Jumat, 24 Februari 2012

Guru Taat, Murid Hormat

Semakin banyak saja orang-orang miskin di Indonesia. Mereka berhamburan di mana-mana tak terurus oleh Negara. Mungkin mereka juga ingin bekerja dan kaya. Namun, nyatanya, mereka harus mengais sisa-sisa nasi di tong sampah, atau di kolong jembatan. Mengapa hal ini terjadi? Salah satu penyebab yang memengaruhinya adalah faktor pendidikan. Karena tak punya bekal keilmuan, mereka hanya tahu cara mencari makan hanya dengan mengais, tidak lebih.

Maka, sudah lazim apabila seluruh negara di belahan dunia ini memprioritaskan pendidikan. Karena negara memimpikan kemajuan dan benih generasi masa depan yang lebih unggul dalam segala bidang. Juga, supaya kualitas keilmuan tidak menurun dan terus meningkat. Lewat pendidikan itulah impian negara untuk maju dan lebih baik akan terealisasi.

Pendidikan bukan hanya sebatas kegiatan belajar mengajar (teaching and learning), akan tetapi juga merupakan salah satu bentuk ibadah. Seperti yang dikatakan al-Ghazali dalam kitabnya, “Kegiatan mengajar dan belajar merupakan ibadah yang paling utama di dunia”. (Ihya’ Ulumiddin, II, 76)

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan yang dalam bahasa arab disebut tarbiyah, mencakup dua hal penting, ta’lim (transfer ilmu) dan ta’dib (memperbaiki moral).

Tujuan pokok pendidikan adalah memanusiakan manusia. Artinya, menjadikan manusia makhluk yang berguna bagi sesama dan lingkungan di sekitarnya. Untuk mengidentifikasi apakah tujuan itu telah tercapai atau belum, biasanya dibuat indikator atau tolok ukur untuk memandang tercapainya tujuan. Indikator tersebut terkadang terlihat dalam perilaku, kebiasaan, dan kecenderungan seseorang di tiap harinya.
Dalam pendidikan terdapat pendidik (guru) dan peserta didik (murid). Keduanya harus ada interaksi dan komunikasi agar pendidikan berjalan dengan lancar dan membuahkan hasil. Keduanya pun memiliki peran, kewajiban, tanggung jawab, hak, dan etika.
Dalam tugas dan etika, murid harus mengamalkan antara lain, tidak menyombongkan ilmunya dan tidak menentang gurunya, tidak terlibat dalam kontroversi dan pertentangan akademis, mempunyai tujuan yang baik. Untuk lebih mantapnya suatu ilmu, seorang murid harus tirakat rela merantau (mondok) demi mendapatkan guru dan ilmu yang searah dengan hatinya. Sang murid juga harus mendahulukan ilmu-ilmu yang penting dan pokok, yaitu ilmu agama. (Ihya’ Ulumid Din, I, 52-56)

Begitu pula bagi seorang guru. Seorang guru juga mempunyai tugas. Tugas guru antara lain mengajarkan ilmu sesuai dengan kemampuan peserta didik, memberi perhatian lebih terhadap anak didik yang IQ-nya di bawah standar rata-rata, mengikuti jejak Rasul, dan memberikan kasih sayang kepada anak didiknya sebagaimana menyayangi anaknya sendiri. (Ihya’ Ulumid Din, I, 60-62)
Memang berat menjadi guru, lebih berat daripada menjadi murid. Seorang pahlawan tanpa tanda jasa itu, baru berhak mendapat predikat sebagai guru profesional apabila ia dapat menyampaikan materi secara komperhensif (lengkap dan mencakup semua hal).
Oleh sebab itu, mendurhakai guru lebih tercela daripada mendurhakai orang tuanya sendiri. Karena peran guru adalah sebagai orang yang mengeluarkan kita dari gelapnya kebodohan menuju lorong makrifat kepada Allah. Namun begitu, mereka sama-sama harus kita hormati. Bukan berarti mendurhakai orangtua diperbolehkan, malah tanpa adanya doa dan restu orang tua mungkin kita tak mungkin berhasil mancari ilmu. (al-Bahrul Madid, I, 60)

Sebagai insan pencari ilmu, baik remaja, dewasa, atau tua, pasti ingin mencapai keberhasilan dalam mencari suatu ilmu. Ini karena termasuk sifat kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang yang berakal sehat. Dalam kitab Ta’limul Muta’allimin telah dijelaskan mengenai kunci keberhasilan dalam menempuh ilmu. Adapun kunci kesuksesan tersebut ada enam. Pertama, dzaka’ (cerdas atau cerdik) yaitu cepat dalam berfikir dan menanggapi suatu permasalahan. Setiap orang yang ingin mencapai keberhasilan harus memiliki sifat tersebut.

Kedua, khirshun (rakus ilmu) yaitu adanya keinginan yang sangat mendalam untuk menghasilkan ilmu itu sendiri. Seseorang tidak akan memperoleh ilmu tanpa adanya keinginan. Ketiga, bulghoh (bekal) yaitu merasa cukup dengan bekal yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan hidup semasa menuntut ilmu. Ini dapat diketahui melalui tidak butuhnya seseorang pada orang lain dalam urusan rizki, karena kebutuhan yang satu ini mampu menimbulkan kekacauan dalam hati, sehingga untuk menghasilkan sebuah ilmu menjadi sukar.

Keempat, ishthibar (sabar) yaitu tidak mengeluh atas cobaan-cobaan yang telah diberikan oleh Allah terhadap hamba-Nya pencari ilmu. Terkadang seorang yang dalam keadaan menempuh ke jenjang pendidikan ketika mendapat cobaan baik yaitu berupa masalah keuangan atau wanita, sebagian dari mereka ada yang tidak sabar atas cobaan tersebut. Misalnya seorang itu putus sekolah karena faktor ekonomi yang tidak mendukung atau malas belajar yang timbul akibat wanita yang singgah dalam hati orang tersebut. Kelima, irsyadu ustadzin (bimbingan dari guru) yaitu petunjuk dari seorang guru yang bersifat baik dan benar sedangkan petunjuk guru yang bersifat tidak baik dan melanggar syara’ wajib tidak diikuti.

Keenam, thuulu zaman (lamanya waktu) atau dalam istilah ilmu pendidikan disebut ‘long life education’ yaitu lama dalam arti sampai mampu menghasilkan ilmu yang diinginkan. Baik itu berupa pendidikan formal ataupun non-formal. Pendidikan formal misalnya belajar di sekolahan, sedangkan pendidikan non-formal seperti pondok pesantren dan les privat. (Ta’limul Muta’allim, 15)

Tingkat intelegensi atau kecerdasan murid pasti juga tak lepas dari kepribadian dan lingkungan. Lebih dominan manakah antara keduanya? Memang, kedua-duanya bisa saja mendominasi tergantung pada kondisi saat itu. Namun, biasanya kepribadian itu mendominasi jika berada di kalangan masyarakat, dan lingkungan biasanya mendominasi jika berada di kalangan pesantren.

Karena guru adalah sumber ilmu, yang mana murid butuh akan bimbingannya, maka, murid harus memiliki etika terhadap guru. Kata-kata “jadikan guru sebagai teman” bukan berarti kita memperlakukannya seperti teman kita sebaya. Teman itu ada tiga macam. Pertama, dengan orang yang di atasnya seperti guru dan orang tua. Hakikat pertemanan ini adalah khidmat atau kepatuhan. Kedua, terhadap orang yang di bawahnya, yaitu sebagai bentuk sayang dan belas kasih. Dan yang terakhir, terhadap orang yang sederajat. Pengertian yang ketiga inilah makna teman yang biasa digunakan.
Murid wajib menghormati guru. Seseorang tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan mengagungkan ilmu dan pemiliknya (ahlul ilmi). Sayyidina Ali pernah berkata, “Aku adalah budak bagi orang yang telah mengajarkanku ilmu, walaupun itu hanya satu huruf”. Ini menunjukkan betapa mulianya ilmu dan orang yang memilikinya, sampai-sampai Sayyidina Ali pun rela mengaku sebagai budak hanya karena ilmu. Dan termasuk salah satu berntuk menghormati guru adalah tidak melakukan perbuatan seperti berjalan di depannya atau mendahuluinya dan tidak juga tempat duduknya juga tidak memotong pembicaraan kecuali kalau telah diizinkannya. Meskipun ini sudah kami paparkan di atas namun untuk menegaskan kembali bahwa ini termasuk salah satu dari cara menghormati guru. Dan termasuk menghormati guru juga, menghormati anaknya, kerabatnya, dan khodamnya. (Bariqotun Muhammadiyah Fi Syarh Thoriqoh Muhammadiyyah Wa Syari’ah Nabawiyyah, V, 185)

Mengenai etika yang juga perlu diketahui seorang murid adalah tidak tergesa-gesa memotong dan menanggapi ucapan guru sebelum guru selesai menyampaikan masalah. Murid dapat menanyakan isykal-isykal dari penjelasan guru setelah guru selesai dalam menyampaikan suatu materi. Nabi ketika mendapat wahyu dari Allah, beliau menjelaskan lafadz-lafadz dan menerangkan makna-maknanya. Ketika para sahabat tidak mengerti apa yang disampaikan oleh Nabi, mereka baru menanyakannya setelah Nabi selesai menerangkannya. (Tafsir as-Sa’diy, I, 889)

Dengan kata lain, murid itu dituntut untuk mengharap ridho dari guru, menjauhi kemurkaannya dan menjalankan perintahnya, selain perintah yang mengacu pada kemaksiatan. Sementara guru, selain mengajarkan ilmu sesuai dengan kemampuan peserta didik, juga harus memberi perhatian dan kasih sayang terhadap anak didik. Yang lebih penting, sikap dan perilaku guru sehari-hari mengikuti Rasul, melaksanakan sepenuh hati perintah-perintah Rasul dan menjauhi larangan-larangan Rasul. [eLFa]

EL-Fajr Edisi 21

Jumat, 17 Februari 2012

SIAPA IDOLAMU?

Sudah menjadi watak manusia, mengagumi, mengidolakan, bahkan meniru orang-orang yang terkenal atau orang-orang yang kebesarannya telah masyhur. Misalnya pesepak bola, penyanyi, pesulap, atau yang lainnya. Hal itu merupakan fakta yang sudah bisa kita lihat sendiri sekarang. Puluhan ribu pasang mata rela berdesak-desakan demi melihat aksi individu pemain di rumput hijau, maupun aksi tim kesayangannya dalam sepak bola. Begitu pula, bagi penyanyi kenamaan ataupun bagi pesulap yang handal, setiap kali konser digelar, ribuan penonton selalu datang dan membanjiri lapangan pertunjukan.

Padahal, dari semua yang diidolakan dari berbagai bidang itu, tidak semuanya muslim, ada juga yang beragama non-muslim. Ini misalnya Christiano Ronaldo (pemain sepak bola), Justin Bieber (penyanyi), atau kalau di Indonesia seperti Agnes Monica (penyanyi), juga pesulap Deddy Corbuzier (pesulap), adalah dari kalangan non-muslim.
Nama-nama tersebut, tentu tidak asing di telinga kita. Bahkan mungkin juga sebagian dari kita menjadi penggemar berat atau fans mereka.

Lalu, persoalan yang muncul adalah bagaimana hukumnya ngefans terhadap orang-orang tadi, padahal mereka adalah non-muslim?

Memang, hidup di dunia ini telah dilingkupi dengan banyak kenikmatan yang dapat melalaikan dan mengaburkan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran, 14)
Tentang pergaulan dengan orang kafir telah disebutkan dalam ayat berikut:

يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوى وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. (al-Mumtahanah, 1)

Dalam kitab kuning, fans ditekstualkan dengan kata mahabbah atau mawaddah. Kedua kata itu mutaradif (sinonim). Sedangkan lawan katanya adalah bughdlu (benci). Sedangkan pengertian mahabbah (cinta) sangatlah banyak lantaran banyaknya pendapat para tokoh. Kita cuplik satu saja yaitu pendapat dari al-Ghazali, cinta adalah kecenderungan alami terhadap sesuatu yang melezatkan. (Mukhtashor Ihya’ Ulumud Din, 235)

Mahabbah itu ada dua. Yaitu, mahabbah diniy yaitu mahabbah yang didasari faktor agama, seperti mahabbah pada Allah, Rasul-Nya, dan sesama mukmin. Kedua, mahabbah thobi’iy yaitu kecintaan yang timbul karena hal itu sudah menjadi watak/tabiat manusia, seperti kecintaan pada istri, anak, kerabat, dan harta. Kadang, kecintaan secara tabiat juga disertai kebencian secara agama (cinta tapi benci). Seperti cinta seorang muslim kepada orang tuanya yang musyrik. Dari satu sisi (tabiat), dia pasti cinta kepada orang tuanya. Tapi dari sisi lain (agama), dia benci karena menentang Allah. Rasulullah pun demikian, Beliau cinta kepada pamannya (Abu Thalib) karena kerabat, padahal pamannya itu kafir. Dalam al-Qur’an:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (al-Qashash, 56)
Begitu pula sebaliknya, kadang ada juga kecintaan secara agama disertai dengan kebencian secara tabiat, seperti jihad. Secara tabiat, pastilah orang akan benci dengan peperangan. Tapi secara agama tidak seperti itu. (Ijabatus Syaikh Abdur Rahman al-Barrak, I, 40)

Kembali ke pokok persoalan, menurut pandangan fiqh, hukum mencintai dengan kecondongan hati terhadap orang-orang non-muslim adalah haram walaupun bukan karena kafirnya. Adapun hukum berkumpul bersama orang kafir secara lahiriyyah, hukumnya makruh selama tidak diharapkan keislamannya, atau karena kerabat, atau tetangga. Jika karena diharapkan keislamannya, tetangga, atau kerabat, maka hukumnya boleh. Hukum ini sama persis dengan hukum mencintai orang-orang fasik (fussaq). Haram jika tidak karena kerabat atau tetangga. (Hasyiyatul Bujairimi ‘Alal Khatib, XIII, 81)

Tapi ada ulama lain yang berpendapat berbeda. Jika cintanya karena kekafirannya, maka haram hukumnya. Sedangkan jika mencintainya bukan karena kekafirannya, entah karena karya, prestasi, atau skillnya, maka makruh. Juga diperbolehkan mahabbah karena mengharapkan keislamannya, walaupun memang kita hanya bisa berharap saja, karena petunjuk hanyalah milik Allah semata. (Hasyiyatul Qolyubi, IV, 237)

Orang yang kagum terhadap seseorang, biasanya akan meniru orang yang dikagumi tersebut. Inilah dampak dari kekaguman itu. Buntutnya, jika rasa kagum itu sampai membuat kita meniru dalam hal yang haram, maka hukumnya pun haram. Begitu pun sebaliknya, jika kita menirunya dalam hal positif maka boleh-boleh saja. Hal ini berdasarkan hadits yang sudah akrab di telinga kita:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam kaum itu. (Sunan Abi Dawud, XI, 48)

Lalu bagaimana jika hanya teman?
Seperti yang dipaparkan di atas, berteman (berkumpul secara lahiriyyah) dengan orang-orang kafir hukumnya makruh. Dan jika orang kafir tersebut adalah tetangga, kerabat, atau orang yang diharapkan keislamannya, maka boleh. (Hasyiyatul Bujairimi ‘Alal Khatib, XIII, 81)

Kesimpulannya, silahkan ngefans terhadap siapapun atau bahkan apapun sesuka Anda, tetapi tentunya dengan batasan-batasan yang tadi telah diutarakan.
Yang harus kita ingat adalah dalam hidup ini semua manusia pastilah memiliki pedoman hidup. Dan salah satu pedoman hidup kita adalah Islam yang menjadi agama kita. Dan dalam Islam pun sudah ada makhluk Allah yang diciptakan dengan sempurna dan paling pantas untuk dikagumi bahkan dicintai oleh seluruh umat manusia, karena dialah utusan Allah yang paling mulia, pembawa pencerahan dan cahaya Islam. Siapakah itu? Pembaca pastilah bisa menjawabnya sendiri. [eLFa]

El-Fajr Edisi 20

Jumat, 10 Februari 2012

Obat Najis, Bolehkah?

Setiap orang pasti pernah merasakan dua hal, sehat dan sakit. Kedua hal ini saling berkaitan, satu sama lain saling melengkapi. Karena tidak ada orang yang bisa mengatakan dirinya sehat, jika dia tidak pernah merasakan sakit, begitu pun sebaliknya. Karena itu setiap orang yang merasa dirinya sakit, pasti akan berusaha agar kembali menjadi sehat. Usaha inilah biasa disebut dengan ‘pengobatan’.

Pengobatan sudah ada sejak zaman dahulu, karena pengobatan merupakan hasil dari observasi dan pengalaman manusia untuk mencari obat bagi penyakit yang dideritanya. Dulu, pengobatan masih menggunakan cara dan bahan alami, yaitu menggunakan alam sebagai obatnya. Namun, seiring perkembangan zaman yang semakin canggih dan modern, pengobatan sudah menggunakan proses dan cara yang lebih modern. Kemasan obat pun, kini ada dalam berbagai bentuk. Mulai dari pil, puyer, kapsul, salep, dan lain sebagainya.

Ada juga pengobatan dengan air kencing sebagai salah satu pengobatan alternatif untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Katanya, urin memiliki kegunaan dapat dipakai sebagai obat luar untuk mencegah infeksi dan diminum untuk meredakan sakit lambung dan usus.

Lalu, bagaimana Islam menanggapi hal ini?

Dalam al-Qur’an disebutkan:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku. (as-Syu’ara, 80)
“Setiap penyakit itu pasti ada obatnya”, itulah slogan yang paling cocok dalam agama kita. Slogan ini bukannya tak berdasar, tapi justru malah memiliki dasar yang kuat, yaitu hadis Nabi:

إِنَّ اللَّه أَنْزَلَ الدَّاء وَالدَّوَاءلِكُلِّ دَاء دَوَاء فَتَدَاوَوْا وَلَا تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, setiap ada penyakit pasti ada obatnya maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan barang haram. (Sunan Abi Dawud, X, 371)

Dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh, setiap lafal yang diawali dengan lafal ‘kullu’ itu bersifat umum. Karena itu, dapat disimpulkan dari hadis tersebut bahwa semua penyakit itu pasti ada obatnya, walaupun mungkin masih belum ditemukan oleh ahli medis. (Lubbul Ushul, 70)

Mengenai hukum berobat sendiri, hukumnya adalah sunah bagi orang yang sakit. Sedangkan bagi orang yang sehat, tidak dianjurkan melakukan pengobatan karena jika obat tidak bereaksi dengan penyakit justru akan membahayakan bagi si pengguna. (Faidlul Qodir, II, 273)

Ada banyak cara untuk melakukan pengobatan, tapi ada beberapa metode yang diajarkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita para umatnya. Dari berbagai hadis, Rasulullah biasanya mempergunakan metode bekam (hijamah) untuk pengobatan. Bahkan, Rasul pun pernah mengatakan bahwa bekam adalah pengobatan paling ideal, karena bekam berfungsi mengeluarkan penyakit-penyakit yang terdapat dalam darah kotor.

Mungkin memang benar, ada beribu-ribu cara seseorang melakukan pengobatan. Termasuk yang pernah disinggung di awal pembukaan tadi yaitu menggunakan barang najis, apakah hal ini diperbolehkan?

Menurut hadis Sunan Abi Dawud di atas, bisa dipahami bahwa tidak boleh berobat dengan barang haram, termasuk berobat menggunakan barang najis, baik itu digunakan untuk obat luar ataupun dalam. Kecuali jika memang tidak ditemukan obat lain yang suci yang bisa digunakan sebagai obat. (I’anatut Thalibin, IV, 176)

Lalu bagaimana dengan hadits:

إن الله لم يجعل شفاء أمتي فيما حُرّم عليهم

Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagi umatku yang di dalamnya terdapat barang yang diharamkan.
Mungkin jika dilihat sekilas, timbul pertentangan antara hukum di atas tadi dengan hadits tersebut, tetapi sebenarnya, dalam konteks hadis ini yang dimaksud ma hurrima ‘alaihim adalah arak saja, karena arak bukanlah obat melainkan penyakit. Walaupun dalam keadaan dhorurot, arak tetap tidak boleh diminum, arak hanya diperbolehkan sebatas sebagai obat luar saja. Jika sampai digunakan sebagai obat dalam, maka hukumnya mutlak haram. Begitu pula racun, tidak boleh digunakan sebagai obat dalam, hanya obat luar. (al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an Lil Qurthuby, I, 432¬; Tanwirul Qulub, 390)

Mengenai hal ini, Nabi pernah berkata:

إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ

Sesungguhnya arak bukanlah obat, melainkan penyakit. (Shahih Muslim, X, 191)
Zaman sekarang, penggunaan barang najis sebagai obat merupakan hal yang jarang. Karena sekarang, sudah ada banyak macam obat-obatan yang suci dan jumlahnya pun sudah beratus-ratus bahkan sampai beribu-ribu di dunia ini. Hal yang masih sering terjadi adalah karena mahalnya harga obat yang suci, maka orang-orang yang miskin seringkali tidak mampu untuk membelinya. Masih ada banyak setok obat yang suci, tetapi ganti si sakit yang tidak mampu untuk membelinya karena faktor ekonomi, sedangkan yang ia mampu hanyalah obat najis.

