Jumat, 28 September 2012

Nabi Dihina, Tanggapi dengan Bijak

Film  Innocence of Muslims mengguncang dunia Islam. Film yang dibuat Nakoula Basseley Nakoula ini berisi penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw dan ajaran Islam. Dunia Islam mengutuk dan marah besar karena film ini dianggap memprovokasi umat Islam.

Berbagai unjuk rasa mengecam film Innocence of Muslims berlangsung di berbagai belahan dunia. Aksi protes massal terjadi di Kedubes AS berbagai negara seperti Mesir, Yaman, Tunisia, Bahrain, Malaysia, Indonesia, dan lainnya. Bahkan di Libya, film tersebut telah menimbulkan kemarahan warga yang menyerbu konsulat AS di Benghazi pada Selasa, 11 September lalu. Serangan itu menewaskan Dubes AS, Chris Stevens dan tiga pejabat AS lainnya.

Aksi kecaman lain diwujudkan dengan membakar bendera Amerika Serikat, serta bendera Israel yang dianggap ikut dalam mendiskreditkan Islam melalui film itu. Juga, beberapa demo yang dilakukan oleh beberapa demonstran yang berujung bentrokan dan kerusuhan.

Lalu, bagaimana respons kita?

Sebelumnya, terlebih dahulu membahas tentang boleh tidaknya memerankan Nabi Muhammad di dalam drama, sinetron, teater, ataupun sandiwara. Istilah pemeranan berarti memperagakan dari aktor yang dilakoni. (KBBI, 898)

Dalam bahasa Arab, memerankan adalah tamatsul. Ini berbeda dengan istilah meniru yang berarti meneladani perilaku dan sikap keluhuran Nabi dalam kehidupan sehari-hari, atau yang dalam bahasa arab disebut ittiba’ (megikuti tingkah laku). Karena, ittiba’ sangatlah dianjurkan, bahkan ada yang diwajibkan. (at-Ta’rifat, 64; al-Qomus al-Fiqhi Lughotan Wa Isthilahan, I, 48)

Permasalahannya, apakah tamatsul bisa masuk ke dalam kategori ittiba’ Nabi?

Pada dasarnya, kita dianjurkan meneladani atau paling tidak mengikuti sebagian sikap dan perilaku Nabi yang mulia. Seperti yang telah disebutkan Allah dalam surat Ali Imron ayat 31 yang berbunyi :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

Katakanlah wahai Muhammad jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku (ajaranku) maka Allah (juga) akan mencintai kalian serta mengampuni dosa – dosa kalian.(QS. Ali imron, 31)

Tetapi dalam masalah memerankan sosok Nabi, baik nash Al-Qur’an maupun Hadits  tidak ada yang menjelaskannya secara detail. Namun, ada beberapa kewajiban yang kita lakukan kepada sosok Nabi.
Pertama, kita sebagai umatnya memiliki tugas utama untuk senantiasa mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Nabi baik berupa perintah maupun larangan. Kedua, kita berkewajiban untuk mengagungkan Nabi, tidak boleh menghina dan merendahkan beliau. Orang yang berani menghina Nabi termasuk perbuatan dosa besar. Lebih-lebih, bila pelakunya beragama Islam maka ia tidak lagi diakui sebagai umat muslim dan halal darahnya untuk dibunuh. (Marqot Shu’udi at-tashdiq  fi Syarhi Sulamu at-Taufiq, 13; Is’ad ar-Rofiiq wa Bughyatu as-Shiddiq,II, 84)

Dalam realitanya, pemeranan nabi tidak akan bisa sama persis dengan wujud asli Nabi, akhlak maupun fisik. Hal ini akan mengurangi kehormatan dan keagungan Nabi. Padahal, Nabi itu ma’shum dari cacat akhlak maupun fisik. Oleh karena itu, memerankan nabi menjadi tidak boleh karena hal tersebut. (al-Buhuts al-Ilmiyyah, IV, 162)

Film Innocence of Muslims jelas-jelas tidak diperkenankan karena ada unsur pelecehan, penghinaan, serta penistaan terhadap Nabi. Dalam cuplikan film tersebut menggambarkan Nabi kita sebagai orang yang bodoh, hidung belang, penipu agama, pelecehan anak serta sifat-sifat yang tidak patut diberikan kepada Nabi. Na'udzu billahi min dzalik.
Selain itu, dalam film tersebut memang ada unsur provokasi yang disengaja untuk memecah belah umat muslim di dunia.
Mengenai proses hukum yang dijatuhkan bagi pelaku yang melecehkan Nabi, Ibnu Ibthal berpendapat, pelakunya harus dibunuh tanpa diminta pertaubatan. Menurut Ibnul Mundzir, pelaku harus diminta pertaubatan dulu. Dan jika ia adalah ahlul ‘ahdi (orang kafir yang berdamai dengan umat Islam), maka ia harus dibunuh, kecuali jika pelakunya masuk Islam. Menurut Imam Hanafi, ahlul ‘ahdi tidak dibunuh, tapi diserahkan kepada hakim, untuk dita’zir (diberi hukuman). (Subulus Salam, VIII, 59)

Ali bin Abi Tholib menuturkan bahwa ada seorang wanita Yahudi yang sering mencela dan menjelek-jelekan Nabi Muhammad. Oleh karena perbuatanya itu, perempuan tersebut telah dicekik sampai mati oleh seorang lelaki. Ternyata Rasulullah menghalalkan darahnya. Nash hadits tersebut menegaskan bahwa darah orang yang menghina Nabi adalah halal dibunuh. Dengan kata lain hukuman atas orang-orang yang mencela, merendahkan, memperolok-olok dan menghina Rasul adalah hukuman mati. (Sunan Abu Dawud, II, 533).

Selanjutnya bagaimana cara kita menanggapi provokasi tersebut yang akan memecah belah umat muslim?

Dengan keras, Islam sangat mengecam tindak provokasi, isi provokasi, dan isu-isu yang diusungnya, yang merupakan provokasi dalam tindak negatif. Sementara itu, jika diteliti dari aksi yang mengadu domba satu kelompok dengan kelompok yang lain, maka provokasi dalam kaca mata fiqh lebih identik dengan istilah namimah. (Is’adur Rofiq, 74)

Imam al-Ghazali menjelaskan panjang lebar, betapa tindak namimah dikecam keras oleh Allah dan Rasul- nya. Ayat yang bisa disebut mengecam provokator di antaranya adalah QS. al-Qalam ayat 10-11 yang berbunyi:

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِين هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,  yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. (QS. Al-Qalam, 10-11)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang dikutip al-Ghazali tentang namimah, yang menjelaskan bahwa tiada tempat yang lebih pantas bagi mereka kecuali neraka. Dan yang perlu digarisbawahi, provokator berupaya melakukan kerusakan di muka bumi. Karena bisa di pastikan, bahwa tindak provokasi selalu membuahkan hasil yang merusak. Misalnya seperti hadits berikut:

لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ نَمَّامٌ

Tidak akan masuk surga orang yang selalu mengadu domba. (al-Adzkar an-Nawawi, I, 335).

Maka cukuplah, penjelasan Al-qur'an dan hadist ini menjadi bukti bahwa dalam pandangan Islam provokator itu amatlah keji dan harus di hindari.

Khusus masalah provokator,  ada enam tips yang diberikan Imam al-Ghazali untuk menghadapi provokator. Pertama, apapun yang dikatakan provokator jangan sekali-kali dibenarkan. Kedua, berilah nasihat kepada provokator untuk menghentikan aksinya, dengan memberi tahu sisi buruk dari perbuatan provokasi. Ketiga, janganlah kita menyokongnya, karena Allah membencinya. Keempat, lakukan pengecekan untuk memastikan kebenaran isu yang dibawa provokator. Kelima, janganlah menjadi corong provokator untuk semakin menyebarkan isu yang diusungnya. Keenam, jangan sekali-kali mengikuti kata provokator, apakah itu menyuruh melakukan sesuatu atau melarang. (Ihya' Ulumiddin, III, 165)

Kembali ke soal film, lebih baik kita menyelesaikan masalah yang besar ini dengan damai dan bijak tanpa ada pertumpahan darah di antara kita. Karena, tindak kekerasan akan memunculkan persoalan baru lagi. Kita bersikap mengutuk dan tidak merelakan Nabi kita dihina, tetapi jangan dengan sikap dan tindakan anarkis. Pengecaman yang dilakukan jangan sampai kontraproduktif.

Jika kita melaksanakan hukuman mati untuk Nakoula Basseley Nakoula (sutradara film Innocence of Moslems) maka hal itu akan sulit dilakukan karena dia dilindungi oleh pemerintah Amerika Serikat yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Maka dari itu kita ambil jalan tengah, kita harus bersikap menyatakan bahwa kita tidak rela kalau Nabi kita dilecehkan, namun sikap itu tidak dibarengi dengan kekerasan. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan lobi atau diplomasi melalui organisasi dunia seperti PBB, OKI (Organisasi Konferensi Islam), dan sebagainya. [eLFa]

BULETIN EL-FAJR MA'HAD QUDSIYYAH KUDUS, EDISI 31/28 September 2012

Jumat, 21 September 2012

Mari Memotret

Setiap jam, menit, detik, dunia ini selalu mengalami perubahan. Tekhnologi pun mengalami kemajuan yang pesat dalam segala bidang, sehingga pekerjaan manusia semakin hari semakin ‘instan’. Begitu juga dalam dunia menggambar. Mungkin dahulu manusia menggambar masih menggunakan bebatuan, seperti relief. Alat tulis pun tak lupa mengalami perkembangan. Dunia teknologi juga unjuk gigi dalam bidang ini dan malah lebih mudah.  Tinggal ‘jepret’ langsung jadi sebuah gambar. Tehnik gambar yang “instan” ini disebut dengan “fotografi”.

Dunia fotografi adalah dunia penuh warna. Semua yang nyata dengan mudah mampu tergambar dalam selembar kertas. Objeknya pun bervariasi, mulai dari yang serius, yang lucu, bahkan sampai yang aneh pun ada. Menjadi tak heran jika warta penuh dengan foto, karena foto sejatinya mampu bercerita dan memberita. Foto juga dapat dijadikan sebagai bukti sejarah atau pun menjadi kenangan-kenangan indah yang pernah kita alami.

Bicara soal objek foto, banyak objek yang bisa dijadikan sebagai bahan pemotretan, seperti pemandangan indah, laut luas, dan tak jarang pula para pemotret mengambil objek manusia, ataupun binatang sebagai bahan pemotretan. keduanya adalah makhluk hidup.

Inilah yang akan menjadi pembahasan kita kali ini. Apakah benar ada dalam fiqh tentang anggapan bahwa menggambar makhluk hidup itu disamakan dengan pembuatan makhluk hidup yang dilakukan oleh Tuhan?
 Ada sebagian ulama yang berpendapat mengharamkan menggambar manusia, binatang, ataupun hewan, yang mana termasuk makhluk Allah yang mempunyai ruh. Sedangkan benda-benda yang tidak mempunyai ruh, diperbolehkan menggambarnya. Mereka mendasarkan pendapat mereka dari hadits:

مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَاباً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُصَوِّرُونَ هذِهِ الصُّوَرَ

Sesungguhnya termasuk dari manusia yang paling pedih siksanya di hari kiamat adalah yang menggambar gambaran ini. (Fiqhus Sunnah, III, 498)

Tambah lagi riwayat dari Abdullah bin Abbas tentang adanya ancaman bahwa besok di hari kiamat orang-orang yang menggambar objek itu akan disuruh memberikan nyawa pada gambarannya. Sedangkan orang-orang itu tak akan bisa meniupkan nyawa selamanya. (Fiqhus Sunnah, III, 498)

