Jumat, 27 April 2012

Wanita Jadi Pemimpin?



Bulan April identik dengan peringatan lahirnya seorang tokoh wanita kelahiran Mayong Jepara, Raden Ajeng Kartini, pelopor gender equality atau lebih populer disebut emansipasi wanita. Tokoh ini dikenal karena upaya kerasnya untuk meningkatkan derajat kaum wanita pribumi. Emansipasi merupakan sebuah usaha yang sangat besar demi menyetarakan derajat, harkat, dan martabat kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Karena dulu, lebih-lebih zaman kolonialis, sebelum berkembangnya gerakan emansipasi, kaum wanita adalah kaum yang termarjinalkan. Kerjanya di rumah mengurusi urusan rumah tangga. Perjuangan RA Kartini ini, salah satunya diwujudkan melalui tulisan-tulisan dan korespondensinya yang kemudian dicetak ke dalam buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Sampai hari ini, gerakan emansipasi masih terus berkembang dan berkelanjutan. Karena, belum sepenuhnya usaha penyetaraan sampai hari ini, belum sepenuhnya sukses seratus persen.
Bagaiman Islam memandang hal ini?
Mungkin dalam dunia Islam kita sudah akrab dengan keterangan satu laki-laki sama dengan dua perempuan. Salah satunya bisa ditemukan dalam bab persaksian. Persaksian seorang laki-laki sebanding dengan dua perempuan. Perbandingan ini didasarkan dengan keterangan bahwa perempuan mempunyai akal yang lebih lemah daripada laki-laki. Sehingga apa yang dilakukannya cenderung didasarkan pada perasaan dan bukan menggunakan logika. 
Nabi pernah berkata:
أَ لَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا
Bukankah persaksian wanita itu seperti setengah persaksian seorang laki-laki? Mereka (para wanita) menjawab, ya. Rasul berkata, itulah termasuk kekurangan akalnya. (Shahih Bukhari, 9, 142)
Hadits ini menuliskan bahwa persaksian seorang wanita adalah seperti separuh persaksian laki-laki. Tapi, hal itu tidak bisa menjadi rumusan atau kiasan untuk semua persaksian ataupun dalam semua kasus. Buktinya dalam kitab-kitab fiqh, misalnya bab rukyah hilal untuk menentukan Ramadlan diharuskan saksinya adalah minimal seorang laki-laki, tidak boleh perempuan. Kalaupun satu laki-laki banding dengan dua perempuan adalah rumus paten, mestinya dalam rukyah hilal diperbolehkan saksi dua perempuan. Begitupun dalam bab-bab yang lain.
Dalam al-Qur’an juga menyebutkan:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki adalah penanggung jawab atas kaum perempuan, sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta-harta mereka. (QS. An-Nisa’, 34)
Kata qowwam dari ayat di atas dapat diartikan menguasai. Kaum laki-laki yang mempunyai kuasa atas perempuan. Perempuan tidak memiliki kuasa kecuali telah diijinkan oleh laki-laki. Hal ini disebabkan kaum perempuan secara naluriah lebih lemah daripada laki-laki. Sebagian ulama mengatakan bahwa akal perempuan hanya satu dan nafsunya sembilan. Sementara akal laki-laki adalah sembilan dan nafsunya cuma satu. (Tafsir al-Kabir, X, 91-92; al-Kassyaf, I, 523; Tafsir al-Mizan, IV, 351)
Kelebihan laki-laki banyak tertulis dalam teks kitab salaf, terutama dari tafsiran ayat tersebut. Salah satu contohnya adalah dalam kitab tafsir al-Lubab yang menerangkan bahwa ada banyak kelebihan laki-laki dibandingkan dengan wanita dalam pandangan fiqh. Yaitu laki-laki mendapat bagian harta warisan dua kali lebih banyak daripada perempuan, laki-laki bisa menjadi wali nikah, hak talak, hak rujuk, intisab anak, dll. (Tafsir al-Lubab Libni ‘Adil, V, 157)
Kalau soal wanita jadi pemimpin?
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi Bakrah, berbunyi:
لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Sungguh Allah telah memberi manfaat padaku lantaran kalimat yang saya dengar dari Rasulullah pada perang Jamal, ketika saya terjebak ikut perang Jamal. (selanjutnya) ia berkata, ketika berita bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri kaisar sebagai ratu, Rasulullah bersabda, tidak akan sejahtera sebuah bangsa yang menyerahkan urusannya pada wanita. (Shahih Bukhari, XIII, 337)