Bagaimana jika timbul masalah demikian?
Bila demikian halnya, maka jawabannya boleh, karena orang yang tidak mampu untuk membeli obat tersebut masuk dalam kategori dhorurot. (Lubbul Ushul, 8)
Ada sebuah kaidah fiqh yang berbunyi:

الضرورات تبيح المحظورات

Dhorurot memperbolehkan perkara-perkara yang dilarang.
Pengertian dhorurot sendiri adalah kondisi dimana jika tidak menggunakan suatu yang diharamkan akan dikhawatirkan jatuh pada kebinasaan atau mendekati kebinasaan. (Idlohul Qowaidil Fiqhiyyah, 43)

Jadi, kesimpulannya, pengobatan dengan menggunakan barang najis hukumnya tidak boleh, kecuali dengan ketentuan-ketentuan seperti yang tersebut di atas. Yakni, jika tidak ditemukan barang suci lain sebagai obat. Sedangkan untuk barang najis berupa khamr dan racun, sama sekali tidak boleh digunakan untuk obat dalam (diminum) meski dalam keadaan dharurat. Khamr dan racun hanya diperbolehkan sebagai obat luar saja.
Sangat benar, sehat itu mahal harganya. Sehat adalah hal yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tapi bukan berarti kita harus melakukan cara apapun untuk mendapatkan kesembuhan saat sakit. Hal yang diharamkan agama tetap harus kita hindari. Selain itu, terkadang sakit justru diperlukan, karena bisaanya orang yang dalam keadan sakit lebih banyak ingat dan dekat kepada Allah ketimbang orang yang sehat.

Dan ingatlah, Allah memberikan nikmat sehat ini kepada kita semua secara cuma-cuma, tanpa memungut biaya sepeser pun. Maka dari itu, jagalah dan pergunakanlah nikmat Allah ini dengan sebaik-baiknya. [eLFa]

Sabtu, 04 Februari 2012

Santri Ma’had Dominasi Juara


QUDSIYYAH, KUDUS-Santri Ma’had Qudsiyyah menunjukkan kemampuannya dalam even Class Meeting Madrasah Qudsiyyah dalam rangka Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw tahun 2012 ini. Kelas XI D yang merupakan kelas dari santri Ma’had Qudsiyyah meraih juara umum class meeting tingkat Aliyah . Ini merupakan kali kedua kelas santri Ma’had Qudsiyyah meraiah juara umum, setelah tahun lalu, kelas yang sama (dulu kelas X D) meraih gelar juara umum.

Tahun ini perlombaan dilaksanakan pada Selasa (31/1/2012) hingga Kamis (2/2/2012). Sebanyak 15 santri Ma’had meraih juara lomba antar-kelas sehingga menjadi juara umum.

Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) dan lomba Muthola’ah, juaranya diborong semua oleh santri Ma’had Qudsiyyah.pada lomba LKTI, Ainun Najib (XI D), meraih juara I, M Zidni Nafi’ (XI D) menjadi juara II, dan juara III diraih Ridwan Hanafi (X D). sementara lomba Muthola’ah secara berurutan diborong oleh Chilmy Abdillah (XI D), Ahdanal Halim (XI D), dan M. Rifa'i (XI D).

Dua santri lainnya juga mendominasi pada lomba pidato bahasa Arab. M Asrori (XI D) dan Randi Julianto (XI D) meraih juara pada lomba ini masing-masing menjadi juara I dan juara II.

Pada pidato bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, juara pertama pada kedua lomba itu diraih oleh Khotibul Umam Annahar (XI D).

pada LCT (Lomba Cerdas Tepat) Musfar Munji (XI D) meraih juara II dan Abdul Basyar (XI D) meraiah juara III. Sementara dpada lomba Qiro’ah Musfar Munji meraih juara I dan Amal Fuad (XI D) meraih jura II. Dan M Miftahul Albab meraih juara III pada lomba puisi.

Tak hanya di tingkat Aliyah, pada tingkat MI beberapa santri Ma’had juga menunjukkan kepiawaiannya. Pada lomba hafalan Hadis Arbain, M. Shahidul Anam (VI MI) meraih juara pertama. Santri lainnya, Alex Yusron (VI MI) juga berhasil meraih dua juara sekaligus, juara II lomba pidato bahasa Indonesia dan juara II lomba kaligrafi. Sedangkan juara I pada lomba M Humam Azka (VI MI) meraih juara pertama lomba pidato bahasa Indonesia. (*)

Jumat, 03 Februari 2012

Inilah, Pemabuk yang Merenggut Nyawa

Banyak peristiwa merenggut korban jiwa di negeri ini. Dari kasus kerusuhan, kecelakaan, penyerangan tidak jelas, demonstrasi anarkistik, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa itu seolah terus menerus ada sejak dulu. Yang terbaru dan menjadi perbincangan banyak orang adalah peristiwa tabrakan pada Ahad, 22 Januari 2012. Mobil Daihatsu Xenia yang disopiri Afriyani Susanti melaju kencang dan menghantam belasan pejalan kaki di trotoar dan halte di Jalan M.I. Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat. Akibatnya, sembilan orang tewas dan tiga terluka, termasuk korban jiwa dari kecamatan Mayong, kabupaten Jepara. Lebih heboh lagi, Afriyani menyetir mobil tersebut dalam keadaan mabuk akibat mengkonsumsi narkoba.

Lalu bagaimana pandangan fiqh mengenai peristiwa yang merenggut korban nyawa ini, dapatkah dikategorikan sebagai pembunuhan?

Pada dasarnya, semua perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang masuk dalam kategori qatl (pembunuhan), termasuk perbuatan menabrak seseorang yang mengakibatkan kematian. Dalam Islam, membunuh orang lain adalah perbuatan yang diharamkan Allah jika tidak disertai alasan yang benar. Allah berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 33:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (QS. Al-Isra’, 33)

Dalam fiqh, dijelaskan bahwa qatl (pembunuhan) dibagi menjadi tiga. Pertama, 'amdun mahdlun (murni sangaja) yaitu orang yang sengaja menyerang pada orang tertentu dan menggunakan alat yang secara teori bisa digunakan untuk membunuh. Kedua, Syibhu 'amdin (semi sengaja) yaitu orang yang sengaja menyerang pada orang tertentu dan menggunakan alat yang lazimnya tidak bisa membunuh. Seperti menggunakan tangan, kerikil, dan pensil. Dan ketiga, khothoun mahdlun (murni kekeliruan) yaitu orang yang tidak sengaja membunuh orang lain. Misalnya seseorang menembak burung ternyata mengenai orang lain yang mengakibatkan kematian. (Fathul Mu’in, IV, 125; Nihayatuz Zain, 339)

Hukum asli membunuh memanglah haram, namun ada juga membunuh yang dibenarkan oleh syara’ yaitu sebagai hukuman (balasan) terhadap terhadap orang yang zina muhshon (sudah mempunyai istri atau suami), orang yang membunuh muslim secara sengaja, dan orang murtad. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sembarang orang dan harus menunggu keputusan hakim dan dilakukan aparat pemerintah.

Nabi pernah berkata:

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ كُفْرٌ بَعْدَ إِسْلَامٍ أَوْ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ أَوْ قَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ

Tidak halal darah seorang muslim kecuali sebab tiga perkara yaitu kafir setelah Islam, zina muhshon, atau membunuh nyawa dengan tanpa haq. (Sunan Abi Dawud, XII, 87)

Dalam masalah pembunuhan, dikenal juga istilah 'qishash', sebagai hukuman atas perbuatan pelaku. Qishash adalah melakukan pembalasan sesuai dengan apa yang dilakukan pelaku. (at-Ta'rifat, I, 56).

Qishash dalam pembunuhan hanya dapat diberlakukan untuk pembunuhan 'amdun mahdlun (murni sengaja). Juga ditambah lagi harus memenuhi empat persyaratan yang telah dibeberkan fiqh, yaitu, pembunuh adalah orang yang berakal, baligh, pembunuh bukan orang tua dari korban (orang yang dibunuh), dan orang yang dibunuh derajatnya tidak lebih tinggi dari orang yang membunuh. Artinya jika orang Islam membunuh orang kafir, orang merdeka membunuh budak, maka tiada qishosh baginya. Tapi jika sama derajatnya, seperti yang diterangkan dalam al-Qur'an al-Baqarah ayat 178, "…diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita... ", maka wajib qishash bagi si pembunuh. (Kifayatul Akhyar, II, 159)

Untuk pembunuhan selain ‘amdun mahdlun yaitu syibhu ‘amdin dan khothoun mahdlun, maka dikenakan diyat (denda). (Fathul Qarib, 53). Selain diyat, bagi pelaku juga diwajibkan untuk membayar kafarat. Kafarat yang wajib ditunaikan adalah memerdekakan budak perempuan muslimah. Apabila tidak menemukan budak, maka puasa dua bulan berturut-turut. (Raudaltut Thalibin, III, 416)

Allah dalam menurunkan hukum sesuatu tidak pernah asal-asalan, maka dari itu qishash pun pastilah memiliki hikmah agung dari diberlakukannya. Seperti yang tertera dalam surat al-Baqarah ayat 179, "Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu". Artinya, jika ada seorang yang mau membunuh, dia akan tidak jadi membunuh, karena akan muncul rasa takut dengan hukum qishash yang menantinya. Ini berarti qishash menjamin keberlangsungan hidup dan bukannya malah melayangkan nyawa. (Tafsir ibn Katsir, I, 492)

Ada sebuah masalah lagi mengenai qishash, sekarang bagaimana jika terdapat satu orang yang dikeroyok sejumlah orang dan akhirnya meninggal? Siapakah yang terkena hukum qishash?

Fiqh tak ketinggalan membahas hal itu. Fiqh menetapkan bahwa semua yang yang ikut berpartisipasi dalam pembunuhan itu dikategorikan sebagai qotil (pembunuh). Suatu cerita telah tersebar bahwasanya suatu ketika Sayyidina Umar telah meng-qishash lima atau (dalam riwayat lain) tujuh orang yang mana orang-orang tersebut telah membunuh satu orang. (Fathul Mu’in, IV, 135)

Lalu bagaimana mengenai orang mabuk yang melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian orang lain?

Jika kita pandang dari sisi pelaku. Orang yang tengah mabuk, walaupun tidak dapat mengendalikan tubuhnya sendiri, tapi orang mabuk masih dianggap sebagai seorang mukallaf. Karena sakron (orang yang mabuk) ataupun orang yang mengonsumsi obat-obatan lainnya yang dapat menghilangkan akal, masih terkena hukum taklif (terbebani hukum). Karena dia sudah tahu kalau obat-obatan itu bisa menimbulkan efek yang menyebabkan ia tidak dapat mengendalikan diri, kok masih dikonsumsi, berarti di sinilah letak kesalahannya. Jadi, pelaku perbuatan ini dapat dikenai hukuman qishash jika ia melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja (amdun mahdlun). (Raudlatut Tholibin Wa ‘Umdatul Muftin, III, 321; Hasyiyatul Jamal, XX, 256)

Lalu bagaimana nasib sang korban kecelakaan yang tengah meninggal? Dapatkah dikategorikan syahid?

Syahid digolongkan menjadi tiga macam. Pertama, syahid dunia akhirat, ialah orang yang gugur dalam perang melawan orang-orang kafir demi membela agama Islam. Kedua, syahid dunia ialah orang yang meninggal dunia karena terkena musibah, seperti orang yang meninggal karena suatu penyakit, tenggelam, terkena bencana, dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah syahid akhirat, yaitu orang yang gugur dalam perang sabilillah, namun perangnya karena mengharap harta rampasan, dendam, atau riya. Jadi, orang-orang yang tertabrak mobil (kecelakaan) dalam kasus di atas, masuk dalam kategori syahid akhirat, karena kecelakaan tersebut termasuk musibah bagi si korban. Maka dari itu, mereka masih dimandikan, dikafani, dan dishalati sebagaimana mayit-mayit muslim yang lain. (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, V, 264)

Islam sangat menghargai nyawa manusia, dengan bukti adanya hukum mengenai qishash, syahid, dan sebagainya, seperti yang telah disebut di atas. Berhati-hatilah!.[eLFa]