Ada juga hadits Nabi yang mengatakan:

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ

Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar. (Shahih Bukhari, III, 1206)

Hadits ini menerangkan malaikat tidak mau masuk ke dalam rumah yang dihuni oleh anjing dikarenakan banyaknya najis, dan juga karena anjing itu adalah syetan, seperti yang ada dalam salah satu teks hadits. Sedangkan malaikat itu adalah lawan dari syetan. Karena itu, malaikat tidak berkenan untuk masuk ke rumah tersebut. Untuk yang gambar, malaikat tidak mau masuk rumah yang ada gambarannya dikarenakan gambaran adalah dosa yang keji karena di dalamnya terdapat unsur menyerupai buatan Allah, gambaran adalah sesembahan selain Allah. Maka dari itu malaikat tidak sudi untuk masuk ke dalam rumah itu.

Namun, bukan mutlak semua malaikat tidak mau masuk ke rumah yang ada gambarannya, tetapi yang dimaksud adalah malaikat yang yang tugasnya berkeliling membagi rahmat, berkah, dan ampunan. Adapun malaikat selain itu, tentu masih berkenan masuk karena bertugas sebagai pencatat amal, penjaga diri manusia, atau pencabut nyawa. Ketidakmauan malaikat tadi bukan karena malaikat rahmat itu takut pada gambar, syetan, atau pada anjing, tapi memang telah di-setting oleh Sang Pencipta seperti itu, sehingga pemilik rumah tidak mendapat jatah rahmat dan ampunan yang sedang dibagi-bagi. (Syarhun Nawawi Ala Muslim, VII, 207)

Makhluk hidup yang dimaksud di sini bukan hanya makhluk hidup yang sering kita lihat saja, tetapi juga mencakup makhluk-makhluk hidup fantastis yang bahkan mungkin kita belum pernah memikirkannya. Seperti kuda bersayap, burung berwajah manusia. Semuanya termasuk diharamkan untuk menggambarnya, karena semua itu juga menyerupai berhala. (Fathul Mu’in, III, 411; Ibanatul Ahkam, II, 335)
Menurut Imam al-Adzra’i, pendapat yang telah masyhur mengatakan kebolehan menggambar hewan yang tidak berkepala. Dipandang dari dhohir hadits, hewan yang tak berkepala, berarti tak bisa hidup. Sedangkan yang diharamkan adalah yang dimungkinkan hidup. (Mughnil Muhjat Ila Ma’rifati Alfadhil Minhaj, XIII, 104)

Berbeda lagi dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi. Beliau berpendapat bahwa boleh membuat gambar begitu jika gambar itu tidak ada bayangannya. Jadi yang haram adalah semacam patung yang berbentuk tiga dimensi. (Ibanatul Ahkam, II, 336)

Selain itu, pembuatan gambar/patung berupa boneka, robot, dan mainan anak-anak lainnya diperbolehkan. Dengan alasan mainan anak adalah kebutuhan bagi anak-anak, sampai mereka bisa berpikir dewasa. Siti ‘Aisyah pun pernah bermain menggunakan boneka di samping Rasulullah. Selain bentuk boneka, bentuk-bentuk binatang yang biasa ditemui pada permen, botol minuman, juga diperbolehkan. Karena juga termasuk kebutuhan bagi anak-anak. Gunanya adalah untuk melatih mereka dalam urusan pendidikan dan sebagai sarana edukatif. (Fathul Mu’in, III, 413)

Alasan (‘illat) kenapa menggambar ataupun membuat patung itu diharamkan adalah karena termasuk tasyabbuh. Yaitu menyerupai buatan Allah dan menyerupakan dirinya (orang yang membuat) dengan Allah. Segi persamaannya adalah sama-sama membuat bentuk makhluk.

Setiap perkara yang diharamkan pastilah mengandung hikmah tersendiri. Begitupun juga tentang pengharaman gambar dan patung ini. Hikmahnya adalah jauh dari berhala-berhala, melindungi diri dari perbuatan syirik, dan menyembah berhala. Pernah diriwayatkan bahwa nama-nama berhala seperti Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr, adalah nama orang-orang shaleh kaum Nabi Nuh. Ketika orang-orang shaleh itu meninggal, mereka membuat gambarnya untuk mengingat orang-orang shaleh itu. Dan pada akhirnya mereka malah menyembah orang-orang yang digambar tadi. Karena itu, menggambar jadi diharamkan karena nantinya akan berakhir pada penghambaan. (Tafsir al-Qurthubi, XVIII, 308)

Bicara tentang ‘illat, hukum itu berputar sesuai ‘illat-nya. Dalam kondisi sekarang, beda dengan kondisi dahulu, ketika masyarakat Arab masih belum sempurna lepas dari sesembahan nenek moyangnya yaitu patung. Sampai-sampai dalam sejarah mengatakan pada zaman itu ka’bah dikelilingi oleh 360 patung. Dalam sosio-kultur masa itu, memang dimungkinkan pembuatan gambar untuk disembah. Namun dalam kondisi masyarakat sekarang ini, malah jarang-jarang ada pembuatan patung untuk keperluan sesembahan, apalagi gambar. Maka, patung-patung seperti untuk mengingat jasa pahlawan, monumen, ataupun untuk keperluan seni boleh saja. Asalkan bukan untuk disembah.

Lalu bagaimana tentang fotografi?

Dalam KBBI, pegertian dari fotografi adalah seni dalam keterampilan membuat gambar dengan menggunakan film peka cahaya dalam kamera. (KBBI, 435)

Para ulama ahli fiqh mutaakhirin berpendapat bahwa fotografi (at-tashwir as-syamsi) bukan termasuk dalam area haram seperti halnya menggambar dengan tangan. Karena fotografi merupakan pengambilan gambar selayaknya bercermin. Kemudian bayangan itu dihentikan sehingga menjadi sedemikian rupa. Lagi pula, dalam fotogari ini tidak ada unsur tasyabbuh seperti yang disebut di depan tadi. Maka, boleh-boleh saja memotret objek apapun. Asalkan bukan yang dilarang. (Ibanatul Ahkam, II, 337)

Fotografi pun, jika pengambilan objeknya adalah barang-barang yang banyak dhoror-nya, tentu haram. Seperti foto syur, foto yang menghina orang lain, menghina Tuhan, dan lain sebagainya. Bukan karena fotografinya, tapi karena objeknya adalah sesuatu yang haram.

Akhirnya, fotografi bukanlah merupakan tashwir, tetapi fotografi adalah menghentikan bayangan. Jadi bukan termasuk tashwir yang diharamkan yang dibuat dengan tangan. Juga sama sekali tidak menimbulkan dhoror. Dan lebih baik lagi jika di dalamnya bisa menggugah semangat untuk beribadah, dan berisi maslahat bagi umat. Lebih-lebih digunakan sebagai batu loncatan untuk berdakwah menyebarkan Islam. So, ekspresikanlah senimu! [eLFa]

Buletin EL-FAJR MA'HAD QUDSIYYAH Edisi 30/21 September 2012

Sabtu, 25 Agustus 2012

Ma’had Qudsiyyah Jalin Kerjasama dengan Ma’had Ali Situbondo

KUDUS – Guna meningkatkan pendidikan, Ma’had Qudsiyyah Menara Kudus bekerjasama dengan santri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo menjalin kerjasama.

Kerjasama ini telah dilakukan pada bulan Ramadhan dengan menggelar seminar dengan tema “Posisi Mashlahah dalam Penetapan Hukum Islam” dengan nara sumber dari alumni Ma’had Aly Situbondo.

Sebagai penutupan, secara resmi dari Santri Ma’had Aly memberikan kenang-kenangan kepada santri Ma’had Qudsiyyah. Kenang-kenangan ini berupa kumpulan lembaran-lembaran buletin Tanwirul Afkar (TA) Ma’had Aly yang telah dibukukan dan dikumpulkan menjadi 5 jilid dengan total 500 edisi.  

Penyerahan kenang-kenangan ini dilakukan pada saat Halal Bihalal IKAQ pada Sabtu (25 Agustus 2012). Perwakilan santri Situbondo, Ahmad Kholil memberikan langsung kepada Direktur Ma’had Qudsiyyah KH Fathur Rahman. Kenang-kenangan ini sebagai bacaan serta wacana santri Ma’had, juga sebagai bahan perbandingan dalam menerbitkan buletin El-Fajr Ma’had Qudsiyyah Kudus. (*)

Kamis, 09 Agustus 2012

SEMINAR RAMADHAN “MEMBINCANG MASHLAHAH”

QUDSIYYAH, KUDUS – Ma’had Qudsiyyah Menara Kudus bekerjasama dengan santri Ma’had Aly Salafiyah Syafiiyah Situbondo menggelar kerjasama pada pekan terakhir Ramadhan kali ini. Kegiatan yang dilaksanakan pada 8 Agustus 2012 di Aula MA Qudsiyyah Kerjasan Kota Kudus ini berbentuk seminar dengan tema “Posisi Mashlahah dalam Penetapan Hukum Islam”.
Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut adalah para alumni Ma’had Aly Situbondo seperti DR. Abdul Jalil, M.Ag., Taufiq Aulia Rahman, M.H.I., dan Agus Hafidz, M.H.I. selaian dihadiri sekitar seratus santri takhasuus Ma’had, kegiatan tersebut juga dihadiri para santri Situbondo yang tergabung dalam Ikatan Santri Salafiyah Syafi’iyyah (IKSASS) Jawa Tengah, juga beberapa perwakilan dari mahasiswa Kudus, Jepara dan Demak.
Dalam kesempatan tersebut dua narasumber Taufiq dan Agus Hafidz mengurai tentang persoalan mahlaha dilihat dari sisi akademis kontemporer maupun rujukan kitab-kitab salaf karya intelektual para ulama terdahulu. Sedang oleh Abdul Jalil, mengurai persoalan kekinian serta memberikan contoh-contoh kongkrit saat ini yang berhubuhungan dengan mashlahah.
Ma’had Qudsiyyah sendiri dalam program puasa kali ini, selain mengadakan ngaji kitab juga mengadakan kegiatan-kegiatan seminar. Dua kegiatan seminar dilaksanakan tahun ini. Satu pada pekan kedua dan seminar kedua kerjasa sama dengan santri Ma’had Aly tersebut. Sementara ngaji kitab bandongan dengan mengkaji kitab Kifayatul Akhyar setelah Shalat Tarawih dan kitab Bidayatul Hidayah seusai Ashar. Bagi santri ibtidaiyyah dan Tsanawiyah, ngaji kitab Mukhtashir Jiddan setelah ashar dan malamnya setelah sholat Tarawih ngaji kitab Sulamut Taufiq. (*)

Senin, 16 Juli 2012

Empat Medali diraih Santri Qudsiyyah di Persada

QUDSIYYAH, KUDUS – Kontingen santri Ma’had Qudsiyyah sukses menggondol 4 piala dalam Perkemahan Santri Daerah (PERSADA) Kabupaten Kudus, Sabtu-Ahad (14-15 Juli 2012). Empat piala tersebut antara lain, juara I lomba cerdas cermat, Juara II pionering, Juara III aral lintang, dan juara III Teknologi Tepat Guna.

Kegiatan yang dilaksanakan seminggu sebelum puasa ini dilaksanakan di Taman Sardi Kajar Dawe Kudus. Perkemahan ini merupakan kali ketiga dilaksanakan dan diikuti oleh kontingen santri pondok pesantren di Kabupaten Kudus.

Tahun lalu, Ma’had Qudsiyyah juga sukses meraih 4 piala, hanya saja, tahun ini tidak bisa meraih juara umum seperti pada tahun lalu. (*)

Jumat, 15 Juni 2012

Walau Tulisan Ajam, Al-Qur’an Tetap Mushaf

Makin banyak percetakan, makin banyak pula produksinya. Dari tahun ke tahun, selalu ada buku baru yang lahir. Mulai dari jenis majalah, novel, komik, karya ilmiah, dan sebagainya. Tapi ada satu yang sangat istimewa dan tidak ada bandingannya di dunia ini, yaitu al-Qur’an al-karim.
Al-Qur’an ialah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai mukjizat walaupun dengan salah satu suratnya. Ada juga ulama yang menambahkan pengertian lain, yaitu dihitung ibadah jika membacanya. Sedangkan Mushaf ialah apapun yang ada tulisan al-Qur’annya, walaupun berupa kertas, papan, daun, dll, yang ditujukan untuk dibaca (dirasah). Sebenarnya, al-Qur’an dan mushaf itu sama. Hanya saja, al-Qur’an itu identik dengan bacaan, sedangkan mushaf cenderung dengan tulisan atau kertasnya. Yang banyak ditemui, al-Qur’an sering disandari (mudhaf ilaih) kata membaca (qiroatul quran), dan mushaf sering disandari kata membawa atau memegang (massul mushaf wa hamluhu). (Hasyiyah al-Bujairomy Alal Manhaj, I, 201; Faidlul Qadir, IV, 615; Kasyifatus Saja, 28)
Dari definisi tersebut, maka Hadits Qudsy bukan termasuk al-Qur’an karena disampaikan kepada Nabi bukan sebagai mukjizat. Juga mengecualikan Taurat, Injil, dan Zabur, karena tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad. (Faidlul Qadir, IV, 615)
Al-Qur’an merupakan kitab yang paling mulia di antara kitab-kitab lainnya, apalagi buku-buku biasa. Hal ini termaktub dalam al-Qur’an pada surat Fusshilat ayat 41-42,:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari al-Qur’an ketika al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya al-Quran itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.(QS. Fusshilat, 41-42)
Dalam hal ini pun Nabi Muhammad juga pernah bersabda bahwa al-Qur’an jika dibandingkan dengan kalam lain, sama dengan Allah dibandingkan dengan lainnya.
فضل كلام الله عز وجل على سائر الكلام كفضل الله على غيره
Keutamaan kalam Allah ‘Azza wa Jalla di atas kalam yang lain seperti keutamaan Allah dibandingkan dengan yang lain. (Fadhoilul Qur’an Wa Tilawatuhu Lir Rozy, I, IX)
Mengenai sisi kebahasaan, al-Qur’an hanya menggunakan satu bahasa saja, yaitu bahasa Arab. Namun terkadang ada kata yang kebetulan sama dengan bahasa ajam (selain Arab) dan lebih dikenal dalam bahasa ajam itu. Walaupun begitu, kata tersebut tetap dianggap sebagai bahasa Arab, bukan ajam. Untuk itu, dalam pembacaannya dilarang menggunakan bahasa ajam sebagai contoh lafadz ‘alamin dibaca ngalamin. Sedangkan untuk penulisan al-Qur’an yang menggunakan bahasa ajam, maka diperbolehkan dan juga masih dianggap sebagai mushaf. Sehingga hukum memegang dan membawanya pun disamakan dengan hukum memegang dan membawa al-Qur’an yaitu tidak diperbolehkan bagi orang yang sedang berhadats. Hikmah dari kebolehan menulis ini adalah karena dimungkinkan adanya orang yang membaca al-Qur’an tulisan ajam tapi dengan bahasa Arab. (al-Lughat Fil Qur’an, I, 1; Tuhfatul Habib Ala Syarhil Khathib, I, 551; Hasyiyah al-Bujairimi Alal Khatib, III, 317)
Sedangkan cara membaca al-Qur’an yang baik adalah dengan cara tartil. Untuk pengertian tartil, Sayyidina Ali pernah menjelaskannya, yaitu membaca yang disertai dengan menggunakan tajwid dan mengetahui di mana letak-letak waqof (berhenti). (Tanbihul Ghafilin Wa Irsyadul Jahilin, I, 54)
Metode bacaan tartil memiliki ukuran cara yang paling ‘bawah’ dan juga cara yang paling sempurna. Batas yang paling bawah dalam tartil ialah melafadzkan huruf-huruf dengan jelas walapun pembacaannya cepat. Sedangkan cara yang sempurna ialah berwaqof pas sesuai dengan tempatnya. Tidak melebihi dan tidak kurang. Lebih sempurna lagi jika saat membacanya disertai dengan ekspresi yang sesuai dengan yang dibaca. Misalnya waktu membaca ayat duka, menampilkan wajah dan nada duka. Ketika membaca ayat kemenangan Islam, menunjukkan wajah yang gembira. (al-Burhan Fi ‘Ulumil Quran, I, 449)
Allah berfirman:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً
Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil. (QS. al-Muzzammil, 4)
Perintah yang terkandung dalam ayat tersebut bukanlah bersifat wajib, melainkan hanya bersifat sunnah. Dengan bukti bahwa para ulama sepakat hukum membaca al-Qur’an dengan tartil adalah sunah. Para ulama juga selain menggunakan literatur dari surat al-Muzammil tadi, juga menggunakan literatur dari hadits yang diambil dari keterangan Ummu Salamah ketika menyifati bacaan Nabi yaitu bahwa bacaan Nabi itu bisa ditafsirkan satu huruf demi satu huruf. Bacaan tartil memiliki hikmah agar qari’ bisa menghayati makna-maknanya dan terhanyut dalam bacaanya, juga merupakan salah satu simbol memuliakan al-Quran. (at-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, I, 88)
Sopan santun seseorang muslim saat dilantunkan ayat-ayat al-Qur’an adalah dengan cara diam dan mendengarkan dengan seksama.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan ketika al-Qur’an dibaca, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat. (QS. al-A’raf, 204)
Dhohir ayat ini menunjukkan bahwa amar adalah lil wujub. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun sebagai dalil keharaman berbicara saat shalat, yang mana pada permulaan Islam hal itu (berbicara saat shalat) diperbolehkan. Ada yang mengatakan untuk dalil keharaman jahr (bersuara keras) ketika menjadi makmum. Ada lagi yang berpendapat kalau ayat ini untuk keharaman berbicara saat khatib sedang menyampaikan khutbahnya. Tapi pendapat yang rajih (unggul), ayat ini untuk bacaan imam di dalam shalat. Dengan alasan keumuman lafadz ini, dan ayat ini adalah ayat makkiyyah, sedangkan khutbah baru disyariatkan ketika di Madinah. (al-Wajiz Lil Wahidi, I, 258; al-Bahrul Madid, II, 329)
Untuk orang yang sedang hadats (muhdits), diharamkan memegang maupun membawa mushaf. Tapi, mushaf yang haram dipegang atau dibawa hanyalah yang digunakan untuk bacaan (dirasah), walau dengan tulisan ajam. Al-Qur’an yang digunakan untuk hiasan kaligrafi, jimat, atau tabarruk, hukum memegangnya boleh bagi muhdits. Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab tafsir, juga boleh memegangnya dengan syarat teks al-Qur’annya lebih sedikit dibanding tafsirnya. (Raudlatut Thalibin Wa Umdatul Muftin, I, 26) [eLFa]