Hampir seluruh fuqaha mengambil hadits ini sebagai dasar larangan keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan. Selain itu, mereka juga menambah argumen penguat bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah akalnya, tidak kuat fisiknya, dan labil mentalnya. Seperti yang pernah kami singgung di atas. Sehingga ditutup peluang bagi wanita untuk menempati jabatan pimpinan pada segala bidang, kecuali Imam Abu Hanifah yang membolehkan wanita menjabat sebagai hakim. Itu pun dalam urusan perdata, bukan pidana. Hanya Imam Jarir at-Thabari yang membolehkan wanita menjadi pimpinan di segala bidang. (al-Fahrur Rozy, V, 91; Faidlul Qodir, V, 303; al-Ahkamus Sulthaniyyah, 65)
Jika dipandang dari asbabul wurud-nya (sebab-sebab kemunculan hadits), hadits ini dimunculkan ketika seorang Raja Persia meninggal, kemudian kekuasaan tahta diserahkan kepada putrinya. Maka, hadits ini dipakai hanya untuk golongan tertentu yaitu golongan Persia pada waktu itu. Hadits ini tidak bisa dipakai secara umum. Walaupun lafal qoumun adalah ‘am, namun kaidah yang cocok digunakan pada kata itu adalah kaidah yang menyatakan bahwa “yang dilihat adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal”. Sebab dengan cara ini, nash akan lebih cocok dengan fakta yang ada. Dalam kenyataannya, ada banyak sekali organisasi dan sebagainya yang dipimpin oleh perempuan dan ternyata sukses. Jikalau hadits ini bersifat umum, kenapa ada pimpinan perempuan yang menuai sukses besar? (Jam’ul Jawami’, II, 38; Taqrirat asy-Syarbini, II, 38)
Untuk menetapkan hukum haram setidaknya nash harus memuat beberapa hal. Pertama, redaksi secara eksplisit mengatakan haram. Kedua, nash berbentuk nahi. Ketiga, nash disertai dengan ancaman (uqubah). Keempat, menggunakan redaksi lain yang menurut tata bahasa arab menunjukkan bahwa redaksi tersebut merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan. Maka dalam hadits ini, tidak bisa kita arahkan pada larangan wanita untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin. (Jam’ul Jawami’, I, 80)
Kalau yang dijadikan alasan adalah asumsi bahwa wanita memiliki nalar di bawah laki-laki, maka bisa dimengerti oleh sebab wanita pada masa itu kemungkinan besar minim akses informasi, akibatnya wanita tidak dapat mengetahui masalah dan persoalan secara luas dan mendalam. Pada saat masa kitab-kitab salaf dianggit, kemungkinan para perempuan cenderung tidak punya wawasan luas serta akses yang luas layaknya laki-laki. Berbeda ketika kondisi pada awal Islam, ketika para sahabat wanita dapat memperoleh ilmu dan bimbingan dari Rasul secara langsung, sehingga Siti A’isyah mampu meriwayatkan hadits yang tak kalah banyak ketimbang sahabat laki-laki. Dan kini, tatkala globalisasi telah merambah, kondisi seperti pada awal Islam tersebut kembali lagi. Wanita pada masa kini tingkat akses memperoleh informasi sama dengan laki-laki dalam segala bidang dan ilmu pengetahuan. Sehingga pernyataan bahwa wanita memiliki pengetahuan yang sedikit merupakan alasan yang tidak bisa dipakai. (al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu, VI, 486)
Dari gambaran di atas, sebenarnya ada peluang bagi kaum perempuan untuk menyetarakan kedudukannya dengan laki-laki, tergantung kualitas dan bagaimana perempuan memanfaatkan peluang tersebut. Andai saja perempuan memiliki tingkat pengetahuan dan wawasan yang sederajat atau lebih dengan laki-laki, tentu status dan derajat sosialnya bisa disamakan. Sebagaimana pendapat sebagian mufassir pada firman Allah dalam ayat di atas, “fadldlolallahu ba’dlohum ‘ala ba’dlin” (melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain), bukan secara jelas “fadldlolahum allahu alaihinna” (melebihkan laki-laki atas perempuan). (Ruhul Ma’ani, V, 23)
Jadi, bisa diterima adanya kesejajaran derajat antara laki-laki dan perempuan. Namun, kesejajaran ini tidaklah mutlak. Kecuali dalam beberapa urusan yang telah ditetapkan oleh Islam dan tidak bisa dinego lagi.
Memang, wanita juga harus ikut andil dan berpartisipasi dalam memajukan dan mengembangkan prestasi bangsa. Sedangkan zaman yang serba global ini adalah masa-masa perlombaan dalam bersaing dengan negara-negara lain dalam banyak hal.Karena itu bagi kaum Hawa, janganlah merasa bahwa dirinya rendah, karena Islam menjunjung tinggi martabat kalian. sebagai contoh hadits yang sudah sangat populer, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu”, dan masih banyak lagi literatur yang lain. Sungguh salah bagi orang yang mengatakan bahwa wanita hanyalah pengurus ‘pawon’ dan tak tahu apa-apa! [eLFa]

Kamis, 19 April 2012

Santri Ma'had Berkreasi dengan Barang-Barang Bekas

KUDUS-Di saat para siswa kelas XII berkutat dengan Ujian Nasional (UN), para siswa kelas X dan XI Madrasah Qudsiyyah Kudus juga tak kalah kreatif dalam mengisi liburan. Para siswa yang merupakan santri Ma’had (Pesantren) Qudsiyyah Kudus melaksanakan kegiatan ekstra mengolah barang-barang bekas menjadi karya seni.


Bertempat di aula Ma’had Qudsiyyah Kelurahan Kerjasan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus selama tiga hari mulai Senin (16/4/2012) hingga Rabu (18/4/2012) sekitar 60 santri memanfaatkan liburan dengan praktik mengolah barang bekas. Dengan dipandu salah satu seniman yang tergabung dalam komunitas Paku (Perupa Kudus), Cipto Santo, para santri tersebut diajar untuk praktik membuat undangan dari barang-barang bekas.

Barang-barang yang digunakan antara lain kertas-kertas bekas, kardus bekas, pelepah pisang, kertas daur ulang dan sebagainya. Dengan dipadukan beberapa kertas warna serta diberi manik-manik warna para peserta diajari untuk berekpresi membuat undangan.

Dalam kegiatan itu diberikan beberapa teori-teori tentang bagaimana cara memanfaatkan barang-barang bekas untuk menjadi sebuah undangan yang menarik. Selain teori, para santri juga lansung praktik membuat undangan sendiri.

Salah satu santri, Ahdanal Halim menuturkan, kegiatan ini sangat mendidik untuk menyalurkan bakat seni sekaligus menyenangkan. "Ini adalah kegiatan yang mengasikkan," terangnya.

"Selain membuat fikiran fres, kegiatan liburan kali ini mampu mengekspresikan potensi seni santri," tambahnya.


Sementara, Direktur Ma'had Qudsiyyah, KH Fathur Rahman mengungkapkan, konsep kegiatan ini adalah untuk memanfaatkan waktu liburan pagi hari yang biasanya digunakan para santri untuk sekolah. Kebetulan kali ini adalah berkreasi membuat undangan dari bahan bekas. Tujuannya, tak lain adalah untuk mengasah kemampuan seni santri. "Tak hanya dengan ngaji kitab, para santri juga kita didik dan dipersilahkan mengekspresikan bakat seninya,” terang beliau.

Kegiatan yang melibatkan para seniman Kudus tidak hanya dilaksanakan pada tahun ini. “Tahun lalu kita juga melibatkan para seniman untuk memandu para santri. Tahun lalu itu dipandu untuk kesenian kaligrafi kontemporer, sedang tahun ini difokuskan berkreasi membuat undangan dari barang-barang bekas,” lanjutnya.

Diharapkan melalui kegiatan ini potensi para santri tergali sekaligus menjadi salah satu bekal kretivitas meraka dikemudian hari. (*)

Jumat, 06 April 2012

Silahkan Demo, Jauhi Anarkistik!

Kendati harga BBM tak jadi naik per 1 April 2012, masih banyak saja aksi unjuk rasa di berbagai kalangan di negeri ini. Beribu tanggapan dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, buruh, ormas, dan lain sebagainya, bersatu padu untuk melakukan demonstrasi jauh-jauh hari setelah pemerintah merencanakan adanya kenaikan BBM pada 1 April. Setiap hari, aksi itu selalu menghiasi setiap lembar surat kabar, dan setiap layar kaca televisi. Kontra ini menimbulkan dampak yang luar biasa. Rusuh, ricuh, ribut, dan kacau, terlihat di beberapa tempat tertentu.

Protes ini, menuntut pemerintah agar berhenti menyengsarakan ‘wong cilik’. Rakyat miskin seharusnya diberi tempat yang nyaman dan sejahtera agar bisa hidup tersenyum di Negara Indonesia ini. Tidak diberi beban yang berat dan diberatkan lagi. Beban ini tentu semakin menanjak bila BBM jadi dinaikkan yang tentu saja diikuti kenaikan barang-barang kebutuhan dan jasa lainnya.

Sementara versi pemerintah, demi menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), harga BBM harus segera dinaikkan, seiring dengan laju kenaikan harga minyak mentah dunia. Jika tidak, kas negara akan lebih banyak terserap untuk menyuplai subsidi BBM. Konsumsi BBM sendiri, dalam hitung-hitungan pemerintah, banyak dilakukan oleh kalangan menengah ke atas. Sehingga, subsidi yang semestinya dinikmati rakyat kecil, justru banyak terserap ke yang lain. Pemerintah juga telah menyiapkan skenario Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) untuk konpensasi secara langsung kepada masyarakat miskin akibat kenaikan harga BBM.

Kembali ke pokok persoalan, demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, menyebutkan, demonstrasi merupakan salah satu cara untuk menyampaikan aspirasi, selain pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan berlandaskan pada asas musyawarah dan mufakat. Hal ini tertulis dalam pasal 3.

Dalam bernegara, Islam juga mengajarkan asas musyawarah (as-syura). Prinsip ini merupakan prinsip yang sangat dikedepankan oleh Islam. Dalam al-Qur’an disebutkan:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran, 159)

Dalam hal ini, kita bisa melihat sendiri dari diri Rasulullah yang ketika menyusun strategi menghadapi perang, Rasulullah selalu mengumpulkan para sahabat terlebih dahulu, kemudian dimintai pendapat. Misalnya ketika memilih lokasi untuk pasukan beberapa saat sebelum perang badar, Khubab ibnu al-Mundzir ibnu al-Jamuh yang memiliki pandangan berbeda mengajukan pendapat, yang didahului dengan pertanyaan apakah pendapat Nabi itu merupakan wahyu Allah (yang tidak bisa ditentang) atau sebagai pendapat pribadi, “Apakah ini adalah dari Allah ataukah pendapat Anda sendiri, strategi perang, dan tipu muslihat?” Rasulullah menjawab, “Ini adalah pendapatku sendiri, strategi perang, dan tipu muslihat.” (Uyunul Atsar, I, 332)

Jadi, demonstrasi merupakan salah satu tindak musyawarah menyampaikan pendapat menyikapi tentang rencana atau keputusan pemerintah. Demonstrasi merupakan salah satu etos warisan nilai-nilai Islam Rasulullah yang relevan untuk digunakan dalam bernegara.

Lalu, hal-hal apa saja yang patut didemo?

Jika yang didemo adalah sebuah penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah maka demonstrasi adalah bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.Dan karena termasuk amar ma’ruf nahi munkar, maka hukumnya fardlu kifayah. Coba tengok hadits Nabi:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Barangsiapa yang melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, maka dengan lisannya. Jika tidak bisa, maka dengan hatinya, dan demikian itu ialah selemah-lemahnya iman. (Shahih Muslim, I, 167)

Tapi ketika nahi munkar dihadapkan pada pemerintah, tidak semena-mena menggunakan hadits ini. Penolakan terhadap pemerintah tidak boleh berbentur fisik, harus dengan cara yang baik. (Ihya’ Ulumid Din, II, 177)

Lalu bagaimana dengan demonstrasi yang anarkis dengan merusak pagar, membakar mobil polisi, atau merusak pos polantas?

Langkah-langkah tersebut bukanlah jalan yang baik dan sehat. Semuanya merugikan pihak lain. Maka dengan tegas fiqh menetapkan bahwa hukumnya haram. Menurut kaidah fiqh:

الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ

Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain.

Karena, jika bahaya dihilangkan dengan bahaya yang lain, maka sama saja tidak menghilangkan bahaya. Padahal, kaidah pokoknya adalah, “Bahaya itu harus dihilangkan”. Ini merupakan perkataan ibnu as-Subuky. (al-Asybah Wan Nadhair, I, 158)

Seharusnya, pengunjuk rasa menyampaikan aspirasinya dengan tertib dan teratur. Bukannya malah dengan cara membuat kerusuhan yang menimbulkan korban, atau merusak benda dan bangunan yang telah dibangun oleh Negara.

Apa yang harus dilakukan aparat kepolisian?

Jika memang para demonstran masih ngotot berbuat rusuh, maka para aparat polisi dibenarkan untuk meredakan para demonstran dengan cara tegas. Jika memang Negara terancam dan tak ada cara lain, sedangkan hanya itulah satu-satunya usaha yang bisa digunakan untuk menenangkan situasi. Namun, aparat polisi harus berusaha untuk meminimalkan adanya ‘pertumpahan darah’. Karena dalam keadaan ini, para demonstran tersebut bisa disamakan dengan shoil (orang yang menyerang). Polisi harus melawan dengan senjata yang paling ringan efek melukainya. Jika bisa ditolak menggunakan pentungan, maka tidak boleh menembaknya. (Fathul Mu’in, IV, 196)

Lalu bagaimana bila demo tersebut adalah “pesanan”?

Di balik demonstrasi, terkadang ada juga pihak-pihak tertentu yang “memesan” untuk menggerakkan aksi unjuk rasa. Mereka tak tanggung-tanggung membiayai serta memberi ‘sangu’ pada mereka para demonstran agar mau gembar-gembor berkata sesuai pesanannya. Apakah itu menentang, atau mendukung kebijakan tertentu. Pastinya pihak-pihak tersebut mempunyai ‘udang di balik batu’, maksud untuk mengalahkan lawan politik atau memang ingin memperkeruh suasana.

Bagaimana menyikapi persoalan ini?

Tujuan politik hanya semata-mata untuk menjatuhkan lawan, tentu adalah hal yang buruk. Kalau memang hanya untuk menjatuhkan, perbuatan semacam itu tidak diperbolehkan. Karena itu merupakan perbuatan yang mengacu pada kemaksiatan. Menerima “upah” tersebutpun tidak diperbolehkan, karena merupakan sebuah pilihan untuk membantu kemaksiatan tersebut. Kaidah fiqh berkata:

مَا حَرُمَ عَلَى الْآخِذِ أَخْذُهُ حَرُمَ عَلَى الْمُعْطِى إعْطَاؤُهُ

Apa yang haram atas pengambil mengambilnya, haram pula atas pemberi memberikannya. (al-Mantsur Fil Qawaid, III, 165)

Jadi, silahkan berunjuk rasa dengan tertib dan tidak merusak apa yang telah dibangun! [eLFa]