Sabtu, 07 Mei 2011

BOM BUNUH DIRI, PERANG DALAM CERMIN

Mati satu tumbuh seribu. Pepatah ini agaknya cocok untuk mengilustrasikan rentetan peristiwa berdarah di Indonesia. Satu bom dijinakkan, bom yang lain diledakkan. Satu tersangka terbunuh, kader baru tumbuh. Satu teknik terbongkar, muncul teknik baru yang lebih segar. Jika bom Bali I diledakkan melalui timer dan remote, maka selanjutnya dilakukan dengan bom buku dan bom bunuh diri.
Sebut saja peristiwa Paddy’s Cafe dan Sari Club Bali tahun 2002, JW Mariott Mega Kuningan tahun 2003 dan ditambah Ritz Carlton pada 17 Juli 2009. Yang masih segar dalam benak kita, kasus Muhammad Syarif yang meledakkan dirinya di Masjid Polwiltabes Cirebon beberapa waktu yang lalu.

Mengapa semua ini harus terjadi? Ada banyak jawaban dan penjelasan, tetapi agaknya belum menyentuh substansi persoalan. Ilmuan sosial menganggap ini sebagai patologi sosial yang dipicu oleh ketidakadilan, para politisi menganggap sebagai kegagalan sistem politik dan demokrasi, para ekonom menganggap sebagai penghambat investasi, dan kaum agamawan menganggapnya sebagai problem penafsiran. Masing-masing pihak senyatanya belum menemukan formula yang pas untuk memposisikan agama dalam banjir peradaban modern. Sebagian imun, yang lain amin, dan satunya lagi 'tidak tahu' harus bagaimana.

Menurut anggapan pelaku, bom bunuh diri adalah salah satu bentuk jihad melawan kedhaliman dan memerangi orang kafir demi tegaknya izzul Islam wal muslimin. Pada dasarnya, prinsip tersebut betul. Setiap kita harus berjuang melawan ketidakadilan dan memerangi kedhaliman. Masalahnya kemudian adalah dengan cara apa cita ideal itu dicapai? Bolehkah menggunakan cara-cara kekerasan?

Belajar kepada Nabi Muhammad, beliau memberi contoh kepada kita untuk menyelesaikan persoalan dengan perilaku santun, bukan hanya kepada kawan, bahkan terhadap lawan. Besarnya Islam tidak karena keangkuhan, tapi karena kelembutan. Nabi Muhammad hadir di bumi bukan untuk membunuh mereka yang salah, tapi untuk menyempurnakan akhlak mereka.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- :« إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ »

“Bahwasanya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak”

Al-akhlaqul al-karimah didedikasikan untuk kebesaran Islam itu sendiri sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan, nilai kemanusiaan, memberi rasa aman, menganjurkan perdamaian, menentang penindasan, kesewenang-wenangan dan segala bentuk ketidakadilan.

Namun, kadang-kadang, untuk melaksanakan semua ini tidak cukup hanya dengan himbauan moral belaka, akan tetapi butuh tindakan nyata. Tindakan inilah yang sering disebut jihad. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa jihad ialah keseriusan untuk mencurahkan potensi demi menegakkan ‘kalimatullah’ sehingga menemukan kebahagiaan di sisi-Nya. Caranya, sebagaimana dikatakan Ismail Al Bursuwy, adalah dengan membuang jauh-jauh sifat egoisme sehingga jihad benar-benar dalam kerangka agama, bukan bias nafsu. Dari sinilah kita bisa memahami tafsiran al-Qurtubi bahwa ada banyak ragam jihad, seperti berjuang untuk menegakkan kebenaran, melawan hawa nafsu, mencegah kemungkaran dan menolak kekufuran. (Bidayah Al Mujtahid, I, 259; Ruhul Bayan, II, 388, Al-Jami’ Li Ahkaamil Qur’an, I, 3800)

Singkatnya, kata ‘Jihad’ mengandung dua makna; esoteris (batin) dan eksoteris (lahir). Yang pertama menunjukkan serangkaian perlawanan terhadap sesuatu yang tidak nampak secara fisik, seperti melawan kebodohan dan melawan hawa nafsu. Dalam konteks ini, bahasa yang sering dipakai untuk melawan kebodohan adalah ijtihad dan mujahadah untuk melawan nafsu. Sedang makna eksoteris menunjuk pada serangkaian perlawanan kepada musuh yang kasat mata, seperti melawan orang kafir, munafik dan orang-orang murtad. (Tafsir Ayat Ahkam, 95)

Kebenaran prinsip di atas bukanlah teori belaka. Fakta sejarah membuktikan bahwa selama tiga belas tahun di Makkah, Nabi dan pengikutnya selalu menganjurkan perdamaian, menebarkan kasih sayang dan menjunjung tinggi nilai keadilan. Akan tetapi, selama itu pula mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil; dihina, disiksa, dipinggirkan, dan diperlakukan secara tidak manusiawi.

Dalam kondisi seperti ini, Nabi sadar, bahwa konfrontasi fisik bukanlah jalan keluar yang baik. Untuk menata sebuah peradaban, yang diperlukan bukanlah kekuatan senjata, tapi penataan sistem nilai. Oleh karenanya, pilihan Nabi bukanlah perang, tapi berhijrah. Hijrah bukanlah sekedar proyek perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan tetapi menyiratkan sebuah pandangan ontologis, yakni proses terbentuknya sebuah komunitas muslim dari tradisi pagan (berhala) ke tradisi tauhid yang kemudian dikenal dengan konsep ‘Ummah’. Konsep Ummah dalam Islam mengandung 5 nilai dan 4 sifat dasar. Lima nilai tersebut adalah universalisme, egalitarianisme, non etnosentrisme, totalitarianisme, dan transendentalisme. Sedangkan 4 nilai dasarnya adalah komprehensif, kontekstualis, dinamis dan organis. (Kewargaan Dalam Islam, 132; Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, 219; Sejarah Sosial Ummat Islam, 39)

Pembentukan komunitas bersama (Ummah) di Madinah, bukanlah sesuatu yang lahir secara mengalir, tetapi melalui sejumlah perjuangan yang dihiasi oleh hiruk-pikuk pengorbanan. Kekhawatiran akan semakin besarnya pengaruh ideologi Nabi Muhammad telah menyebabkan kepanikan di pihak paganisme Quraish. Mereka lalu mencari-cari alasan untuk memerangi Nabi Muhammad. Dari tiga peristiwa perang besar Badar, Uhud, dan Khandaq terlihat bahwa pemicu perang adalah kekhawatiran akan eksistensi Islam yang semakin kuat. Sebuah sikap yang mengisyaratkan pertarungan idelogi tauhid melawan syirik, kebenaran melawan kebatilan. Karena itulah, ayat yang pertama kali turun dalam konteks perang adalah surat al-Hajj ayat 39

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”

Legalitas perang diatas, secara ontologis, melahirkan dua visi besar. Pertama, menegakkan idealisme Islam untuk memberantas ketidakadilan. Dalam konteks inilah sering bias antara Islam dengan teror. Kata ‘teror’ berasal dari bahasa latin “terrere” yang berarti menjadikan gemetar dan ngeri. Dalam istilah umum teror berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman. Jadi makna terorisme adalah paham yang menggunakan kekerasan, kengerian, dan ketakutan untuk mencapai tujuan tertentu. Islam jelas tidak dalam posisi ini. Dalam al-Qu’an memang ada kata nadzir (menakuti), namun konteksnya bukan meneror warga, tapi memberi peringatan atas pedihnya siksa neraka bagi para pembangkang. Hal ini termaktub dalam ayat Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 119

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ

“Sungguh Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan engkau tidak akan dimintai (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.

