang belum baligh seperti anak kecil.(Raudlatu at-Thalibin, II, 206)

Kemudian bagaimana hukum menyewakan warnet tersebut, padahal ada potensi digunakan untuk kemaksiatan? Begini, jika pemilik berkeyakinan atau mempunyai dugaan kuat akan digunakan untuk kemaksiatan, maka haram menyewakannya. Tapi jika operator warnet masih syak (ragu) akan digunakannya untuk proses kemaksiatan, maka makruh hukumnya, tapi kalau telah diketahui sudah banyak terjadi kemaksiatan maka hukumnya berubah menjadi haram secara mutlak dikarenakan saddan lidz dzarâi’ (mencegah sebelum terjadi). (Bughyatul Mustarsyidin, 126).

Selanjutnya, bagaiman hukum operator warnet mengawasi para user untuk memastikan adanya kemaksiatan di dalam bilik warnet? Mengenai ini, hukumnya di-tafshil (dirinci). Jika operator warnet meyakini atau menduga kuat bahwa ada unsur kemaksiatan, maka wajib untuk mengawasi dan mengingatkan konsumen untuk tidak melakukan hal tersebut seperti melakukan perbuatan mesum atau menonton film berbau porno. Ini dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Namun, bila tidak diyakini atau diduga kuat, maka operator warnet tidak diperkenankan memantau para konsumen. Hal ini didasarkan pada belum jelasnya kemungkaran yang terjadi di dalam warnet. Dan bisa-bisa ini akan menimbulkan tajassus (membahas dan meneliti aib orang lain). (Sulam at-Taufiq, 79, Bughyatul Mustarsyidin, 250; I’anatu at-Thalibin, IV, 308; Ihya’ Ulum ad-Din, IV, 389; Al Bajuriy Ala Ibnil Qasim Al Ghaziy, II, 04).

Nah, kalau sudah diketahui terjadi kemaksiatan, lalu apakah si pemilik warnet ikut bertanggung jawab, padahal dia belum tentu tahu tentang adanya kemaksiatan tersebut? Memang, kemaksiatan di negeri ini cocok dengan kata pepatah “mati satu tumbuh seribu”. Satu tumbuh, dibasmi, tumbuh lagi, dibasmi, tumbuh lagi. Di saat seperti ini, gimana enggak membuat gerah si pemilik warnet? Secara moral, seharusnya pemilik warnet ikut bertanggung jawab atas semua kelakuan user di warnet miliknya baik itu berupa kelakuan baik maupun tercela. Di sisi lain, kita sebagai konsumen, jangan hanya menyalahkan penyediaan warnet ini. Tetapi yang perlu kita lakukan adalah ikut menjaga kenyamanan dan keamanan di dalam warnet, bukan malah menambah angka kemaksiatan.
Pemilik warnet pun jangan hanya berpangku tangan atau malah acuh tak acuh terhadap maraknya kemaksiatan di warnet miliknya. Apalagi pemilik warnet malah menganggap hal itu sebagai wahana untuk mengeruk keuntungan yang berlipat ganda dengan memfasilitasi user untuk melakukan kemaksiatan, misalnya dengan memberikan bilik yang tertutup rapat sehingga memberikan kesempatan user tanpa malu-malu melakukan kemaksiatan. Jika kemaksiatan di warnet ini dibiarkan, pastinya akan semakin mengakar dan semakin marak.

Sebaiknya sikap yang harus diambil oleh si pemilik warnet adalah senantiasa mengawasi konsumennya. Pencegahan ini tidak harus dengan peniadaan bilik sama sekali, karena bilik juga penting untuk menjaga privasi konsumen itu. Paling tidak, bilik yang dipasang tidak tertutup rapat dan masih memungkinkan bagi penjaga warnet untuk mengontrol dari luar. Penjagaan juga bisa dengan pemasangan CCTV (Closed Circuit Television) di dalam ruangan warnet. Cara ini dianggap ampuh, karena si pemilik bisa mengawasi seluruh isi warnet tanpa harus mengganggu privasi konsumen. Atau bisa juga dengan pemberian software anti-pornografi pada setiap website-website yang dibuka konsumen. Dengan begini kenakalan konsumen yang sering membuka situs-situs porno bisa diminimalisasi. Bukankah lebih baik mendapatkan untung dari sesuatu yang halal dari pada untung banyak tapi dari hasil yang haram? [eLFa]

Senin, 23 Mei 2011

IMAM(AH) ISLAM

Meskipun debat sekitar hubungan islam dengan Negara tampaknya ‘dimenangkan’ oleh kelompok yang menganggap islam tidak menentukan satu pola bernegara yang permanen, namun menyatakan bahwa islam sama sekali apriori terhadap persoalan kenegaraam adalah sikap yang tak kalah ahistoris. Ali abd raziq, yang ‘ngotot’ bahwa islam tidak mengatur masalah kenegaraan, pun masih harus mengakui bahwa nabi sendiri memang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan seorang kepala Negara.

Bila kita telusuri sejarah, memang kita harus mengakui bahwa islam sangat erat dengan persoalan-persoalan politik kenegaraan, sejak masa rasulullah saw. Ini karena masyarakat muslim tumbuh sebagai suatu masyarakat baru dengan membawa nilai-nilai yang baru pula. Al-qur’an sebagai sumber ajaran menuntun masyarakat bagaimana hubungan sosial (selain hubungan vertikal) seharusnya terjadi. Karena itu, persoalan masyarakat seperti pembiayaan sosial (zakat/pajak), hubungan dengan kalangan non-muslim, persoalan militer dan harta rampasan, perbudakan serta masalah lain-lain diatur (kadang-kadang sangat rinci) oleh islam.

Akan tetapi, persoalan kepemimpinan justru tidak mendapatkan penjelasan yang ‘seharusnya’, mengingat isu ini sangat penting dan rentan. Dan ini terbukti segera setelah nabi wafat. Selain perselisihan antara muhajirin dan anshar,juga muhajirin dengan pengikut ali (syi’atu ali). Kaum anshar berpendapat bahwa mereka lebih berhak atas kepemimpinan pasca nabi sementara kaum muhajirin berpedoman pada hadits ‘para imam berasal dari suku quraisy’. Namun keduanya mengartikan kepemimpinan ini terbatas pada kepemimpinan politik (dunia) semata. Sementara itu para pengikut ali memiliki konsep tersendiri mengenai masalah kepemimpinan ini yang meliputi pula kepemimpinan agama.( Islam Syi’ah; Ahmad Thabathaba’i)

Tulisan ini akan membahas mengenai persoalan kepemimpinan ini, khususnya istilah-istilah teknis yang digunakan, yaitu imam (imamah). term tersebut secara literal memiliki arti yang dekat, meski kemudian bisa berbeda sama sekali.
Secara bahasa, imamah berasal dari kata (أم-يؤم-القوم إمامة), “ia memimpin (menjadi pemuka) suatu kaum”. Imamah bararti ‘kepemimpinan’, sedang imam berasal dari kata (أأممة) yang berarti ‘pemimpin’, ‘orang yang mengatur kemaslahatan tertentu’, ‘pemimpin pasukan’, serta untuk oramg dengan fungsi serupa. Karena itulah pemimpin sholat disebut imam. Imam juga sering digunakan untuk orang alim yang ahli dalam masalah keagamaan, seperti imam ghazali, imam syafi’I, dan lain-lain. Bentuk jamaknya adalah (أئمة) dan dari kata ini pula lahir kata ‘ummat’ (أمة) untukmenunjukkan sekelompokmanusia. (Louis Mu’luf; al-Munjid Fi al-Lughat wa al-A’lam, Ibnu Manzhur;Lisan Al-Arab)

Dalam al-qur’an, kata ‘imamah’ tidak disebutkan secara eksplisit. Yang ada adalah kata ‘imam’ (seperti al-baqarah: 124) dan bentuk pluralnya, ‘aimmah’ (seperti al-anbiya: 73, al-taubat: 12). Pada ayat-ayat tersebut, kata imam memiliki arti yang umum, yakni pemimpin umat, baik secara moral (panutan) maupun pemimpin politik.
Dalam tradisi sunni, semula khalifah adalah imam Negara, yaitu pemimpin kenegaraan (duniawi). Khilafah berasal dari kata (الخلف) yang berarti ‘lawan depan’ (belakang). Sedangkan kata kerjanya adalah (خلف-يخلف-خلفة) yang berarti ‘datang kemudian’ (belakangan) dan menempati posisi orang yang sudah lebih dahulu. Meski tetap memiliki otoritas religius, namun otoritas khalifah/imam terbatas pada pelaksanaan hukum agama. Namun lama kelamaan makna ini mengalami pergeseran, terutama karena interpretasi dilakukan untuk menguatkan posisi mereka khilafah akhirnya dianggap suatu pemerintahan yang berdasarkan atas kedaulatan tuhan dan san khalifah pun dengan demikian sedikit banyak memiliki sifat kekudusan. Karena itu, beberapa ulama menyatakan bahwa seluruh dunia islam harus tunduk di bawah satu kekhilafan muslim khilafah akhirnya menjadi ‘urusan agama’ sementara interpretasi para para imam terhadap ajaran agama tidak memiliki keistimewaan apapun di hadapan penafsiran orang lain (ulama) yang bukan penguasa. Namun lama kelamaan makna ini mengalami pergeseran, terutama karena interpretasi dilakukan untuk menguatkan posisi mereka demikian halnya imamah sama artinya dengan khalifah, yakni kepemimpinan.

Namun, dalam pemahaman syi’i, imamah memiliki arti tersendiri, yakni bukan saja meliputi kepemimpinan duniawi, melainkan sampai pada masalah agama dan bahkan persoalan eskatologi sekalipun. Menurut mereka, seorang imam adalah pemimpin sejati (true leader) dalam komunitas muslim sepanjang masa. Dalam urusan agama, ia diyakini sebagai satu-satunya orang yang berhak menginterprestasikan dan menjelaskan ajaran al-qur’an dan al-hadits pada saat itu. Ia adalah pewaris yang membawa ‘cahaya muhammad’ dalam dirinya, dan dengan kapasitasnya sebagai imam, ia adalah satu-satunya orang yang memenuhi kualifikasi wilayah (kekuasaan) dan berhak mengisi otoritas tersebut. Seorang imam bahkan diyakini sebagai individu yang ma’shum.

Demikian halnya imamah memiliki arti khas pula, bahkan imamah identik dengan syi’ah. Penulis sendiri merasa kesulitan menemukan definisi imamah secara terminologis. Namun dapat dipastikan bahwa konsep imamah ini lahir dalam suasana yang tidak menguntungkan kelompok syi’i. Yaitu ketika abu bakar terpilih sebagai khlifah pertama di saqifah. Para sahabat ali yang menginginkan ali menjadi pemimpin merasa tidak puas oleh terpilihnya abu bakar. Ketidakpuasan itu, yang juga didorong oleh keinginan untuk mengangkat bani hasyim, semakin menjadi-jadi tatkala ali dan keturunannya diperlakukan sacara sewenang-wenang oleh penguasa bani umayyah yang secara licin memperdaya ali pada perang shiffin. Dalam situasi seperti inilah konsep imamah lahir dan berkembang secara pelan-pelan.

Di antara pemikiran syi’i yang pertama menguraikan masalah imaamah adalah syaikh al-shaduq (w. 381 H). menurutnya, para imam adalah waly al-amr, mereka adalah pintu dan jalan menuju allah. Posisi mereka adalah sebagai pengetahuan dan penafsir wahyu-Nya. Mereka adalah pilar tauhid, tidak pernah salah dan khilaf. Mereka bertindak atas perintah allah. Mencintai mereka merupakan bagian keimanan, sebaliknya membenci mereka termasuk kekufuran. Mereka adalah pemimpin baik lahir maupun batin.

Pemikir kontemporer syi’i kemudian berupaya merumuskan konsep imamah ini. Hakimi, salah satu dari mereka menyatakan bahwa imamah adalah “kelanjutan dari kepemimpinan nabi atas umat manusia setelah beliau wafat; kepemimpinan yang ditetapkan sendiri oleh beliau”. Sedangkan allamah thabathaba’i menyebut imamah (dan para imam) sebagai ‘sumber cahaya ilahi yang dengannya hati orang mukmin tercerahkan’.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara sunni dan syi’i dalam masalah imamah adalah pada cakupan otoritas serta orang yang berhak mendudukinya. Bila menurut sunni kepemimpinan hanya terbatas pada masalah-masalah dunia, maka imamah versi syi’i lebih luas jangkauannya. Demikian pula menurut syi’i jabatan imam adalah hak ali dan keturunannya (dengan fatimah), sementara sunni tidak menganggapnya demikian.

Akan tetapi, konsep imamah yang menjadi kekhasan aliran syi’i ini ironisnya justru menjadi penyebab utama terpecahnya sekte ini ke dalam sub-sub sekte yang beragam (Al-milal wa an-Nihal li al-Imam Muhammad Abdul Karim Al-Syahrastani).
Sekte terbesar dan masih bertahan hingga sekarang di negeri iran adalah syi’ah imamiyah atau itsna asysriyah. Imam pertama bagi sekte ini adalah ali bin abi tholib, yang menurut mereka, berdasarkan berita dari al-qur’an dan nabi Muhammad sendiri, sebagaimana akan kita bahas. Setelah itu, imam dipilih melalui penunjukan oleh imam sebelumnya. Imam selanjutnya (menurut sekte itsna asyariyyah) dalah hasan bin ali, husain bin ali, ali bin husain, Muhammad bin ali, ja’ar bin Muhammad, musa bin ja’far, ali bin musa, Muhammad bin ali (al-taqi), Muhammad bin ali (al-naqi), hasan bin Muhammad, dan Muhammad bin hasan (al-mahdi). Imam yang kedua belas ini diyakini telah menghilang sejak usia empat tahun (ghaibah sughro, minor occultation), namun ia diyakini masi berhubungan dengan empat wakilnya (nuwwab imam) sehingga para imam pengganti itu tetap memiliki legitimasi politis dan agama.
Setelah terjadi keghaiban besar (major occultation, ghaibah kubro), yakni dengan wafatnya imam pengganti ke empat, dan sambil menunggu datangnya Imam kedua belas (al-mahdi) inilah konsep imamah berkembang demikian rupa sehingga pada akhirnya terwujud dalam konsep wilayah al-faqih seperti yang kita saksikan di negeri iran saat ini.

Kondisi di atas berbeda dengan perkembangan yang terjadi di kalangan sunni. Terpilihnya abu bakar, umar dan usman jelas tidak didasarkan pada dalil-dalil agama, meski kepemimpinan mereka sendiri didasarkan pada dalil-dalil tersebut. Inilah sebabnya mengapa bai’at diperlukan dalam kasus kekhalifahan mereka ini dan mereka pun tidak memiliki otoritas untuk memonopoli penafsiran ajaran agama. Cara pengangkatan merekapun berbeda satu sama lainnya; suatu bukti bahwa masalah kepemimpinan dalam sunni berkembang lebih dinamik dan profane. Orang yang mengingkari mereka bukan dikatakan kafir, melainkan baghy (pembangkang, pemberontak).

oleh: M Nasirul Haq, Santri Ma'had Qudsiyyah
dimuat dalam buletin EL-WIJHAH Madrasah Qudsiyyah Edisi Mei 2011

Jumat, 20 Mei 2011

LULUS UJIAN, JANGAN CORAT-CORET SEMBARANGAN


“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”(QS. al-Insyirah, 5-6)
Badai pasti berlalu. Begitulah yang baru saja dialami oleh sebagian pelajar di seluruh Indonesia. Seolah tulang rapuh mereka banting, keringat mereka kucurkan, semua usaha mereka lakukan. Tak lain hanya untuk meraih satu kata, lulus. Setelah kesulitan itu berlalu, maka kegembiraan pun menyambut.

Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu beban terberat bagi pelajar. Pasalnya, pendidikan yang ditempuh selama tiga tahun seolah hanya ditentukan oleh ujian yang hanya dilakukan dalam beberapa hari. Agar dapat melewati ujian dengan sukses, mereka pun menempuhnya dengan segala macam cara, dari belajar tak kenal waktu, bahkan kadang sampai ada yang membeli bocoran jawaban.

Akhirnya, jika tidak lulus, ada yang frustasi bahkan ada yang nekad sampai bunuh diri. Tapi bagi mereka yang masih dibekali iman yang kuat, mereka akan bersikukuh untuk bangkit menjadi manusia yang lebih kuat dan tidak patah semangat. Di sisi lain, bagi mereka yang berhasil dan lulus ujian, sebagian dari mereka melakukan amalan kebajikan dan menepati nadzar. Akan tetapi, sebagian dari mereka ada juga yang melampiaskan kegembiraannya dengan mengumbar nafsu dengan melakukan aksi corat-coret baju bahkan berkonvoi liar di jalan raya. Mereka melakukan aksi ini semata-mata untuk mengekspresikan kegembiraannya setelah lulus ujian.

Lantas, apakah tindakan ini dibenarkan? Bagaimanakah yang seharusnya mereka lakukan?
Kalau kita runut, lulus ujian merupakan suatu karunia besar dari Allah. Betapa tidak, kelulusan ini ditempuh dengan susah payah selama menghadapi ujian. Di lain pihak, orang-orang yang tidak lulus akan merana dan frustasi. Oleh karena itu, kelulusan ini merupakan suatu nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang patut disyukuri. So, bagaimana mensyukurinya?

Secara etimologi, syukur adalah berterima kasih pada Allah. Sedangkan secara istilah (terminologi tasawuf), syukur adalah melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangannya lahir batin, baik dalam bisikan hati, ucapan lisan, maupun refleksi amaliyah badan. Maka, inti dari syukur adalah adanya kesadaran bahwa semua nikmat yang ada pada dirinya berasal dari Allah dan nikmat tersebut tidak digunakan kecuali dalam rangka taat kepada-Nya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1115, Tafsir Qurthubi, VII, l343)

Sedangkan menurut macamnya, bersyukur kepada Allah ada tiga bentuk: pertama, syukur bil qalbi (dengan hati), yaitu mengakui dan menyadari bahwa segala kenikmatan yang diperoleh berasal dari Allah. Ini akan menghantarkan manusia pada rasa rela. Berapa pun nikmat yang diberikan Allah, akan diterima apa adanya. Kedua, syukur bil lisan (dengan lisan), yaitu mengucapkan ungkapan rasa syukur kepada Allah bahwa semua nikmat yang diberikan adalah dari-Nya. Syukur bil lisan ini bisa ditunjukkan salah satunya dengan mengucap Alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Ketiga, syukur bil jawarih (dengan amal perbuatan), ialah mengamalkan anggota tubuh untuk hal-hal yang baik dan memanfaatkan nikmat itu sesuai dengan ajaran agama, yaitu menggunakan nikmat sesuai dengan tujuan penciptaannya (Tafsir ar-Razi, III, 21).

Kita pun dapat menilik firman Allah:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, maka Kami akan menambah nikmat padamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”.(Q.S. Ibrahim: 7)

Lalu bagaimana dengan mereka yang melakukan konvoi dan coret-coret?
Mengenai corat-coret seragam sekolah dengan cat semprot, spidol, dan sebagainya, telah disinggung di atas bahwa syukur adalah men-tasharuf-kan sesuatu sesuai dengan tujuan penciptaannya. Lantas, apakah seragam ini dibuat untuk dicorat-coret? Apakah cat tersebut dibuat untuk menyemprot seragam? Jawabnya pasti tidak. Seragam dibuat untuk dipakai dalam keadaan bersih dari corat-coret, sedangkan cat dibuat tidak untuk disemprotkan ke baju, tetapi kepada media lain. Jadi, aksi ini bukanlah bentuk syukur sebab tidak menggunakan suatu hal yang sesuai dengan tujuan penciptannya. Juga, perbuatan ini tentu tidak dilakukan dalam rangka taat kepada Allah.

Bahkan, aksi corat-coret tersebut bisa masuk kategori mubazir. Menurut Imam Syafi’i, mubazir adalah menggunakan harta benda kepada selain haknya. Dalam Tafsir Ath-Thabari, disebutkan, mubazir ialah menggunakan harta untuk berbuat maksiat kepada Allah, melakukan sesuatu yang bukan haknya, atau membuat kerusakan. (al-Jami’ Li al-Ahkam al-Quran Lil Qurthubi, I, 3262, Tafsir Ath-Thabari, XVII, 429).

Dalam Surat al-Isra’ ayat 27disebutkan :
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (الاسراء: 27)
Artinya: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu adalah ingkar kepada Tuhanya.

Dari ayat di atas, jelas-jelas mubazir itu dilarang oleh syara’. Selanjutnya, bagaimana dengan konvoi di jalan raya? Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia dikatakan, konvoi diartikan iring-iringan kendaraan dalam perjalanan yang sama. Dalam prakteknya, konvoi ini dilakukan sampai memenuhi jalan dan bahkan dengan cara yang ugal-ugalan. Sehingga, akan mengganggu jalan. Sementara, jalan yang seharusnya digunakan kepentingan bersama, kini dibuat kacau oleh sekelompok orang yang hanya dengan dalih mengekspresikan kegembiraannya.

Yang jelas, aksi konvoi ini tidak dapat dikategorikan dalam bentuk ungkapan syukur. Lantaran perbuatan ini tidak masuk dalam kriteria syukur, bahkan sebaliknya, aksi yang dapat membuat mudarat pada diri sendiri atau merugikan orang lain, maka hal ini jelas dilarang oleh syara’.

Lebih lanjut, Al-Qur'an memberikan petunjuk mengenai mengekspresikan kegembiraan. Ada gembira yang terpuji dan gembira yang tercela.
Allah berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ الله وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ
Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, handaklah dengan itu mereka bergembira.” (Q.S. Yunus, 58)

Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bergembira ketika mendapat karunia dan rahmat dari Allah. Bergembira yang dimaksud di sini ialah merasa gembira lantaran mendapat limpahan karunia dari Allah. Jadi, kegembiraan ini disandarkan kepada Allah. Inilah gembira yang terpuji. Sehingga, kegembiraan ini diungkapkan dengan rasa syukur kepada Dzat yang memberi karunia.

Sedangkan kegembiraan yang tercela ialah merasa gembira dan bangga atas karunia tersebut tanpa merasa bahwa hal tersebut merupakan karunia dari Allah, sehingga menjadikan orang tersebut takabbur dan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran syara’. Hal ini merupakan kegembiraan yang tercela. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
وَإِذَآ أَذَقْنَا النَّاسَ رَحْمَةً فَرِحُوا بِهَا
Dan apabila kami berikan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan (rahmat) itu. (ar-Rum, 36)

Al-Alusi memberikan penafsiran bahwa yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang yang mendapatkan karunia, lalu ia bergembira karena sombong dan bersuka ria kelewat batas bukan karena memuji kepada Allah dan bersyukur, maka hal ini merupakan kegembiraan yang tercela. (Ruhul Ma’ani, XV, 369).

Sebagai penutup, Al-Ghazali menjelaskan bahwa hal yang dialami manusia ini ada dua macam. Pertama, sesuai dengan apa yang menjadi harapan dan keinginannya, dan kedua, tidak sesuai dengan harapannya. Dua hal ini perlu disikapi dengan sabar. Untuk yang pertama, misalnya seseorang mendapatkan kesehatan, keselamatan, harta, jabatan, dan segala macam kebahagiaan duniawi. Kesemuanya ini perlu disikapi dengan sabar. Artinya, jika seseorang tidak membatasi dan menahan diri dari menggunakan karunia tersebut sepuas-puasnya, maka ia dapat terjerumus ke dalam kesombongan dan kezaliman. Oleh karena itu, hendaknya tidak kelewat batas dalam mengekspresikan kegembiraan dengan melakukan berbagai macam kesenangan, hiburan, dan permainan. (Ihya’ Ulum ad-Diin, III, 171) [eLFa]

Sabtu, 14 Mei 2011

NKRI DARUL ISLAM?


Baru-baru ini istilah negara menjadi perbincangan hangat di masyarakat. eksistensi NKRI kembali diperdebatkan ketika isu Negara Islam Indonesia (NII) kembali muncul dalam pentas nasional. Patut menjadi renungan, diskursus perihal relasi Islam dan negara telah lama diperdebatkan, akan tetapi tetap belum terpecahkan secara tuntas, bahkan cenderung mengalami impasse (kebuntuan). Indonesia modern masih terus dalam proses pencarian pola hubungan yang pas antara Islam dan negara.

Istilah negara, memiliki banyak teori yang mendeskripsikan. Secara bahasa, negara berarti organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, atau kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentuntukan tujuan nasionalnya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 777).

Sementara, berdasarkan pendekatan teoritis ada beberapa macam pengertian negara. Pertama, teori ketuhanan, yang menjelaskan negara terbentuk atas kehendak Tuhan. Hal ini berpijak pada diutusnya Nabi Adam ke bumi oleh Allah untuk memulai hidup bersosial. Anak cucunya yang kini telah mencapai miliaran jumlahnya hidup berkelompok dengan menempati area tertentu yang kemudian dinamakan negara.
Kedua, teori perjanjian, yang menyatakan bahwa negara terbentuk karena antarkelompok manusia yang tadinya hidup sendiri-sendiri melakukan perjanjian untuk mengadakan suatu organisasi yang dapat menyelenggarakan kehidupan bersama. Teori ini mengarah pada tatanan kehidupan bersosial. Tinjauannya terletak pada sistem adanya perjanjian atau hasil kesepakatan bersama suatu kelompok yang mempunyai visi dan misi yang sama.

Ketiga, melalui teori kekuasaan. Teori ini berpijak pada kekuasaan yang tercipta dan yang paling kuat. Keempat, teori kedaulatan, yang menjelaskan bahwa setalah asal ausul negara menjadi jelas maka orang-orang tertentu didaulat menjadi penguasa. (Ilmu Negara, Umum dan Indonesia).
Lalu bagaimanakah fiqh memandang pendirikan sebuah negara? Ulama Sunni, Syi’ah, mayoritas Muktazilah dan Murji’ah sepakat bahwa mendirikan negara hukumnya wajib. Dalil yang digunakan adalah hadis imarah.

«إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم»

“Ketika ada tiga orang yang keluar rumah, hendaknya salah satu dari mereka memimpin”
Kalau hanya bertiga saja butuh pemimpin, maka mafhum muwafaqah fahwal khitab tentu menyatakan bahwa perkumpulan umat Islam lebih membutuhkan pemimpin. Tujuan kolektif umat Islam tidak akan tercapai tanpa adanya kepemimpinan imarah (kepemimpinan). Dan kepemimpinan (pemerintahan) inilah yang kemudian menjadi embrio hadirnya sebuah negara, disamping rakyat dan wilayah. (Mughnil Muhtaj, IV, 129; al-Fiqhu al-Islamiy wa adillatuhu, VIII, 414)

Imam Ghazali menyatakan bahwa dunia adalah ladang bagi akhirat. Agama tidak akan sempurna tanpa dunia. Negara dan agama ibarat dua anak kembar. Agama, ibarat batang pohon, sedangkan kepala negara ibarat penjaganya. Sesuatu tanpa batang akan tumbang, dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang terlantar, negara dan peraturan tidak akan terlaksana tanpa adanya pemerintahan. (Ihya’ ulum ad-din, I, 22)

Dengan melihat alasan pendirian negara di atas, sebenarnya masih ada satu pertanyaan. Kewajiban tersebut bersifat syar’i atau aqli? Mayoritas ulama (Sunni dan Muktazilah) berpendapat bahwa kewajiban mendirikan negara bersifat syar’i, karena berlandaskan pada dalil syar’i, sementara Syi’ah Imamiyyah menganggapnya sebagai kewajiban aqli, karena soal negara sesungguhnya soal kesepakatan bersama, bukan soal ada tidaknya dalil.

Negara yang bagaimana yang harus didirikan umat Islam? Negara Islam, negara monarkhi, republik atau negara madinah? Negara manakah yang dapat disebut sebagai negara yang betul-betul prototype Islam; Arab Saudi, Iran ataukah Pakistan? Atau, mungkin kita bisa bertanya, bisakah negara yang hanya mengimplementasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dikatakan sebagai negara Islam, walaupun bentuknya tidak Islam?

Jika dilihat dari sisi historisnya, istilah negara Islam (dawlah Islamiyah) lebih merupakan suatu fenomena modern, hasil perjumpaan antara dunia Islam dan kolonialisme Barat. Deklarasi formal mengenai negara Islam tidak pernah ada selama periode Islam salaf dan abad pertengahan. Istilah negara Islam, sebagaimana diperkenalkan Pakistan dan Iran, tidak memiliki dasar pijakan dalam sejarah politik umat Islam. Dalam wacana tarikh dan fiqh (siyasah), perbincangan politik umat Islam hanya mengenal Dawlah Abbasiyah dan Dawlah Umawiyyah. Pada periode Turki Usmani, istilah dawlah malah digunakan untuk merujuk pada makna giliran. Hal ini menunjukkan bahwa umat manusia ditentukan oleh roda nasib yang memiliki masa kebangkitan dan kejatuhan. Dalam hal ini, masa kebangkitan merujuk pada keberhasilan memperoleh kekuasaan dan wewenang. Gagasan mengontrol kekuasaan atau wewenang inilah yang kemudian dikenal dengan istilah dawlah. (al-Islâm wa Ushûul Hukmi, 92; Tempo, 29 Desember 1984, 17)

Dalam prakteknya di dunia modern, ada tiga paradigma yang menghubungkan Islam dan negara, yakni integratif, fakultatif, dan konfrontatif. Menurut pendekatan pertama, Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan bulat, sehingga Islam juga bisa menjadi dasar negara, syari’ah Islam harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik dan teritorial. (Untuk mengetahui pemikiran selengkapnya, dapat ditelusuri dalam al-Mabâdi` al-Asâsiyah li al-Dawlah al-Islâmiyah atau Nadhariyyat al-Islâm al-Siyâsiyah)

Kedua, paradigma yang mengajukan pandangan bahwa agama dan negara berhubungan secara fakultatif, yaitu berhubungan timbal balik dan saling membutuhkan-menguntungkan. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan negara. Sebab, melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam sinaran etik-moral. (Data lebih lanjut dapat dibaca pada al-Hukûmah al-Islâmiyah atau Mudzakkirat fiy al-Siyâsah al-Mishriyah)

Ketiga, paradigma konfrontatif yang mengajukan konsep pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam, atau menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Agama bukanlah dasar negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan individual semata. Dengan perkataan lain, aliran ini berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang tidak bertali temali dengan urusan kenegaraan. (data selengkapnya silakan baca : al-Fitnah al-Kubra ; al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu`allafat al-Duktur Thaha Husein)

Dengan melihat ketiga paradigma tersebut, fiqh salaf agaknya cenderung ke paradigm kedua. Hal ini tampak misalnya dalam pembahasan darul islam dan darul harb. Daarul Islam, memiliki lima karakteristik. Pertama, negara yang di dalamnya tampak hukum Islamnya, yakni hukum Islam bisa hidup di negara itu maksudnya adalah negara tersebut dapat menjalankan hukum-hukum Islam dan juga melaksanakan aturan-aturan dengan dasar syari’at Islam sebagai kebijakan negara itu; Kedua, negara yang penduduk muslimnya bisa menghidupkan hukum-hukum Islam di dalamnya; ketiga, adalah negara yang semua atau sebagian besar penduduknya beragama Islam; keempat, negara yang pemerintahannya dikuasai oleh kaum muslimin walaupun sebagian besar penduduknya tidak terdiri dari kaum muslimin; dan kelima negara yang dikuasai oleh nonmuslim, akan tetapi kaum muslim dapat mengamalkan hukum Islam di dalamnya. (Syarah Raudlatut Talibin, IV, 204).

Bertolak dari karakeristik darul islam diatas, maka tak ada keraguan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masuk dalam kategori daarul islam karena Pancasila dan UUD 1945 yang dijadikan dasar negara ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jauh sebelum bangsa ini merdeka, pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin tahun 1935, NU telah memberikan status hukum negara Hindia Belanda dengan “negara Islam”. Meskipun saat itu Indonesia masih dikuasai oleh Penjajahan Belanda, tetapi dalam sejarahnya Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam dan orang Islam dapat secara bebas menjalankan syari’at keagamaannya.

Atas nalar ini pula, Konferensi Nasional Alim Ulama NU di Cipanas pada 1954 dan kemudian dikukuhkan oleh Keputusan Muktamar NU ke-20 di Surabaya memutuskan bahwa kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliy al-amri al-dlarûri bi al-syawkah (pemegang pemerintahan secara de facto dengan kekuasaan penuh). Sebaliknya, terhadap Kartosuwiryo yang menggagas Negara Islam Indonesia (NII), Ulama NU memberikan hukum bughat, pemberontakan kepada negara yang sah. (Masalah Keagamaan; Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu-1926 s/d Kedua Puluh Sembilan 1994, 207-208).[eLFa]

Sabtu, 07 Mei 2011

BOM BUNUH DIRI, PERANG DALAM CERMIN

Mati satu tumbuh seribu. Pepatah ini agaknya cocok untuk mengilustrasikan rentetan peristiwa berdarah di Indonesia. Satu bom dijinakkan, bom yang lain diledakkan. Satu tersangka terbunuh, kader baru tumbuh. Satu teknik terbongkar, muncul teknik baru yang lebih segar. Jika bom Bali I diledakkan melalui timer dan remote, maka selanjutnya dilakukan dengan bom buku dan bom bunuh diri.
Sebut saja peristiwa Paddy’s Cafe dan Sari Club Bali tahun 2002, JW Mariott Mega Kuningan tahun 2003 dan ditambah Ritz Carlton pada 17 Juli 2009. Yang masih segar dalam benak kita, kasus Muhammad Syarif yang meledakkan dirinya di Masjid Polwiltabes Cirebon beberapa waktu yang lalu.

Mengapa semua ini harus terjadi? Ada banyak jawaban dan penjelasan, tetapi agaknya belum menyentuh substansi persoalan. Ilmuan sosial menganggap ini sebagai patologi sosial yang dipicu oleh ketidakadilan, para politisi menganggap sebagai kegagalan sistem politik dan demokrasi, para ekonom menganggap sebagai penghambat investasi, dan kaum agamawan menganggapnya sebagai problem penafsiran. Masing-masing pihak senyatanya belum menemukan formula yang pas untuk memposisikan agama dalam banjir peradaban modern. Sebagian imun, yang lain amin, dan satunya lagi 'tidak tahu' harus bagaimana.

Menurut anggapan pelaku, bom bunuh diri adalah salah satu bentuk jihad melawan kedhaliman dan memerangi orang kafir demi tegaknya izzul Islam wal muslimin. Pada dasarnya, prinsip tersebut betul. Setiap kita harus berjuang melawan ketidakadilan dan memerangi kedhaliman. Masalahnya kemudian adalah dengan cara apa cita ideal itu dicapai? Bolehkah menggunakan cara-cara kekerasan?

Belajar kepada Nabi Muhammad, beliau memberi contoh kepada kita untuk menyelesaikan persoalan dengan perilaku santun, bukan hanya kepada kawan, bahkan terhadap lawan. Besarnya Islam tidak karena keangkuhan, tapi karena kelembutan. Nabi Muhammad hadir di bumi bukan untuk membunuh mereka yang salah, tapi untuk menyempurnakan akhlak mereka.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- :« إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ »

“Bahwasanya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak”

Al-akhlaqul al-karimah didedikasikan untuk kebesaran Islam itu sendiri sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan, nilai kemanusiaan, memberi rasa aman, menganjurkan perdamaian, menentang penindasan, kesewenang-wenangan dan segala bentuk ketidakadilan.

Namun, kadang-kadang, untuk melaksanakan semua ini tidak cukup hanya dengan himbauan moral belaka, akan tetapi butuh tindakan nyata. Tindakan inilah yang sering disebut jihad. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa jihad ialah keseriusan untuk mencurahkan potensi demi menegakkan ‘kalimatullah’ sehingga menemukan kebahagiaan di sisi-Nya. Caranya, sebagaimana dikatakan Ismail Al Bursuwy, adalah dengan membuang jauh-jauh sifat egoisme sehingga jihad benar-benar dalam kerangka agama, bukan bias nafsu. Dari sinilah kita bisa memahami tafsiran al-Qurtubi bahwa ada banyak ragam jihad, seperti berjuang untuk menegakkan kebenaran, melawan hawa nafsu, mencegah kemungkaran dan menolak kekufuran. (Bidayah Al Mujtahid, I, 259; Ruhul Bayan, II, 388, Al-Jami’ Li Ahkaamil Qur’an, I, 3800)

Singkatnya, kata ‘Jihad’ mengandung dua makna; esoteris (batin) dan eksoteris (lahir). Yang pertama menunjukkan serangkaian perlawanan terhadap sesuatu yang tidak nampak secara fisik, seperti melawan kebodohan dan melawan hawa nafsu. Dalam konteks ini, bahasa yang sering dipakai untuk melawan kebodohan adalah ijtihad dan mujahadah untuk melawan nafsu. Sedang makna eksoteris menunjuk pada serangkaian perlawanan kepada musuh yang kasat mata, seperti melawan orang kafir, munafik dan orang-orang murtad. (Tafsir Ayat Ahkam, 95)

Kebenaran prinsip di atas bukanlah teori belaka. Fakta sejarah membuktikan bahwa selama tiga belas tahun di Makkah, Nabi dan pengikutnya selalu menganjurkan perdamaian, menebarkan kasih sayang dan menjunjung tinggi nilai keadilan. Akan tetapi, selama itu pula mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil; dihina, disiksa, dipinggirkan, dan diperlakukan secara tidak manusiawi.

Dalam kondisi seperti ini, Nabi sadar, bahwa konfrontasi fisik bukanlah jalan keluar yang baik. Untuk menata sebuah peradaban, yang diperlukan bukanlah kekuatan senjata, tapi penataan sistem nilai. Oleh karenanya, pilihan Nabi bukanlah perang, tapi berhijrah. Hijrah bukanlah sekedar proyek perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan tetapi menyiratkan sebuah pandangan ontologis, yakni proses terbentuknya sebuah komunitas muslim dari tradisi pagan (berhala) ke tradisi tauhid yang kemudian dikenal dengan konsep ‘Ummah’. Konsep Ummah dalam Islam mengandung 5 nilai dan 4 sifat dasar. Lima nilai tersebut adalah universalisme, egalitarianisme, non etnosentrisme, totalitarianisme, dan transendentalisme. Sedangkan 4 nilai dasarnya adalah komprehensif, kontekstualis, dinamis dan organis. (Kewargaan Dalam Islam, 132; Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, 219; Sejarah Sosial Ummat Islam, 39)

Pembentukan komunitas bersama (Ummah) di Madinah, bukanlah sesuatu yang lahir secara mengalir, tetapi melalui sejumlah perjuangan yang dihiasi oleh hiruk-pikuk pengorbanan. Kekhawatiran akan semakin besarnya pengaruh ideologi Nabi Muhammad telah menyebabkan kepanikan di pihak paganisme Quraish. Mereka lalu mencari-cari alasan untuk memerangi Nabi Muhammad. Dari tiga peristiwa perang besar Badar, Uhud, dan Khandaq terlihat bahwa pemicu perang adalah kekhawatiran akan eksistensi Islam yang semakin kuat. Sebuah sikap yang mengisyaratkan pertarungan idelogi tauhid melawan syirik, kebenaran melawan kebatilan. Karena itulah, ayat yang pertama kali turun dalam konteks perang adalah surat al-Hajj ayat 39

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”

Legalitas perang diatas, secara ontologis, melahirkan dua visi besar. Pertama, menegakkan idealisme Islam untuk memberantas ketidakadilan. Dalam konteks inilah sering bias antara Islam dengan teror. Kata ‘teror’ berasal dari bahasa latin “terrere” yang berarti menjadikan gemetar dan ngeri. Dalam istilah umum teror berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman. Jadi makna terorisme adalah paham yang menggunakan kekerasan, kengerian, dan ketakutan untuk mencapai tujuan tertentu. Islam jelas tidak dalam posisi ini. Dalam al-Qu’an memang ada kata nadzir (menakuti), namun konteksnya bukan meneror warga, tapi memberi peringatan atas pedihnya siksa neraka bagi para pembangkang. Hal ini termaktub dalam ayat Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 119

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ

“Sungguh Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan engkau tidak akan dimintai (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.

Kedua, visi pembentukan peradaban. Pembangunan sebuah kota tidak bisa dilepaskan dari moralitas. Di atas pilar moralitas inilah peradaban Islam sedikit demi sedikit mulai dibangun. Nabi mula-mula membenahi pemikiran teologis warga kota, kemudian merambah ke aspek lain yang lebih riil seperti distribusi kekayaan dan pemerataan kemakmuran. Maka diperkenalkanlah konsep zakat, infaq, shodaqoh dan kaffarat, termasuk di dalamnya konsep ghanimah, fay’ dan jizyah. (Jurnal Ulumul Qur’an, no V, th. 1993, 54.)

Jika makna jihad dalam Islam demikian adanya, lalu bagaimana status mereka yang jihad dengan bom bunuh diri? Marilah kita perhatikan firman Allah:

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al-Baqarah; 195).

Ayat ini jelas melarang tahlukah (menjatuhkan diri dalam kebinasaan). Sejauh ini, ada 5 penafsiran tentang makna tahlukah. Pertama, meninggalkan infaq; kedua, berperang dengan tanpa bekal; ketiga, meninggalkan jihad; keempat, putus asa dari rahmat Allah; dan kelima sengaja mati karena melawan pasukan tak sebanding.

Tindakan bom bunuh diri (mughomaroh) dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan pasukan yang tak sebanding, sehingga masuk dalam jangkauan tindakan menceburkan diri ke dalam kebinasaan yang terlarang. (al-Jami’ li ahkamil Qur’an, II, 362; ahkamul Qur’an, I, 116).

Di sisi lain, sasaran bom bunuh diri sifatnya acak sehingga tidak bisa mendeteksi mana muslim dan mana non muslim, mana yang halal dibunuh dan mana yang tidak. Maka dari aspek ini Islam jelas melarangnya. Ada beberapa kriteria orang yang haram dibunuh ketika jihad perang. Mereka adalah wanita, anak-anak, pendeta, orang berusia lanjut, pelayan, pedagang dan petani. Dengan demikian, tindakan bom bunuh diri hukumnya haram, dan bukanlah jihad yang dikonsepsikan ulama. (Nihayatul Muhtaj, XXVI, 409; Bada’iusshani’, XV,; al-Qurtubi, II, 344)

Konsep jihad sesungguhnya konsep yang santun. Ia tidak membenarkan tindakan machiavellis (menghalalkan segala cara) untuk memetik sebuah kemenangan. Setiap akan berangkat ke medan laga, Rasulullah senantiasa mewanti-wanti agar tidak merusak pohon dan memerangi orang-orang lemah seperti orang tua renta, perempuan dan anak-anak. Jika prinsip ini dilanggar, fiqh jinayat mengategorikan aksi teroris kedalam bingkai hirabah, yakni tindakan yang dapat mengancam harta ataupun jiwa orang lain. (al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamy; Muqaranah bi al-Qonun al-Wadh’iy, I, 656-660)

Namun demikian, hanya berkonsentrasi untuk memerangi terorisme tanpa melihat tindakan lain yang menyebabkan teror itu muncul adalah salah, dan hanya akan melahirkan kekerasan yang lebih parah. Jangan-jangan kita sedang memerangi diri sendiri. Ibaratnya, berperang melawan “musuh dalam cermin”, kita dibayang-bayangi kejahatan diri sendiri yang bisa jadi lebih jahat dari teroris.

Akhirnya, sebuah tatanan global yang mencerminkan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan universal harus segera ditata. Menghentikan dominasi Barat, pemaksaan atas nama demokrasi, menciptakan kemakmuran bersama dan keadilan untuk semua harus lebih mendapatkan prioritas ketimbang berburu teroris. Ini memang membutuhkan waktu yang relatif lama, tapi hasilnya akan lebih manusiawi dan relatif dapat menghadirkan kebahagiaan bersama. [eLFa]
dimuat di Buletin EL-FAJR, Edisi 1/6 Mei 2011

Jumat, 06 Mei 2011

Buletin EL-FAJR, Diluncurkan

Ma'had Qudsiyyah Menara Kudus kini memiliki sarana mengejawantahkan catatan diskusi ke dalam sebuah Buletin yang diberi label EL-FAJR. Buletin ini, merupakan buah karya kami, santri-santri Ma’had Qudsiyyah yang telah lama dicita-citakan, yakni sejak didirikan pada Senin Pon, 24 Dzul Qo’dah 1431 H/1 November 2010 TU. Kami bertekad akan hadir menyapa pembaca setiap pekan sekali.
Adapun tema yang diangkat dalam buletin ini merupakan persoalan-persoalan aktual yang sedang berkembang serta berdasarkan pada ide pokok yang disampaikan KH. M. Sya’roni Achmadi baik pada pengajian rutin, seperti Jumu’ah fajar di Masjid Menara, pengajian malam Kamis di Janggalan maupun keterangan-keterangan beliau yang disampaikan di madrasah dan di tempat lain.
Edisi perdana ini, kami mengulas tema bom bunuh diri yang akhir-akhir ini kembali menghebohkan negeri kita. Sebagian orang menyatakan bahwa itu adalah wujud dari jihad, benarkah?
Terakhir, permohonan maaf kami sampaikan apabila ditemukan kesalahan dan kekurangan. Saran dan kritik tetap kami butuhkan untuk perbaikan pada edisi-edisi berikutnya.