Jumat, 08 Juni 2012

Bapak, Aku Ingin Sekolah!

Menjelang tahun ajaran baru, orang tua memiliki kesibukan tambahan. Yang biasanya hanya sibuk dengan masalah pekerjaan kantor, pertokoan, dan sebagainya, kini akan meluangkan waktu guna memberi perhatian khusus kepada anaknya soal pendidikan. Mulai dari membelikan peralatan sekolah, seragam, bahkan mencarikan sekolah baru. Tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengatakan, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan itu sangat penting. Tanpa pendidikan, manusia seperti layaknya hewan. Karena hanya mengetahui hukum-hukum alam saja seperti makan, minum, dan tidur. Maka dari itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang layak sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Islam, pendidikan bukan sekadar hak, tapi suatu kewajiban. Hadits Nabi: طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ Mencari ilmu itu wajib bagi seluruh muslim. (Sunan Ibni Majah, I, 260) Yang dimaksud dalam lafadz “muslim” bukan hanya orang Islam lelaki saja, melainkan mencakup seluruh orang mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan. (Hasyiyatus Sanadiy ‘Ala Ibni Majah, I, 208) Lalu bagaimana soal pembiayaan, khususnya oleh anak-anak? Biaya untuk menopang kehidupan anak disebut dengan ‘nafkah’. Sedangkan perbuatan mengeluarkan dan menyerahkan nafkah kepada yang berhak disebut dengan ‘infaq’. (I’anatuth Thalibin, IV, 60) Sedangkan sebab-sebab kewajiban memberikan nafkah bagi seseorang itu ada tiga. Pertama, karena pernikahan, yaitu nafkah sorang suami kepada istri. Kedua, karena kepemilikan, yaitu seperti budak dan hewan peliharaan. Dan yang ketiga, karena hubungan kekerabatan. Kekerabatan yang dimaksud di sini adalah orang tua atau anak, tidak yang lainnya seperti saudara, paman, dan bibi. (Mughnil Muhtaj, XIV, 458; Hasyiyah Qolyubi Wa ‘Umairoh, XIII, 463) Sementara definisi anak sendiri memiliki banyak arti yang beragam. Jika dalam pembahasan di sini, anak adalah generasi kedua (anak) dan juga generasi-generasi berikutnya (cucu dan seterusnya). (al-Umm, V, 100) Nafkah meliputi segala sesuatu yang berguna untuk kelangsungan hidup anak. Seperti makan minum, pakaian, pengobatan, termasuk juga pendidikan. Sebenarnya, untuk nafkah pendidikan anak itu bisa diambilkan dari harta si anak, jika anak itu memiliki kekayaan. Tetapi jika tidak punya, maka ditanggungkan kepada orang yang terbeban menafkahinya, yaitu orang tua. Orang tua diwajibkan menjamin pendidikan anaknya sampai anak itu baligh sebagaimana orang tua wajib menafkahinya sampai ia aqil baligh. Jika dalam hubungan suami istri, maka ayahlah yang wajib menafkahi anak. Dan jika si anak tidak memiliki seseorang pun untuk menafkahinya, maka nafkahnya dikembalikan bagi orang yang berkenan memberi nafkah kepadanya. (Hasyiyah Bujairomy ‘Alal Khatib, XI, 430; al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, I, 26; Asnal Mathalib Syarh Roudlit Thalib, XII, 126) Orang tua berkewajiban untuk menafkahi anak jika memenuhi salah satu dari tiga kriteria. Pertama, anak masih kecil disertai dengan fakir. Jadi, jika si anak sudah baligh dan sudah memiliki pekerjaan, maka orang tua tidak wajib menafkahinya. Jika si anak tidak bekerja dikarenakan si anak sibuk mencari ilmu, serta si anak pun dimungkinkan membuahkan hasil dalam mencari ilmunya maka orang tua masih berkewajiban untuk menafkahinya. Dua, lumpuh yang disertai dengan fakir. Dan yang ketiga, gila yang disertai fakir. Untuk kriteria yang dan ketiga ini disebabkan karena mereka tidak mampu mencari nafkah sendiri. (Hasyiyah Bujayromy ‘Alal Khotib, XI, 350 dan 352) Dalam hal ini, al-Qur’an menandaskan: وَعلَى المولود لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma'ruf. (QS. Al-Baqarah, 233) Dan ternyata, dari ayat tersebut, orang tua yang mendapat beban nafkah adalah sang ayah. Karena anak itu sebenarnya adalah milik ayah. Buktinya, anak itu dinasabkan pada ayah, bukan pada ibu. (Tafsir al-Khozin, I, 239) Nah, sekarang pendidikan apa sajakah yang wajib diberikan orang tua kepada anaknya? Pendidikan yang harus diberikan orang tua kepada anaknya adalah semua yang nantinya akan menjadi bekal kehidupan ketika anak itu menginjak baligh, yaitu dalam bab bersuci, sholat, puasa, dan sebagainya, yang merupakan taklif. Serta memberikan pengetahuan tentang haramnya melakukan perbuatan yang haram seperti perbuatan zina, mencuri, berbohong, dan lain sebagainya. Orang tua juga harus memberikan pengetahuan kepada si anak bahwa baligh merupakan fase mulai berlakunya hukum taklif. (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, I, 26) Intinya, semua yang akan diamalkan itu wajib diketahui ilmunya. Contohnya jika akan melakukan transaksi jual-beli maka hukumnya wajib mempelajari fiqh bab Muamalah, atau jika sudah berhubungan suami-istri maka wajib mengetahui seputar hukum-hukum yang bersangkutan, ketika kita akan menunaikan ibadah haji, kita wajib mengetahui ilmu tentang ibadah haji, dll. (at-Taisir Bi Syarhil Jami’is Shaghir Lil Munawi, I, 329) Kewajibnya memberikan pendidikan kepada anak yang masih belum baligh juga tersebut pada al-Qur’an: يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS. at-Tahrim, 6) Mengenai makna dari ayat ini, Sayyidina Ali, Mujahid, dan Qatadah berpendapat sama, yaitu memaknainya cukup dengan makna dlahir saja. Artinya kita disuruh untuk mengajarkan apapun yang dapat menyelamatkan diri kita sendiri dan keluarga dari api neraka. (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, I, 26). Wallahu A’lam. [eLFa]

Jumat, 27 April 2012

Wanita Jadi Pemimpin?



Bulan April identik dengan peringatan lahirnya seorang tokoh wanita kelahiran Mayong Jepara, Raden Ajeng Kartini, pelopor gender equality atau lebih populer disebut emansipasi wanita. Tokoh ini dikenal karena upaya kerasnya untuk meningkatkan derajat kaum wanita pribumi. Emansipasi merupakan sebuah usaha yang sangat besar demi menyetarakan derajat, harkat, dan martabat kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Karena dulu, lebih-lebih zaman kolonialis, sebelum berkembangnya gerakan emansipasi, kaum wanita adalah kaum yang termarjinalkan. Kerjanya di rumah mengurusi urusan rumah tangga. Perjuangan RA Kartini ini, salah satunya diwujudkan melalui tulisan-tulisan dan korespondensinya yang kemudian dicetak ke dalam buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Sampai hari ini, gerakan emansipasi masih terus berkembang dan berkelanjutan. Karena, belum sepenuhnya usaha penyetaraan sampai hari ini, belum sepenuhnya sukses seratus persen.
Bagaiman Islam memandang hal ini?
Mungkin dalam dunia Islam kita sudah akrab dengan keterangan satu laki-laki sama dengan dua perempuan. Salah satunya bisa ditemukan dalam bab persaksian. Persaksian seorang laki-laki sebanding dengan dua perempuan. Perbandingan ini didasarkan dengan keterangan bahwa perempuan mempunyai akal yang lebih lemah daripada laki-laki. Sehingga apa yang dilakukannya cenderung didasarkan pada perasaan dan bukan menggunakan logika. 
Nabi pernah berkata:
أَ لَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا
Bukankah persaksian wanita itu seperti setengah persaksian seorang laki-laki? Mereka (para wanita) menjawab, ya. Rasul berkata, itulah termasuk kekurangan akalnya. (Shahih Bukhari, 9, 142)
Hadits ini menuliskan bahwa persaksian seorang wanita adalah seperti separuh persaksian laki-laki. Tapi, hal itu tidak bisa menjadi rumusan atau kiasan untuk semua persaksian ataupun dalam semua kasus. Buktinya dalam kitab-kitab fiqh, misalnya bab rukyah hilal untuk menentukan Ramadlan diharuskan saksinya adalah minimal seorang laki-laki, tidak boleh perempuan. Kalaupun satu laki-laki banding dengan dua perempuan adalah rumus paten, mestinya dalam rukyah hilal diperbolehkan saksi dua perempuan. Begitupun dalam bab-bab yang lain.
Dalam al-Qur’an juga menyebutkan:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki adalah penanggung jawab atas kaum perempuan, sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta-harta mereka. (QS. An-Nisa’, 34)
Kata qowwam dari ayat di atas dapat diartikan menguasai. Kaum laki-laki yang mempunyai kuasa atas perempuan. Perempuan tidak memiliki kuasa kecuali telah diijinkan oleh laki-laki. Hal ini disebabkan kaum perempuan secara naluriah lebih lemah daripada laki-laki. Sebagian ulama mengatakan bahwa akal perempuan hanya satu dan nafsunya sembilan. Sementara akal laki-laki adalah sembilan dan nafsunya cuma satu. (Tafsir al-Kabir, X, 91-92; al-Kassyaf, I, 523; Tafsir al-Mizan, IV, 351)
Kelebihan laki-laki banyak tertulis dalam teks kitab salaf, terutama dari tafsiran ayat tersebut. Salah satu contohnya adalah dalam kitab tafsir al-Lubab yang menerangkan bahwa ada banyak kelebihan laki-laki dibandingkan dengan wanita dalam pandangan fiqh. Yaitu laki-laki mendapat bagian harta warisan dua kali lebih banyak daripada perempuan, laki-laki bisa menjadi wali nikah, hak talak, hak rujuk, intisab anak, dll. (Tafsir al-Lubab Libni ‘Adil, V, 157)
Kalau soal wanita jadi pemimpin?
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi Bakrah, berbunyi:
لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Sungguh Allah telah memberi manfaat padaku lantaran kalimat yang saya dengar dari Rasulullah pada perang Jamal, ketika saya terjebak ikut perang Jamal. (selanjutnya) ia berkata, ketika berita bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri kaisar sebagai ratu, Rasulullah bersabda, tidak akan sejahtera sebuah bangsa yang menyerahkan urusannya pada wanita. (Shahih Bukhari, XIII, 337)
Hampir seluruh fuqaha mengambil hadits ini sebagai dasar larangan keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan. Selain itu, mereka juga menambah argumen penguat bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah akalnya, tidak kuat fisiknya, dan labil mentalnya. Seperti yang pernah kami singgung di atas. Sehingga ditutup peluang bagi wanita untuk menempati jabatan pimpinan pada segala bidang, kecuali Imam Abu Hanifah yang membolehkan wanita menjabat sebagai hakim. Itu pun dalam urusan perdata, bukan pidana. Hanya Imam Jarir at-Thabari yang membolehkan wanita menjadi pimpinan di segala bidang. (al-Fahrur Rozy, V, 91; Faidlul Qodir, V, 303; al-Ahkamus Sulthaniyyah, 65)
Jika dipandang dari asbabul wurud-nya (sebab-sebab kemunculan hadits), hadits ini dimunculkan ketika seorang Raja Persia meninggal, kemudian kekuasaan tahta diserahkan kepada putrinya. Maka, hadits ini dipakai hanya untuk golongan tertentu yaitu golongan Persia pada waktu itu. Hadits ini tidak bisa dipakai secara umum. Walaupun lafal qoumun adalah ‘am, namun kaidah yang cocok digunakan pada kata itu adalah kaidah yang menyatakan bahwa “yang dilihat adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal”. Sebab dengan cara ini, nash akan lebih cocok dengan fakta yang ada. Dalam kenyataannya, ada banyak sekali organisasi dan sebagainya yang dipimpin oleh perempuan dan ternyata sukses. Jikalau hadits ini bersifat umum, kenapa ada pimpinan perempuan yang menuai sukses besar? (Jam’ul Jawami’, II, 38; Taqrirat asy-Syarbini, II, 38)
Untuk menetapkan hukum haram setidaknya nash harus memuat beberapa hal. Pertama, redaksi secara eksplisit mengatakan haram. Kedua, nash berbentuk nahi. Ketiga, nash disertai dengan ancaman (uqubah). Keempat, menggunakan redaksi lain yang menurut tata bahasa arab menunjukkan bahwa redaksi tersebut merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan. Maka dalam hadits ini, tidak bisa kita arahkan pada larangan wanita untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin. (Jam’ul Jawami’, I, 80)
Kalau yang dijadikan alasan adalah asumsi bahwa wanita memiliki nalar di bawah laki-laki, maka bisa dimengerti oleh sebab wanita pada masa itu kemungkinan besar minim akses informasi, akibatnya wanita tidak dapat mengetahui masalah dan persoalan secara luas dan mendalam. Pada saat masa kitab-kitab salaf dianggit, kemungkinan para perempuan cenderung tidak punya wawasan luas serta akses yang luas layaknya laki-laki. Berbeda ketika kondisi pada awal Islam, ketika para sahabat wanita dapat memperoleh ilmu dan bimbingan dari Rasul secara langsung, sehingga Siti A’isyah mampu meriwayatkan hadits yang tak kalah banyak ketimbang sahabat laki-laki. Dan kini, tatkala globalisasi telah merambah, kondisi seperti pada awal Islam tersebut kembali lagi. Wanita pada masa kini tingkat akses memperoleh informasi sama dengan laki-laki dalam segala bidang dan ilmu pengetahuan. Sehingga pernyataan bahwa wanita memiliki pengetahuan yang sedikit merupakan alasan yang tidak bisa dipakai. (al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu, VI, 486)
Dari gambaran di atas, sebenarnya ada peluang bagi kaum perempuan untuk menyetarakan kedudukannya dengan laki-laki, tergantung kualitas dan bagaimana perempuan memanfaatkan peluang tersebut. Andai saja perempuan memiliki tingkat pengetahuan dan wawasan yang sederajat atau lebih dengan laki-laki, tentu status dan derajat sosialnya bisa disamakan. Sebagaimana pendapat sebagian mufassir pada firman Allah dalam ayat di atas, “fadldlolallahu ba’dlohum ‘ala ba’dlin” (melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain), bukan secara jelas “fadldlolahum allahu alaihinna” (melebihkan laki-laki atas perempuan). (Ruhul Ma’ani, V, 23)
Jadi, bisa diterima adanya kesejajaran derajat antara laki-laki dan perempuan. Namun, kesejajaran ini tidaklah mutlak. Kecuali dalam beberapa urusan yang telah ditetapkan oleh Islam dan tidak bisa dinego lagi.
Memang, wanita juga harus ikut andil dan berpartisipasi dalam memajukan dan mengembangkan prestasi bangsa. Sedangkan zaman yang serba global ini adalah masa-masa perlombaan dalam bersaing dengan negara-negara lain dalam banyak hal.Karena itu bagi kaum Hawa, janganlah merasa bahwa dirinya rendah, karena Islam menjunjung tinggi martabat kalian. sebagai contoh hadits yang sudah sangat populer, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu”, dan masih banyak lagi literatur yang lain. Sungguh salah bagi orang yang mengatakan bahwa wanita hanyalah pengurus ‘pawon’ dan tak tahu apa-apa! [eLFa]