Kedua, visi pembentukan peradaban. Pembangunan sebuah kota tidak bisa dilepaskan dari moralitas. Di atas pilar moralitas inilah peradaban Islam sedikit demi sedikit mulai dibangun. Nabi mula-mula membenahi pemikiran teologis warga kota, kemudian merambah ke aspek lain yang lebih riil seperti distribusi kekayaan dan pemerataan kemakmuran. Maka diperkenalkanlah konsep zakat, infaq, shodaqoh dan kaffarat, termasuk di dalamnya konsep ghanimah, fay’ dan jizyah. (Jurnal Ulumul Qur’an, no V, th. 1993, 54.)

Jika makna jihad dalam Islam demikian adanya, lalu bagaimana status mereka yang jihad dengan bom bunuh diri? Marilah kita perhatikan firman Allah:

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al-Baqarah; 195).

Ayat ini jelas melarang tahlukah (menjatuhkan diri dalam kebinasaan). Sejauh ini, ada 5 penafsiran tentang makna tahlukah. Pertama, meninggalkan infaq; kedua, berperang dengan tanpa bekal; ketiga, meninggalkan jihad; keempat, putus asa dari rahmat Allah; dan kelima sengaja mati karena melawan pasukan tak sebanding.

Tindakan bom bunuh diri (mughomaroh) dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan pasukan yang tak sebanding, sehingga masuk dalam jangkauan tindakan menceburkan diri ke dalam kebinasaan yang terlarang. (al-Jami’ li ahkamil Qur’an, II, 362; ahkamul Qur’an, I, 116).

Di sisi lain, sasaran bom bunuh diri sifatnya acak sehingga tidak bisa mendeteksi mana muslim dan mana non muslim, mana yang halal dibunuh dan mana yang tidak. Maka dari aspek ini Islam jelas melarangnya. Ada beberapa kriteria orang yang haram dibunuh ketika jihad perang. Mereka adalah wanita, anak-anak, pendeta, orang berusia lanjut, pelayan, pedagang dan petani. Dengan demikian, tindakan bom bunuh diri hukumnya haram, dan bukanlah jihad yang dikonsepsikan ulama. (Nihayatul Muhtaj, XXVI, 409; Bada’iusshani’, XV,; al-Qurtubi, II, 344)

Konsep jihad sesungguhnya konsep yang santun. Ia tidak membenarkan tindakan machiavellis (menghalalkan segala cara) untuk memetik sebuah kemenangan. Setiap akan berangkat ke medan laga, Rasulullah senantiasa mewanti-wanti agar tidak merusak pohon dan memerangi orang-orang lemah seperti orang tua renta, perempuan dan anak-anak. Jika prinsip ini dilanggar, fiqh jinayat mengategorikan aksi teroris kedalam bingkai hirabah, yakni tindakan yang dapat mengancam harta ataupun jiwa orang lain. (al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamy; Muqaranah bi al-Qonun al-Wadh’iy, I, 656-660)

Namun demikian, hanya berkonsentrasi untuk memerangi terorisme tanpa melihat tindakan lain yang menyebabkan teror itu muncul adalah salah, dan hanya akan melahirkan kekerasan yang lebih parah. Jangan-jangan kita sedang memerangi diri sendiri. Ibaratnya, berperang melawan “musuh dalam cermin”, kita dibayang-bayangi kejahatan diri sendiri yang bisa jadi lebih jahat dari teroris.

Akhirnya, sebuah tatanan global yang mencerminkan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan universal harus segera ditata. Menghentikan dominasi Barat, pemaksaan atas nama demokrasi, menciptakan kemakmuran bersama dan keadilan untuk semua harus lebih mendapatkan prioritas ketimbang berburu teroris. Ini memang membutuhkan waktu yang relatif lama, tapi hasilnya akan lebih manusiawi dan relatif dapat menghadirkan kebahagiaan bersama. [eLFa]
dimuat di Buletin EL-FAJR, Edisi 1/6 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar