Jumat, 20 Mei 2011

LULUS UJIAN, JANGAN CORAT-CORET SEMBARANGAN


“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”(QS. al-Insyirah, 5-6)
Badai pasti berlalu. Begitulah yang baru saja dialami oleh sebagian pelajar di seluruh Indonesia. Seolah tulang rapuh mereka banting, keringat mereka kucurkan, semua usaha mereka lakukan. Tak lain hanya untuk meraih satu kata, lulus. Setelah kesulitan itu berlalu, maka kegembiraan pun menyambut.

Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu beban terberat bagi pelajar. Pasalnya, pendidikan yang ditempuh selama tiga tahun seolah hanya ditentukan oleh ujian yang hanya dilakukan dalam beberapa hari. Agar dapat melewati ujian dengan sukses, mereka pun menempuhnya dengan segala macam cara, dari belajar tak kenal waktu, bahkan kadang sampai ada yang membeli bocoran jawaban.

Akhirnya, jika tidak lulus, ada yang frustasi bahkan ada yang nekad sampai bunuh diri. Tapi bagi mereka yang masih dibekali iman yang kuat, mereka akan bersikukuh untuk bangkit menjadi manusia yang lebih kuat dan tidak patah semangat. Di sisi lain, bagi mereka yang berhasil dan lulus ujian, sebagian dari mereka melakukan amalan kebajikan dan menepati nadzar. Akan tetapi, sebagian dari mereka ada juga yang melampiaskan kegembiraannya dengan mengumbar nafsu dengan melakukan aksi corat-coret baju bahkan berkonvoi liar di jalan raya. Mereka melakukan aksi ini semata-mata untuk mengekspresikan kegembiraannya setelah lulus ujian.

Lantas, apakah tindakan ini dibenarkan? Bagaimanakah yang seharusnya mereka lakukan?
Kalau kita runut, lulus ujian merupakan suatu karunia besar dari Allah. Betapa tidak, kelulusan ini ditempuh dengan susah payah selama menghadapi ujian. Di lain pihak, orang-orang yang tidak lulus akan merana dan frustasi. Oleh karena itu, kelulusan ini merupakan suatu nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang patut disyukuri. So, bagaimana mensyukurinya?

Secara etimologi, syukur adalah berterima kasih pada Allah. Sedangkan secara istilah (terminologi tasawuf), syukur adalah melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangannya lahir batin, baik dalam bisikan hati, ucapan lisan, maupun refleksi amaliyah badan. Maka, inti dari syukur adalah adanya kesadaran bahwa semua nikmat yang ada pada dirinya berasal dari Allah dan nikmat tersebut tidak digunakan kecuali dalam rangka taat kepada-Nya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1115, Tafsir Qurthubi, VII, l343)

Sedangkan menurut macamnya, bersyukur kepada Allah ada tiga bentuk: pertama, syukur bil qalbi (dengan hati), yaitu mengakui dan menyadari bahwa segala kenikmatan yang diperoleh berasal dari Allah. Ini akan menghantarkan manusia pada rasa rela. Berapa pun nikmat yang diberikan Allah, akan diterima apa adanya. Kedua, syukur bil lisan (dengan lisan), yaitu mengucapkan ungkapan rasa syukur kepada Allah bahwa semua nikmat yang diberikan adalah dari-Nya. Syukur bil lisan ini bisa ditunjukkan salah satunya dengan mengucap Alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Ketiga, syukur bil jawarih (dengan amal perbuatan), ialah mengamalkan anggota tubuh untuk hal-hal yang baik dan memanfaatkan nikmat itu sesuai dengan ajaran agama, yaitu menggunakan nikmat sesuai dengan tujuan penciptaannya (Tafsir ar-Razi, III, 21).

Kita pun dapat menilik firman Allah:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, maka Kami akan menambah nikmat padamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”.(Q.S. Ibrahim: 7)

Lalu bagaimana dengan mereka yang melakukan konvoi dan coret-coret?
Mengenai corat-coret seragam sekolah dengan cat semprot, spidol, dan sebagainya, telah disinggung di atas bahwa syukur adalah men-tasharuf-kan sesuatu sesuai dengan tujuan penciptaannya. Lantas, apakah seragam ini dibuat untuk dicorat-coret? Apakah cat tersebut dibuat untuk menyemprot seragam? Jawabnya pasti tidak. Seragam dibuat untuk dipakai dalam keadaan bersih dari corat-coret, sedangkan cat dibuat tidak untuk disemprotkan ke baju, tetapi kepada media lain. Jadi, aksi ini bukanlah bentuk syukur sebab tidak menggunakan suatu hal yang sesuai dengan tujuan penciptannya. Juga, perbuatan ini tentu tidak dilakukan dalam rangka taat kepada Allah.

Bahkan, aksi corat-coret tersebut bisa masuk kategori mubazir. Menurut Imam Syafi’i, mubazir adalah menggunakan harta benda kepada selain haknya. Dalam Tafsir Ath-Thabari, disebutkan, mubazir ialah menggunakan harta untuk berbuat maksiat kepada Allah, melakukan sesuatu yang bukan haknya, atau membuat kerusakan. (al-Jami’ Li al-Ahkam al-Quran Lil Qurthubi, I, 3262, Tafsir Ath-Thabari, XVII, 429).

Dalam Surat al-Isra’ ayat 27disebutkan :
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (الاسراء: 27)
Artinya: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu adalah ingkar kepada Tuhanya.

Dari ayat di atas, jelas-jelas mubazir itu dilarang oleh syara’. Selanjutnya, bagaimana dengan konvoi di jalan raya? Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia dikatakan, konvoi diartikan iring-iringan kendaraan dalam perjalanan yang sama. Dalam prakteknya, konvoi ini dilakukan sampai memenuhi jalan dan bahkan dengan cara yang ugal-ugalan. Sehingga, akan mengganggu jalan. Sementara, jalan yang seharusnya digunakan kepentingan bersama, kini dibuat kacau oleh sekelompok orang yang hanya dengan dalih mengekspresikan kegembiraannya.

Yang jelas, aksi konvoi ini tidak dapat dikategorikan dalam bentuk ungkapan syukur. Lantaran perbuatan ini tidak masuk dalam kriteria syukur, bahkan sebaliknya, aksi yang dapat membuat mudarat pada diri sendiri atau merugikan orang lain, maka hal ini jelas dilarang oleh syara’.

Lebih lanjut, Al-Qur'an memberikan petunjuk mengenai mengekspresikan kegembiraan. Ada gembira yang terpuji dan gembira yang tercela.
Allah berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ الله وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ
Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, handaklah dengan itu mereka bergembira.” (Q.S. Yunus, 58)

Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bergembira ketika mendapat karunia dan rahmat dari Allah. Bergembira yang dimaksud di sini ialah merasa gembira lantaran mendapat limpahan karunia dari Allah. Jadi, kegembiraan ini disandarkan kepada Allah. Inilah gembira yang terpuji. Sehingga, kegembiraan ini diungkapkan dengan rasa syukur kepada Dzat yang memberi karunia.

Sedangkan kegembiraan yang tercela ialah merasa gembira dan bangga atas karunia tersebut tanpa merasa bahwa hal tersebut merupakan karunia dari Allah, sehingga menjadikan orang tersebut takabbur dan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran syara’. Hal ini merupakan kegembiraan yang tercela. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
وَإِذَآ أَذَقْنَا النَّاسَ رَحْمَةً فَرِحُوا بِهَا
Dan apabila kami berikan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan (rahmat) itu. (ar-Rum, 36)

Al-Alusi memberikan penafsiran bahwa yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang yang mendapatkan karunia, lalu ia bergembira karena sombong dan bersuka ria kelewat batas bukan karena memuji kepada Allah dan bersyukur, maka hal ini merupakan kegembiraan yang tercela. (Ruhul Ma’ani, XV, 369).

Sebagai penutup, Al-Ghazali menjelaskan bahwa hal yang dialami manusia ini ada dua macam. Pertama, sesuai dengan apa yang menjadi harapan dan keinginannya, dan kedua, tidak sesuai dengan harapannya. Dua hal ini perlu disikapi dengan sabar. Untuk yang pertama, misalnya seseorang mendapatkan kesehatan, keselamatan, harta, jabatan, dan segala macam kebahagiaan duniawi. Kesemuanya ini perlu disikapi dengan sabar. Artinya, jika seseorang tidak membatasi dan menahan diri dari menggunakan karunia tersebut sepuas-puasnya, maka ia dapat terjerumus ke dalam kesombongan dan kezaliman. Oleh karena itu, hendaknya tidak kelewat batas dalam mengekspresikan kegembiraan dengan melakukan berbagai macam kesenangan, hiburan, dan permainan. (Ihya’ Ulum ad-Diin, III, 171) [eLFa]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar