Minggu, 11 Desember 2011

HALQAH MA'HAD BERLANGSUNG GAYENG

QUDSIYYAH, KUDUS – Acara halqah yang digagas Ma’had Qudsiyyah Menara Kudus dan Nurul Maiyyah Indonesia pada Ahad (11/12/2011) di Gedung Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) berlangsung semarak. Kehadiran 5 nara sumber di panggung kian menambah “panas” suasana dalam acara yang mengusung tema “Islam Toleran dalam Himpitan Gerakan Islam Trans-Nasional”.



Rais PBNU KH Masdar Farid Mas’udi, mantan Jama’ah Islamiyyah (JI), Nasir Abbas, Hasyim Asy’ari, SH., M.Si (Dosen UNDIP), H Em Nadjib Hassan (Perhimpunan Pemangku Makam Auliya’/PPMA), dan Drs. Sukardi, M.Si (perwakilan Majlis Tafsir Al-Qur’an) hadir dan mengulas tema sesuai kapasitas masing-masing. Acara kian gayeng dengan banyaknya respon serta pertanyaan dari para peserta yang hadir. (*)

Jumat, 09 Desember 2011

Taubatku untuk-Mu

Setiap waktu, setiap hari, bahkan setiap detik, manusia tak kan pernah lepas dari aturan yang telah dibuat sedemikian rupa oleh Allah. Mengingat hal itu, manusia pasti pernah melakukan pelanggaran (maksiat) terhadap aturan-aturan tersebut. Dan karena manusia diciptakan juga memiliki hati, maka pastilah dalam hidupnya pernah merasa menyesal akan perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan.
Sebab itu, muncullah suatu jalan yang akan membuat dosa-dosa yang diproduksi manusia itu luntur, walaupun tak seluruhnya. Jalan itu adalah taubat, sebagai pengakuan dosa.

Ada sebuah cerita menarik yang akan sedikit kami ulas. Pada suatu hari, seorang lelaki datang kepada Rabi'ah al-Adawiyah al-Bashriyyah. Tanpa banyak basa-basi pria itu pun bertanya, "Saya ini telah banyak melakukan dosa, maksiat saya menumpuk. Mungkin jika diukur melebihi gunung yang ada. Andai saja saya bertaubat, apakah Allah akan menerima taubat saya?". Dengan tegas Rabi'ah al-Adawiyah menjawab "Tidak".

Pada kesempatan yang berbeda, seorang lelaki lain datang kepadanya. Lelaki itu berkata, "Seandainya tiap butir pasir adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Semua jenis maksiat telah saya lakukan, baik kecil maupun besar. Apakah Allah masih menerima taubat saya?". Jawab Rabi'ah dengan tegas, "Pasti". Lalu ia menjelaskan, "Kalau Allah tidak berkenan menerima taubat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak manjalani taubat?. Untuk berhenti dari dosa, jangan pernah gunakan kata 'akan' atau 'andai kata'."

Yang bisa kita ambil dari kisah ini, bahwa secara naluri, kita tidak dapat memungkiri kecenderungan hampir tiap orang untuk melakukan taubat ketika jelas nyata-nyata berbuat salah. Hanya persoalannya, banyak orang tidak memahami apa yang mesti ia lakukan agar taubat tadi benar-benar diterima di sisi Allah. Akibatnya, keinginan untuk membersihkan dosa itu menjadi terabaikan. Selain itu, mungkin ini juga akibat dari tiadanya pemahaman makna taubat yang sesungguhnya.

Secara etimologi, taubat berarti kembali. Sedangkan secara terminologi, taubat berarti kembali dari dosa dan maksiat menuju taat kepada Allah dan mencapai ridlo-Nya. (Syarh an- Nawawy 'Ala Muslim, IX, 107; Tafsir ath-Thobary, XXIII, 493)
Ayat yang berbicara tentang taubat sangat beragam. Di antaranya adalah:

       •        •         •                  •     

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. at-Tahrim, 08)

Dalam ayat tersebut, kita orang-orang mukmin diperintah untuk bertaubat, kembali kepada Allah. Bukan hanya taubat-taubat yang biasa, tapi diberi sifat 'nasuha'. Pengertian taubat nasuha ialah taubat yang sebenar-benarnya, taubat yang bermakna kembali pada Allah dan tidak akan pergi menjauhi-Nya lagi. Tidak kembali melakukan maksiat. Taubat nasuha menurut ayat tersebut, bisa melebur kesalahan-kesalahan dan memasukkan ke dalam surga. (Tafsir ath-Thobary, XXIII, 493)

Dalam syariat Nabi Musa, taubat dilaksanakan dengan cara bunuh diri (QS. al-Baqarah, 54) setelah umat Nabi Musa bersama-sama menyembah patung sapi emas. Namun, lain ladang lain tanaman. Dalam syariat Nabi kita, hal itu malah dilarang, karena kewajiban untuk menjaga nyawa (hifdhun nafsi).

Ulama sepakat bahwa bersegera taubat hukumnya wajib karena telah melakukan dosa, besar ataupun kecil. Apabila seorang bertaubat untuk sebagian dari semua dosanya, taubat tersebut tetap sah menurut ahlul haq. Sedang dosa-dosa yang masih tersisa dan belum ditaubati harus segera ditaubati. (Syarh an- Nawawy Ala Muslim, IX, 107; Riyadl as-Sholihin, I, 3)

Syarat taubat yang harus dilakukan seseorang setelah maksiat adalah: Pertama, jika maksiat yang dilakukan tidak berhubungan dengan haq adamy (hak kemanusiaan) maka ada tiga syarat: [a] Berhenti dari maksiat [b] Menyesali perbuatan [c] Tekad kuat untuk tidak melakukannya lagi. Kedua, jika berhubungan dengan haq adamy, seseorang harus bebas dari hak orang yang bersangkutan. Jika berupa barang, maka wajib mengembalikan atau menggantinya. Jika berupa tuduhan, omongan, atau sejenisnya, maka wajib untuk meminta maaf. Sedangkan jika merasa pernah salah namun tidak diketahui salahnya, maka dengan meminta halal. Singkat cerita, permasalahan antar individu harus selesai. (Riyadl as-Sholihin, I, 3)

Sejatinya, menurut al-Kalby, taubat nasuha adalah beristighfar dengan lisan, penyesalan dengan hati, dan pengekangan dari maksiat dengan anggota badan. sedang menurut Muhammad bin Ka'ab al-Qordliy, taubat nasuha mencakup empat hal yaitu : memohon ampunan dengan lisan, menjauhkan diri dari dosa dengan badan, berniat tidak mengulangi dengan hati dan berhenti berbuat buruk kepada orang lain. (Tafsir al-Khozin, VI, 128)

Menurut Dzunnun al-Mishriy, taubat harus merambah luas ke seluruh tubuh. Hati, bertaubat dengan cara meninggalkan perbuatan tercela. Mata, bertaubat dengan memejamkan mata dari semua yang diharamkam. Tangan, bertaubat dengan tidak mengambil barang yang tidak halal. Kaki, bertaubat dengan tidak berjalannya menuju hiburan-hiburan yang dilarang agama. Telinga, bertaubat dengan tidak mendengarkan barang-barang batil. Kemaluan, bertaubat dengan tidak melakukan hal tercela. Begitu seterusnya, sampai taubat menyeluruh dari ujung jari kaki sampai ujung kepala. (Mukfirot adz-Dzunub Wa Mujibat al-Jannah, I, 4)

Antara rasul, wali, dan manusia biasa pasti mempunyai cara tersendiri dalam ma'rifat kepada Allah. Maka dari itu, ada pula tingkatan tersendiri mereka bertaubat. [1] Taubat, adalah tingkatan orang mukmin. Allah berfirman, "Bertaubatlah kalian kepada Allah wahai orang-orang beriman" (QS. an-Nur, 31). [2] Inabah, adalah tingkatan para wali dan muqorrobin (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah). Allah berfirman, "Yaitu orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah" (QS. Qoff, 33). [3] Aubah, adalah tingkatan para nabi dan rasul. Allah berfirman, "Sebaik-baik hamba adalah orang yang bertaubat" (QS. Shod, 44). Jika seseorang melakukan taubat karena takut terhadap siksaan Allah dan ancaman-Nya, maka dia berada pada tingkatan inabah. Dan jika seseorang taubat karena menjalankan perintah, bukan karena mengharap pahala ataupun takut terhadap siksaan tetapi karena semata-mata cinta kepada Allah, maka dia sudah berada pada tingkatan aubah. Tingkat inilah yang paling tinggi. (Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, I, 46)

Mulai sekarang, marilah kita biasakan bertaubat. Dan ingatlah, jika ingin bertaubat, ikutilah aturan-aturan yang sudah tertera di atas. Tidak perlu menunggu sampai dosa itu menumpuk hingga seluas lautan. Siapa tahu sebelum Anda sempat bertaubat, nyawa anda sudah digandeng oleh Malaikat Azrail.

Walaupun memang zaman sekarang situasinya sudah berat, dan potensi yang memanggil-manggil agar berbuat maksiat pun sudah berlalu-lalang di depan mata kita. Tapi alangkah indahnya, jika maksiat-maksiat itu dijauhi dan disingkiri. Marilah kita memulai hari yang diidam-idamkan, yang damai, dan sejahtera. Jauh dari perbuatan-perbuatan dosa. [eLFa]

Buletin EL-FAJR Edisi 14/09 Desember 2011

Selasa, 06 Desember 2011

Ma’had Qudsiyyah Bakal Datangkan Masdar Farid dan Nasir Abbas

QUDSIYYAH, KUDUS-Rongrongan terhadap agama Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terus saja berlangsung. Banyaknya peristiwa peledakan bom yang memakai nama Islam membuat wajah Islam di Indonesia menjadi tercoreng. Bahkan persatuan dan kesatuan bangsa juga terkikis dengan banyaknya aksi-aksi yang banyak menimbulkan korban jiwa.

Padahal, sejak awal Islam memproklamirkan diri sebagai agama yang mengusung idealisme rahmatan lil ‘alamin, agama yang menebar kedamaian untuk semesta. Islam tidak akan mengajarkan teror kepada umatnya, walaupun untuk sebuah kebajikan. Tujuan yang baik mesti diperoleh dengan cara yang baik pula.

Ma’had Qudsiyyah Menara Kudus, sebagai salah satu pondok pesantren di kabupaten Kudus mencoba kembali ingin menyegarkan wawasan Islam yang toleran. Salah satu yang akan dilakukan adalah dengan menggelar halqah Islam toleran yang mendatangkan KH. Masdar Farid Mas’udi (Rais Syuriah PBNU) dan Nasir Abbas (Mantan Jama’ah Islamiyyah) dalam sebuah diskusi interaktif.

Halqah ini bakal digelar pada Ahad Pon (11/12/2011) di Gedung Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) pukul 08.30 WIB.

Selain itu, acara yang digagas Ma’had Qudsiyyah bekerjasama dengan Nurul Maiyyah Indonesia (MNI) juga mengundang H. Em Nadjib Hassan (Perhimpunan Pemangku Makam Auliya’/PPMA) yang bakal mengurai Islam yang diajarkan walisongo di negeri ini,” tambahnya. Sebagai pembanding, hadir juga pakar hukum dan ilmu politik dari UNDIP semarang, Hasyim Asy’ari serta salah satu perwakilan dari ormas Majlis Tafisr Al-Qur’an (MTA).

Halqah yang mengundang sekitar 500 orang dari berbagai komponen masyarakat di Kudus dan sekitarnya tersebut diharapkan bakal menyegarkan kembali wawasan Islam yang toleran, Islam yang damai, dan rahmatan lil ‘alamin serta memperteguh NKRI. (*)

Jumat, 02 Desember 2011

Jual beli via online

Bertransaksi atau jual beli merupakan salah satu cara seseorang untuk bisa memenuhi kebutuhannya. Transaksi itu bisa menggunakan alat pembayaran (uang) atau dengan sistem barter (tukar menukar barang). Umumnya antara penjual dan pembeli bertemu dalam suatu tempat (pasar) untuk tawar menawar dan mencari kebutuhan tersebut.
Namun sejalan dengan kemajuan teknologi dan informasi, bertransaksi telah dipermudah dengan adanya layanan-layanan dari fasilitas di berbagai kemajuan teknologi tak terkecuali media informasi dan komunikasi, di antaranya melalui fasilitas internet.

Dengan fitur-fitur yang ditawarkan internet, semisal situs-situs bertujuan untuk promosi, maka proses transaksi antar penjual dan pembeli tidak harus bertemu fisik secara langsung tetapi cukup berkomunikasi melalui media internet. Ini semakin memudahkan seseorang dalam promosi maupun dalam pencarian barang. Situs jejaring sosial sepeti facebook dan semacamnya pun tak luput jadi ajang promosi yang memudahkan, di samping sebagai wadah pertemanan di dunia maya.

Sistem-sistem seperti di atas biasa disebut dengan istilah ‘online’, di mana antara orang yang menawarkan barang dengan konsumen menggunakan jalur internet sebagai media bertransaksi. Adapun mekanisme transaksi jual beli online itu sendiri antara lain dengan cara konsumen mencari produk atau jasa yang diinginkan lewat browsing pada situs-situs perusahaan yang ada di internet. Melalui online katalognya, konsumen kemudian memilih barang yang ingin dibelinya. Konsumen kemudian dihadapkan dengan sebuah halaman yang berisi berbagai informasi barang tersebut serta proses pembayaran yang ingin dilakukan. Apakah model pembayaran transfer, kartu kredit, kartu debit, cek personal, dan sebagainya.
Sebagai contoh ketika menggunakan kartu kredit kerap ditanyakan informasi lain seperti nama yang tercantum dalam kartu, nomor kartu, expire date, dsb. Bila menggunakan cek personal biasanya selain nomor cek, ditanyakan pula nama dan alamat bank yang mengeluarkan cek tersebut. Setelah uang diterima oleh si penjual, baru kemudian barang dikirim kepada pembeli.
Lalu, bagaimana kaca mata fiqh memandang hal ini? Pada dasarnya, ada empat macam transaksi jual beli yang diterangkan dalam kitab-kitab salaf (di kitab istilahnya bai’) antara lain: [a] Bai’ ‘ain musyahadah yaitu jual beli yang sudah jelas barangnya dan dapat dilihat (konkret). Hukumnya boleh karena tidak ada unsur penipuan di dalamnya. [b] Bai’ maushuf fidz dzimmah adalah jual beli sesuatu dengan menyebutkan sifat, seperti ketika membeli barang yang tidak diketahui atau tidak dapat dilihat tapi di situ terdapat sifat-sifat atau gambaran barang tersebut. Hukumnya boleh ketika ditemukan sifat yang telah disebutkan. [c] Bai’ ‘ain ghoibah ialah jual beli yang barangnya tidak diketahui dan tidak dapat dilihat (abstrak). Model ini hukumnya tidak boleh sebab adanya larangan jual beli penipuan. [d] Bai’ manfa’at yaitu jual beli manfaat barang atau disebut dengan istilah ijaroh (sewa). (al-Iqna’, II, 2-3)
Model jual beli online sendiri masuk dalam kategori bai’ maushuf fidz dzimmah. Sebab, penjual menyebutkan sifat-sifat produk yang dijualnya, disertai dengan harga. Seperti halnya makanan, dijelaskan secara mendetail takaran atau nettonya, buku, dijelaskan judul dan deskripsi atu sinopsis yang mewakili isi buku, begitu seterusnya. Dengan disebutkan ciri-ciri serta sifat barang itu secara jelas, maka konsumen tidak lagi samar. Penyebutan tersebut bisa menggunakan tulisan, atapun visual berupa gambar.

Kemudian persoalan lain, apakah dalam jual beli online ini terdapat shighat? Sebenarnya dalam jual beli apapun harus ada rasa saling meridlai antara dua belah pihak, karena sabda Nabi:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya jual beli itu saling meridlai” (Sunan Ibn Majah,VI,419)

Tetapi, karena ridla itu tidak dapat dilihat dari luar, tempatnya dalam hati, maka untuk mengetahui apakah sudah ada rasa ridla atau belum antara penjual dan pembeli diperlukan shighat. Shighat menjadi pertanda kerelaan barang yang dibeli atau dijual. Dalam jual beli online banyak yang tidak menggunakan fasilitas audio, kecuali hanya beberapa saja. Sementara, jual beli membutuhkan shighat. Sedangkan dalam praktek ini shighat yang digunakan adalah melalui tulisan. Karena yang dimaksud shighat adalah sesuatu yang menunjukkan maksud, baik berupa lafadz, tulisan, maupun isyarat. (Fath al-Mu'in, III, 6, Hawasyi asy-Syarwaniy, VI, 366)

Jual beli online termasuk dalam model jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli dalam tempat yang terpisah, artinya yang namanya jual beli online itu tidak pada satu majlis (satu tempat). Kacamata fiqh memandang hal ini sah-sah saja.

Bahkan ketika shighat antara penjual dan pembeli menggunakan tulisan pun, masih disahkan transaksinya walaupun ada waktu tenggang antara ijab dan qabul, atau disela dengan lafadz yang tidak ada hubungannya dengan akad. Tetapi hal ini khusus jika shighat-nya menggunakan tulisan. (Tuhfah al-Muhtaj Fi Syarhi al-Manhaj, XVI, 249)

Dalam prrktik transaksi jual beli online mungkin hanya menentukan kesepakatan harga, karena lazimnya dalam jual beli online, sifat-sifat barang yang ditawarkan sudah dipaparkan secara jelas. Jika sifatnya sesuai dengan seperti yang dipromosikan, maka pembeli wajib menerima barang yang telah dikirim, karena sudah terjadi akad yang sah. Tetapi ketika barang yang dikirim ternyata tidak sesuai dengan yang ditawarkan di internet, pembeli boleh memilih (khiyar) antara jadi membeli dan tidak. Simpelnya, pembeli boleh menerima barang yang sudah dikirim, atau tidak menerimanya dan uang kembali. (al-Iqna', II, 2)

Problem yang mungkin muncul dalam jual beli model ini adalah penjual mengatakan suatu barang yang telah diserahkannnya tidak terdapat cacat, padahal terdapat kecacatan pada barang itu. Penjual merasa kalau barang yang dulu dikirimnya bukan barang cacat tadi. Ada pro-kontra antara keduanya. Bila hal ini terjadi, karena yang dilaksanakan adalah akad bai', maka yang dimenangkan pihak penjual (بائع) sebab ada kaidah fiqh yang mengatakan, “al ashlu as salamah”. Aslinya barang tersebut bebas dari cacat. (Raudlah at-Thalibin Wa 'Umdah al-Muftin, I, 485)

Intinya, jual beli online hukumnya boleh dan masuk dalam akad bai’. Dan penerimaan barangnya memerlukan tempo yang ditentukan. Karena termasuk rukhsah (dispensasi) yang asalnya jual beli barang yang tidak dapat dilihat itu tidak boleh menjadi boleh, karena telah disebutkan sifat-sifat barang yang nantinya bakal diterima. Juga dengan adanya kebutuhan bagi konsumen.
Kendati demikian, kita juga harus waspada dengan adanya penipuan-penipuan yang sangat mungkin terjadi. Ini lantaran tidak bertemunya kedua belah pihak secara langsung dan pembayaran sudah diberikan sebelum barang diterima. Bahkan Nabipun pernah mewanti-wanti dengan sabdanya:

التُّجَّارُ هُمُ الْفُجَّارُ
“Para pedagang itu adalah orang-orang yang berbuat buruk”

Walaupun Allah menghalalkan jual beli, namun dalam sambungan Hadits ini Nabi menyatakan kebanyakan para pedagang itu adalah pengumbar sumpah palsu dan melakukan perbuatan keji. (Sunan al-Baihaqy al-Kubro,V, 266). Maka berhati-hatilah! [eLFa]

Buletin EL-FAJR Edisi 13/02 Desember 2012

Jumat, 18 November 2011

JABAT TANGAN PRIA-WANITA?

Lebaran sudah berlalu menjauhi kita. Namun, tema yang satu ini nampaknya masih tetap hangat untuk didiskusikan. Jabat tangan. Walaupun hal ini adalah hal yang paling eksis di perayaan Islam tersebut, namun silaturrahmi antar umat tidak berhenti, karena manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial.

Jabat tangan, menjadi hal yang biasa dilakukan ketika sebuah interaksi sosial muncul dan menuntut terwujudnya kerekatan antar manusia. Memang jabat tangan adalah salah satu cara untuk mendekatkan bahkan mengeratkan hubungan kita dengan sesama. Tak pandang laki-laki atau perempuan, semua bercampur baur seakan menjadi satu tanpa sekat. Hal itu telah menjadi adat. Meskipun adat tersebut tidak sepenuhnya menyeluruh di setiap lapisan masyarakat, namun acap kali kita bisa melihat mushafahah (jabat tangan) menjadi suatu refleks sosial yang sering dilakukan sehari-hari. Sebagai contoh, kerap kita temui jabat tangan antara guru dan murid, sesama teman, dan masih banyak lagi.

Menyikapi realita tersebut, bagaimana Islam memandangnya?
Ada beberapa qoyyid (batasan) dalam hukum mushafahah. Mushafahah yang dilakukan dengan orang kafir hukumnya diperbolehkan (mubah). Sedangkan dengan sesama muslim disunahkan. dengan catatan mushafahah itu dilakukan antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, ataupun antara laki-laki dengan perempuan yang masih dalam kategori mahramnya. Termasuk juga dengan anak perempuan kecil yang tidak membangkitkan syahwat dan istri sendiri atau budak perempuan. (Fatawa ar-Romliy, V, 181)

Sedangkan hujjah (dalil) yang menunjukkan kesunahannya jabat tangan adalah :
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْل أَنْ يَتَفَرَّقَا
Tiada dari dua orang muslim yang bertemu lalu bersalaman kecuali diampuni oleh Allah dosa-dosanya sebelum keduanya dipisah. (Sunan at-Tirmidzy, IX, 372)
Sebelum bicara lebih mendalam mengenai mushafahah dengan wanita lain, setidaknya kita tahu dulu tentang hukum melihat kepada wanita lain(ajnabiyyah). Karena ketentuan umumnya, sesuatu yang haram dilihat itu haram disentuh berdasar qiyas aulawy. (Asna al-Mathalib, XIV, 292)

Berikut adalah beberapa klasifikasi hukum dalam hal melihat wanita tersebut antara lain, [1] Melihat wanita lain tanpa adanya suatu hajat atau keperluan perihal melihat wanita tersebut. Maka hal itu tidak boleh (haram), [2] Melihat istri atau budaknya sendiri. Dalam hal ini diperbolehkan, [3] Melihat mahramnya atau budak yang dinikahkan dengan orang lain. Hukumnya boleh selain antara pusar dan lutut, [4] Melihat wanita yang akan dinikahi. Hukumnya boleh tetapi hanya pada anggota tubuh tertentu yaitu pada wajah dan telapak tangan, [5] Melihat dengan tujuan mengobati. Diperbolehkan pada bagian manapun yang dibutuhkan, [6] Melihat karena musyahadah (menjadi saksi), seperti halnya ketika melihat lahirnya seorang bayi dari kandungan ibunya, atau menyaksikan perbuatan zina untuk menjadi saksi. Hukumnya boleh, [7] Melihat calon budak perempuan pada saat akan membelinya, pada seluruh bagian badan diperbolehkan. Ini dikarenakan untuk melihat kualitas atau cacat tidaknya budak tersebut. (Kifayah al-Akhyar, II, 35-40)

Selain hukum jawaz (boleh) melihat perempuan yang disebutkan di atas, ada lagi melihat yang diperbolehkan. Yaitu pada saat pandangan pertama, karena adanya udzur. Melihat pada pandangan pertama artinya melihat sebagaimana sewajarnya melihat. Ini diperbolehkan karena sulitnya menghindari pandangan. Ada sebuah riwayat Hadits yang berbunyi:

يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ

Wahai Ali, Jangan kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu boleh (dimaafkan) untukmu sedangkan yang berikutnya tidak. (Sunan Abi Dawud, VI, 54).

Lalu bagaimana hukumnya melihat kepada mahram tapi disertai dengan timbulnya syahwat? Masihkah diperbolehkan?

Mahram merupakan seseorang yang haram dinikah, disebabkan adanya faktor hubungan darah, penyusuan, semenda. Jika melihat uraian di atas, melihat mereka hukumnya boleh selain bagian antara pusar dan lutut. Tapi uraian di atas tidak menyebutkan ada atau tidaknya syahwat.

Pada dasarnya semua pandangan yang menimbulkan syahwat hukumnya haram, walaupun kepada mahramnya. Kecuali terhadap istri atau budaknya, karena keduanya diciptakan untuk diajak bersenang-senang. Dan telah dihalalkan syara' karena adanya suatu akad. (Hasyiyah al-Jamal, XVI, 260)

Lalu bagaimana dengan mushafahah?
Terlepas dari keharaman pandangan dengan syahwat, hukumnya haram juga ketika terjadi kontak kulit antara laki-laki dan perempuan. Meskipun tidak terjadi syahwat. Ini di-qiyas aulawiy-kan dengan melihat. Melihat saja tidak boleh, apalagi menyentuh. Karena ada sebuah kaidah fiqhiyyah yang mengatakan, "Ma haruma nadhruhu haruma massuhu". Jadi laki-laki tidak diperbolehkan melihat wanita dengan syahwat, tidak diperbolehkan pula bermushafahah dengannya. Shohibu asnal matholib memberi argumen, yaitu karena kontak kulit lebih "greng". Buktinya, inzal (keluar sperma) yang disebabkan kontak kulit itu membatalkan puasa, sedangkan inzal yang disebabkan pandangan itu tidak membatalkan puasa. (Asna al-Mathalib, XIV, 292)

Realita sekarang, mushafahah antara lawan jenis sudah sering terjadi. Hingga ada yang menganggap sudah menjadi sebuah adat. Adat sering kali dijadikan alasan untuk menentukan dasar hukum. Di Indonesia, adat memang dianggap suatu yang patut untuk dicontoh. Akan tetapi seringkali adat masyarakat dapat bertentangan dengan hukum syara'. Karena ada sebuah kaidah fiqhiyyah mengatakan:

العادة محكمة مالم يخالف الشرع
Adat dapat dijadikan dasar hukum selama tidak bertentangan dengan syara'
Sudah jelas kaidah ini menunjukkan penolakan bahwa mushafahah antar lawan jenis bukanlah adat yang patut diteruskan. Sedangkan kebiasaan ('urf) sendiri dibagi menjadi dua bagian. Pertama, 'urf sahih, yaitu kebiasaan yang benar. Kedua, 'urf fasid yaitu kebiasaan yang salah. Rupanya adat di Indonesia itu termasuk dalam kategori yang kedua karena hal itu melanggar syara'. Itu artinya kaidah al-Adah Muhakkamah tidak pas jika digunakan pada bab mushafahah ini. Dengan demikian, seseorang harus menghindari kontak kulit dengan lawan jenis yang bukan mahram dan tanpa ada hajat. (al-Asas Fi at-Tafsir, VII, 3730)

Hukum-hukum tentang musafahah yang telah disebut semuanya di atas tadi, tidak berlaku hanya pada laki-laki kepada perempuan saja. Tapi juga sebaliknya. Dengan dalil:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
Katakanlah pada wanita yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangannya. (QS. an-Nur, 31)

Solusinya, kami memberi beberapa alternatif ketika pembaca menemui suatu permasalahan mushafahah antar lawan jenis. Agar kedua belah pihak tetap saling menghargai, tanpa menyinggung perasaan yang mengajak mushafahah. Alternatifnya, ketika ada yang mengajak bermushafahah, kita bisa menangkupkan tangan ke arahnya tanpa ada unsur menyentuh. Supaya pihak yang mengajak mushafahah mengerti bahwa antara keduanya tak dibolehkan bersentuhan kulit. Apalagi ketika ada momen silaturahim. Dengan demikian, silaturahim tetap berlaku, dan tetap tidak melanggar syara'. Selamat mencoba !!!. [eLFa]

Buletin EL-FAJR Edisi 12/18 November 2011

Selasa, 01 November 2011

HARLAH MA’HAD, SEDERHANA TAPI KAYA MAKNA

QUDSIYYAH, KUDUS – Genap satu tahun sudah Ma’had Qudsiyyah Kudus berdiri. Semenjak diresmikan oleh Mustasyar PBNU, KH. Sya’roni Ahmadi pada Senin Pon, 24 Dzul Qa’dah 1431 H/1 November 2010 TU, pesantren yang lahir dari madrasah Qudsiyyah ini telah menjalankan visi misi pendidikan yang ingin dicapainya, yakni menyelenggarakan studi Fiqh secara mendalam dan menyeluruh melalui perpaduan pendidikan sekolah dan pesantren.

Dalam perjalanan satu tahun ini, berbagai prestasi juga ditorehkan para santri. Prestasi ini antara lain dalam kejuaraan Musabaqah Qiratul Kutub, serta dalam perkemahan santri beberapa pekan lalu.

Memperingati Harlah pertama Ma’had ini, para santri yang tergabung dalam Persatuan Santri Ma’had Qudsiyyah (PSMQ), menyelenggarakan beberapa kegiatan. Pada Senin (31/10/11) sore seluruh santri dipimpin langsung oleh Mudir Ma’had Qudsiyyah, KH Fathur Rahman, BA melaksanakan ziarah ke makam Sunan Kudus dan makam KHR Asnawi. Sekitar 80 santri dengan khidmah menjalankan kegiatan ziarah tersebut.

Malam harinya, dengan dihadiri oleh asatidz Ma’had, para santri melaksanakan doa bersama serta maulid Nabi. Meski dengan acara yang sederhana, namun para santri diingatkan untuk terus bersemangat dalam menjalani proses mondok di pesantren ini. Salah satu hal yang menjadi pesan penting oleh Naib Mudir, KH Yusrul Hana dalam sambutan beliau antara lain menyoroti tentang pentingnya mempelajari ilmu Nahwu Shorof untuk mendukung pembelajaran Fiqh. “Yang menjadi pondasi dalam mempelajari kitab-kitab Fiqh klasik justru Nahwu Shorof ,” tandas beliau.

Oleh karenanya, Ustad yang biasa disapa dengan Gus Hana ini mengingatkan kepada seluruh santri untuk tetap giat dan semangat dalam menghafal;kan bait-bait alfiyyah yang merfupakan program wajib pesantren ini. “Bagi yang belum setor segera setor, bagi yang belum lancar tetap semangat untuk menghafal,” imbuhnya. (*)

Jumat, 28 Oktober 2011

MENELUSURI KEMBALI CATATAN KURBAN

Tinggal menunggu hari hingga umat Islam seluruh dunia akan mengumandangkan takbir. Sebuah ungkapan kebahagiaan manusia kepada Sang Pencipta atas nikmat dan karunia-Nya. Di hari tersebut baik si kaya dan si miskin melebur menjadi satu seakan tidak ada perbedaan derajat sosial.

Hari tersebut seolah menjadi alat pemersatu umat. Yang kaya merasa gembira bisa membantu yang miskin dan yang miskin gembira mendapat santunan dari yang kaya. Puluhan bahkan ratusan hewan diserahkan oleh orang-orang kaya untuk disembelih sebagai perwujudan syukur mereka terhadap Allah. Ribuan bungkus daging juga dibagikan dan diterima dengan ikhlas sebagai tanda terima kasih.

Hari Raya Idul Adha yang lebih umum oleh orang Indonesia disebut hari raya kurban. Kurban dari etimologi Arab berasal dari lafal Qaraba-yaqrubu-qurbaanan yang berarti mendekatkan diri. Mendekatkan diri kepada Sang Pemberi rizki dengan menyerahkan sesuatu barang bernilai dengan ikhlas.

Dalam pandangan fiqh istilah kurban dalam bahasa arab adalah udlhiyyah atau tadlhiyyah yaitu hewan yang disembelih dari binatang ternak yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada allah mulai dari hari ‘iidin nahri sampai akhir hari tasyriq. (Hasyiyah al-Jamal, XXII, 143)

Kurban sendiri punya sejarah berharga. Pertama, kisah Qobil dan Habil putra Nabi Adam. Mereka berdua berlomba untuk mendapatkan Iqlima. Mereka berdua disuruh oleh Nabi Adam untuk mempersembahkan kurban pada Allah sebagai penentu siapa yang berhak atas Iqlima. Akhirnya, ada api turun membakar kurban habil. Api itu menandakan bahwa kurban Habil diterima dan kurban Qobil tidak diterima.

Kedua, diilhami dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Dalam mimpinya, Nabi Ibrahim diperintah Allah agar menyembelih anaknya Ismail. Tepat pada 10 Dzulhijjah, Nabi ibrahim menunaikan perintah Allah. Namun, ketika hendak menyembelih Ismail, Allah menggantinya dengan domba dari langit. Setelah selesai menyembelih domba, Nabi Ibrahim dan Ismail kecil mendendangkan takbir menuju rumah.

Sampai sekarang, kurban masih disyariatkan bagi umat Muhammad. Sedangkan hukumnya sunnah muakkadah bagi umat Muhammad. Dan sunnah muakkadah ini dibagi lagi menjadi sunnah kifayah jika mempunyai anggota keluarga dan menjadi sunnah ‘ain jika tidak memiliki anggota keluarga. Sedangkan bagi Nabi Muhammad sendiri, kurban diwajibkan. (Hasyiyah al-Jamal, XXII, 143)

Adapun dalil berkurban yang sudah akrab di telinga kita ialah:

فَصَلِّ لِرَبِّك وَانْحَر

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (QS. al-Kautsar, 2)

Dalam Islam sebuah pengorbanan kepada Tuhan bukanlah hal remeh. Buktinya Islam memberi batasan dan ketentuan untuk hewan kurban yaitu Bahiimatul an’am : meliputi kambing, sapi, unta, kerbau dan domba baik betina, khunsa (banci), ataupun jantan walaupun dikebiri. (Hasyiyah al-Jamal, XXII, 152)

Selanjutnya, hewan-hewan tersebut tidak boleh cacat fisik. Seperti pincang, buta, tak berekor. Semisal pecah tanduknya atau sobek kupingnya, tetap dibolehkan menggunakannya. Karena hal-hal tersebut tidak menandakan kurangnya daging hewan tersebut. Hewan kurban juga disyaratkan harus memiliki usia minimal yang telah ditetapkan. Yaitu kambing 1 tahun, sapi atau kerbau 2 tahun, unta 5 tahun. (Hasyiyah al-Jamal, XXII, 153)

Ketentuan-ketentuan di atas tentu mencitrakan bahwa Islam adalah rahmat. Islam tidak hanya memperhatikan tentang adab sopan santun kepada Allah, tapi juga menengok adab kasih sayang kepada sesama manusia. Dengan bukti sama-sama diperhatikannya antara si kaya dan si miskin. Dan mencerminkan bahwa si miskin masih memiliki harkat dan martabat.

Jika kurban itu diambil dari hasil iuran, maka yang diperbolehkan adalah satu kambing untuk satu orang. Sedangkan unta, sapi, atau kerbau untuk tujuh orang. (Hasyiyah al-Jamal, XXII, 164 & 167)

Dalam ritual kurban dikenal “tanggal” di mana kurban dilaksanakan. Umat Islam diberi aturan bahwa waktu kurban ialah setelah sholat Idul Adha yaitu dua rakaat dan dua khotbah. Apabila tidak melaksanakan sholat, maka waktunya dikira-kirakan setelah sholat dua rakaat dan dua khotbah. Dan batas akhirnya, akhir hari tasyriq yaitu terbenamnya matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah. Apabila melebihi dari hari tasyriq maka tidak dianggap kurban. Tapi dianggap sebagai sedekah biasa. Jika kurbannya nadzar, maka wajib menyembelih walaupun waktunya sudah terlewat karena wajibnya kurban yang dinadzari dan kewajiban itu tidak gugur sebab tergelincirnya waktu. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, VIII, 387)

Kemudian, kepada siapa kurban itu diberikan?

Daging kurban hanya boleh diberikan kepada orang Islam, sedangkan kepada orang kafir hukumnya tidak boleh. Dalam kitab al-Majmu’ diterangkan bahwa boleh memberikan daging kurban kepada kafir dzimmy yang fakir dengan syarat kurban tersebut adalah kurban tathawwu’ (sunah). Apabila kurbannya wajib (nadzar) maka hukumnya tidak boleh. Dalam pembagiannya, daging kurban harus dibagikan dalam keadaan mentah, agar daging tersebut dapat dimanfaatkan sesuai kehendak si penerima. (Hasyiyah al-Bujairomy Ala al-Khathib, XIII, 244)

Lalu bagaimana dengan mudlohhi (orang yang berkurban), apakah dia boleh memakan daging kurban miliknya sendiri tadi?

Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa bahwa mudlohhi wajib memakan kurban tersebut walaupun sedikit, karena firman Allah :

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. al-Hajj, 28)

Namun qaul yang shahih berpendapat lain yaitu tidak mewajibkan bagi mudlohhi untuk memakan daging kurbannya tersebut, tetapi sunah untuk ikut memakan sebagian kurbannya. Ini jika kurban itu kurban tathawwu’. Tapi jika kurban nadzar, hukumnya adalah haram memakannya. Imam Haramain dan Imam Ghozali berpendapat bahwa menyedekahkan semua itu lebih baik, jika tidak disedekahkan semua, maka apa yang harus dilakukan? Qaul qadim Imam Syafi’i mengatakan bahwa separuh daging dimakan sendiri, dan separuh lainnya disedekahkan. Sedangkan menurut qaul jadid, sepertiganya dimakan sendiri dan dua pertiganya disedekahkan. Dan banyak ulama’ lain yang menukil qaul ini dengan memerincinya lagi, yaitu sepertiga dimakan sendiri untuk tabarruk, sepertiga disedekahkan kepada fakir miskin, sepertiga dihadiahkan kepada para aghniya’ (orang kaya). (Tafsir Ibnu Katsir, V, 416, Kifayah al-Akhyar, II, 241)

Daging kurban tidak boleh dijual dan juga tidak boleh digunakan sebagi ujroh (upah) bagi panitia pelaksana kurban atau penyembelih, meskipun kurban tersebut adalah kurban tathawwu’. Karena adanya daging kurban untuk dibagi-bagikan dan bukan untuk keperluan yang lain. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa menjual daging kurban hukumya boleh. (Kifayayatu al-Akhyar, II, 242)

Adapun hikmah yang dapat kita ambil dari ibadah kurban adalah menambah taqarrub kepada Allah. Juga sebagai wahana menumbuhkan keakraban antar warga dalam bersosialisasi dengan menghilangkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Semoga amal kurban kita kali ini diterima Allah dengan balasan yang berlipat ganda. [eLFa]

BULETIN MA’HAD QUDSIYYAH, EL-FAJR, Edisi 11

Jumat, 21 Oktober 2011

MEMBIASAKAN MEMBACA SHALAWAT NABI

Dalam kehidupan ini, kemajuan teknologi di segala bidang membuat kehidupan terasa semakin mudah. Jarak dan waktu seakan tak lagi membuat manusia kerepotan. Dengan sekali klik, kita bisa dengan mudah mendapatkan segalanya dalam hidup ini. Kendati demikian, kemudahan yang diberikan tidak lantaran membuat persoalan semakin berkurang dan mudah diatasi. Terkadang persoalan kehidupan justru kian pelik dan sulit diselesaikan.

Hal inilah yang seharusnya menjadi sarana manusia untuk bertafakkur dan membuat hati untuk tetap tenang dalam menghadapi problematika kehidupan. Sebab dengan hati yang tenang dan kita akan mudah mencari jalan keluar. Salah satu hal yang bisa membuat hati menjadi tenang adalah dengan membiasakan diri membaca shalawat atas Nabi Muhammad saw.

Al- ‘Allamah Sayyid Abdurrahman ibn Mustofa al- Idrus (Mesir), menjelaskan dalam kitab Mira’atussyumush fi Manaqibi Ali al- Idrus, bahwa di akhir zaman nanti ketika sudah tidak ditemukan seorang murrabbi atau mursyid (guru spiritual) yang memenuhi syarat, maka tidak ada satupun amal yang bisa mengantarkan seseorang wushul (ma’rifat) kepada Allah kecuali bacaan shalawat kepada baginda Nabi Muhammad saw baik dalam keadaan tidur maupun terjaga.

Dari sisi hukum, para ulama sepakat atas diwajibkannya membaca salawat atas Nabi. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat mengenai kapan dan berapa kali umat Islam diwajibkan membaca salawat. Menurut Imam Malik, membaca shalawat cukup sekali seumur hidup. Sedang menurut Imam Syafi’i umat muslim wajib membaca shalawat setiap kali dalam tasyahud (tahiyat) akhir dalam masing-masing salat. Menurut ulama lain, wajib membaca salawat satu kali dalam setiap majlis. Ada juga ulama lain yang berpendapat bahwa membaca shalawat wajib dilakukan setiap kali mendengar nama Nabi disebut. Ada pula yang berpendapat wajib untuk memperbanyak bacaan shalawat. Secara umum, membaca shalawat merupakan hal yang begitu agung dan tentu saja memiliki banyak keutamannya.

Shalawat sebagai penghantar ma’rifat kepada Allah bagi pengamalnya, dan tidak diharuskan membutuhkan mursyid (guru). Hal ini karena guru dan sanadnya (silsilahnya) langsung melalui Nabi (Hasyiyah Shawi al-Jalalayn). Ketentuan ini berbeda dengan dzikir. Dzikir (selain salawat) harus melalui bimbingan guru spiritual (mursyid) yang sudah mencapai derajat ma’rifat, jika tidak demikian maka akan mudah dimasuki setan, dan pengamalannya akan sangat sulit mendapat ma’rifat.

Keistimewaan serta buah dari shalawat sangat banyak. Dalam kitab Is’adur Rofiq, karangan Syekh Muhammad Ibn Salim disebutkan, keistimewaan salawat antara lain turunnya rahmat (anugerah), sarana penghapus dosa dan keburukan, mendatangkan hajat (kebutuhan), menghilangkan problematika yang sulit dipecahkan, sebagai penerang hati dan mendapat ridha Allah swt, mengetahui segala yang ghaib, menghilangkan aura panas seseorang menjadi dingan dan menjadikan berwibawa.

Dengan demikian, membiasakan diri membaca shalawat jelas sangat penting. Ini mengingat begitu banyaknya manfaat yang bisa diraih. Dalam konteks sekarang, makin banyaknya problem dalam kehidupan ini salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan semakin banyak membaca salawat. Semakin banyak membaca shalawat, selain sebagai bentuk cinta kepada Nabi juga sebagai sarana memohon kepada Allah agar membuat hati kita lebih tenang dan lebih nyaman. Dengan demikian, dalam menghadapi segala kesulitan dan tantangan akan selalu melihat dengan jiwa yang positif .

Bahkan, fatwa Sayyid Bakri Ibn Muhammad Syata, menyatakan shalawat mengantarkan wushul kepada Allah swt serta dapat melimpahkan rizki. Barang siapa yang memperbanyak salawat, maka jasadnya diharamkan Allah dari api neraka. So, tak ada keraguan lagi kan dalam membaca shalawat!

Sebaiknya, orang yang membaca salawat hendaklah dalam keadaan yang paling sempurna, yakni suci badannya, punya wudlu, menghadap kiblat, menghayati keagungan baginda Nabi dengan bermaksud tercapainya keingainan dan cita-cita, mengucapkan dengan tartil dan tidak tergesa-gesa dalam mengucapkan kalimat-kalimatnya.

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya bersalwat kepada Nabi . Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kepadanya (Nabi) dan berilah salam sesungguh salam kepadanya. (Q.S. Al Ahzab: 56) (*)

* Tulisan ini di muat di “Cermin Hati” Radar Kudus Edisi Jum’at, 21 Oktober 2011

** Penulis adalah Ustadz Ma’had dan MI Qudsiyyah Kudus

Minggu, 16 Oktober 2011

KONTINGEN SANTRI MA’HAD RAIH JUARA UMUM

QUDSIYYAH, KUDUS – Kontingen santri Ma’had Qudsiyyah meraih hasil terbaik dalam perkemahan santri pondok pesantren se-kabupaten Kudus tahun ini. Dalam acara yang digelar di bumi perkemahan Kajar, Colo Kudus pada Sabtu hingga Ahad (15-16 Oktober 2011), tim santri Ma’had Qudsiyyah meraih juara umum putra mengungguli kontingen dari pesantren yang lain.

Dalam kesempatan tersebut, santri Ma’had yang dipimpin langsung oleh ketua PSMQ (Persatuan Santri Ma’had Qudsiyyah), Amal Fuad, meraih tiga piala juara pertama sehingga berhak mendapatkan piala tergiat kategori sangga putra atau juara umum. Piala pertama disumbangkan oleh pidato Bahasa Arab oleh Khotibul Umam Annahar yang meraih juara pertama. Piala selanjutnya diraih melalui tim Lomba Cerdas Cermat (LCC) yang diikuti oleh M Nashirul Haq, M Zidni Nafi’, dan A Latif. Dalam kesempatan tersebut tim Ma’had sukses mengandaskan lawan-lawannya dalam lomba cerdas cermat yang bermaterikan keislaman, pengetahuan umum, dan kepramukaan.

Piala ketiga disumbangkan melalui lomba kreasi musik islami yang menampilkan variasi rebana. Tim yang diikuti oleh Musfar Munji, M Miftahul Albab, Amal Fuad, (vocal) A Sya’roni, Zahlul Firza, Arif Setiawan, dan Hudzaifi Al Hasani (personil alat musik rebana) menampilkan dua lagu andalan yakni Ya amanal khaifin dan anta nuskhotul akwan. Dua lagu tersebut mampu memukau dewan juri dan seluruh penonton dan mengantarkan meraih juara satu. (*)

Jumat, 14 Oktober 2011

HATI-HATI SMS BERHADIAH

Sudah jamak di kalangan kita, banyak acara yang bertaburan iming-iming hadiah besar. Di televisi misalnya, banyak acara yang menyelenggaraannya didukung dengan kuis melalui polling SMS. Semisal kontes menyanyi, da’i, lawak, olahraga dan lain-lain. Acara ini juga menawarkan hadiah yang menarik sehingga banyak masyarakat tergiur dengan hadiah-hadiah tersebut. Cukup dengan mengirimkan SMS (Short Message Service), peluang jadi jutawan sudah di ambang mata. Semakin banyak SMS yang dikirimkan maka semakin besar peluang untuk jadi jutawan. Tapi sebaliknya, jika tak jadi jutawan, banyak pulsa melayang. Cara yang ditawarakan dalam kuis itupun cukup mudah, yaitu dengan mengirimkan SMS. Operator akan mengundi nomor-nomor yang masuk, dan yang keluar itulah yang jadi pemenang dan tak mustahil menjadi orang kaya mendadak.

Model kuis SMS pun bervariasi Ada model kuis SMS memberikan dukungan kepada sang idola Biasanya cukup dengan mengetik nama idola yang sedang bertarung dalam kontes menyanyi atau da’i. Kalu beruntung, nomor anda akan keluar sebagai pemenang. Model lainnya, seperti dalam kuis dalam olah raga. Model ini dengan cara mengacak semua nomor yang masuk, kemudian nomor HP yang muncul akan dihubungi dan mendapatkan pertanyaan dari pihak penyelenggara. Kalau jawabannya tepat akan diberi hadiah. Dan masih ada juga model-model mekanisme kuis SMS berhadiah yang lain.

Lalu, bagaimana hukum kuis SMS jika dipandang dari kacamata fiqh?

Praktik semacam ini erat kaitannya dengan judi. Menurut Islam, judi adalah permainan yang di dalamnya terdapat kebimbangan antara untung dan rugi, sehingga membuat para audiensnya berharap-harap cemas. Dalam kitab-kitab salaf, judi biasanya disebutkan dengan menggunakan kata qimar atau maysir. Tapi antara qimar dan maysir tetap ada perbedaan yang sangat tipis sekali. Berangkat dari Hadits “كل قمار ميسر”, bisa difahami bahwa kata maysir lebih umum daripada kata qimar. Sehingga dapat disimpulkan setiap qimar adalah maysir, tapi setiap maysir belum tentu qimar. (Hasyiyatu al-Jamal, XXII, 269; Tafsir at-Thobari, IV, 323) Beberapa ulama juga ada yang berpendapat bahwa maysir dan qimar itu sama. Dan di sini kita anggap saja sama yaitu “judi”. (al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, XX, 117)

Keharaman pada judi baru muncul ketika pada zaman nabi kita yaitu Nabi Muhammad. Sedangkan pada nabi-nabi sebelumnya judi belum dilarang. (al-Mabsuth, XIII, 52)

Al-Qur’an juga angkat bicara tentang masalah perjudian:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah, 90)

Ayat ini turun karena adanya perjudian yang dilakukan orang-orang Arab Jahiliah zaman dahulu. Ada sepuluh orang pemain membeli seekor unta lalu disembelih dan dijadikan 28 (dua puluh delapan) bagian. Kemudian mengambil sepuluh lembar potongan kayu yang pada masing-masing lembar ditulisi al-Fadzdz berisi 1 bagian, al-Tauam berisi 2 bagian, al-Raqiib berisi 3 bagian, al-Hils berisi 4 bagian, al-Nafiis berisi 5 bagian, al-Musbil berisi 6 bagian, al-Mu’alla berisi 7 bagian (jumlah 28 bagian), al-Maniih Nihil, al-Safiih Nihil dan al-Waghd Nihil. Lalu lembaran kayu itu dikocok dan diambil oleh masing-masing pemain. Yang mengambil Al-Maniih, Al-Safiih dan Al-Waghd adalah pihak yang kalah dan harus membayar harga unta tersebut, sementara tujuh orang pemain lainnya tidak berkewajiban apa-apa. Kemudian daging unta itu dibagi-bagikan kepada fakir miskin. (Tafsir al-Maraghy, I, 139 – 140).

Semua yang mengandung taruhan itu termasuk maysir, sehingga permaianan anak-anak pun bisa masuk dalam kategorinya. Media yang banyak digunakan sekarang seperti kartu, dadu, domino, kelereng, catur, dan sebagainya oleh anak-anak ataupun orang dewasa. Menurut Imam Malik, judi dibedakan menjadi dua macam : Pertama, maysirul lahwi yaitu perjudian dengan menggunakan alat-alat seperti dadu, catur, alat musik dan lainnya. Kedua, maysirul qimar yaitu perjudian yang mempunyai resiko-resiko antara rugi-untung. (al-Jami’ Li al-Ahkami al-Qur’an Li al-Qurthuby, I, 632)

Adapun perlombaan yang digambarkan oleh syara’ dalam hal ini, seperti yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab salaf, dibagi dalam dua jenis model. Pertama, jika sumber hadiah perlombaan berasal dari salah satu pihak (yang mengikuti lomba). Seperti ketika seseorang berkata pada lawan tandingannya, “Jika kamu dapat menang atasku maka kamu mendapatkan sesuatu dariku tetapi jika aku menang darimu, aku tidak mendapat apapun darimu”. Dan secara singkat perlombaan ini bersifat dari salah satu pihak yang berani mempertaruhkan sesuatu yang dimilikinya.

Kedua, jika sumber hadiah pemenang berasal dari pihak yang kalah seperti ketika seseorang menantang lawannya dan berkata,”Jika aku menang maka aku mendapatkan sesuatu darimu dan jika kamu menang maka kamu mendapat sesuatu dariku”. Proses semacam ini, hadiah dari kedua belah pihak, hukumnya haram. Tapi model ini bisa jadi diperbolehkan dengan syarat adanya muhallil (pihak netral yang menjadi penengah antara kedua belah pihak). Disebut muhallil karena dia adalah penyebab halalnya perlombaan. Muhallil sendiri, apabila menang mendapatkan hadiah yang berasal dari kedua belah pihak, tetapi jika kalah maka ia tidak membayar uang (harta) yang menjadi sumber hadiah. (al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, XV, 150; Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, XXVII, 309)

Muhallil juga disyaratkan harus memiliki kompetensi dalam bidang yang diperlombakan. Jadi, jika muhallil diyakini pasti kalah maka hal itu menjadikan perlombaan ini tetap tidak sah karena wujuduhu ka ‘adamihi (wujudnya seperti tiadanya) dan keberadaanya tidak ada artinya. (Ibaanah al-Ahkam, III, 184)

Ada sebuah hadits yang berbunyi :

مَنْ أَدْخَلَ فَرَسًا بَيْنَ فَرَسَيْنِ وَهُوَ آمِنٌ أَنْ يَسْبِقَ فَهُوَ قِمَارٌ ، وَمَنْ أَدْخَلَ فَرَسًا بَيْنَ فَرَسَيْنِ وَهُوَ لَا يَأْمَنُ أَنْ يَسْبِقَ فَلَيْسَ بِقِمَارٍ

Barang siapa yang memasukkan seekor kuda di antara dua kuda dan dia merasa aman untuk menang, maka itu judi. Barang siapa yang memasukkan seekor kuda di antara dua kuda dan dia merasa tidak aman untuk menang, maka itu judi.

Di hadits ini, seorang muhallil (orang yang masuk antara dua orang yang berlomba), jika ia merasa aman, artinya tidak ada usaha untuk meraih juara (yakin kalah), maka termasuk judi. Tapi jika memungkinkan untuk menang, maka tidak judi. (Fatawy al-Kubra, VII, 17)

Lalu bagaimana dengan SMS berhadiah yang sekarang marak terjadi? Bisakah dianggap sebagai judi?

SMS berhadiah, kadang bertarif normal, kadang juga bertarif premium (premium call). Jika tarif SMS-nya normal, jelas tidak mungkin ada judi. Karena tarif itu adalah biaya kirim SMS, bukan masuk ke penyelenggara.

Tapi jika tarifnya premium, bisa jadi termasuk judi, karena kelebihan biaya pengiriman tadi dikirim ke penyelenggara untuk dikumpulkan sebagai modal pembelian hadiah. Premium Call adalah Layanan Informasi yang disediakan oleh Penyedia Jasa Informasi kepada pemanggil sebagai pengguna jasa, dimana biaya pemakaian pulsa premium seluruhnya dibebankan kepada pemanggil. Manfaatnya, bagi masyarakat mendapatkan jasa informasi yang dibutuhan seperti konsultasi kesehatan, infotainment, Party line, dll. Bagi service provider (penyelenggara) memperoleh pembagian pendapatan pulsa atas layanan informasi yang disediakan.

Bisa jadi juga tarif premium ini tidak temasuk judi, semisal tarif premium yang masuk ke penyelenggara digunakan untuk biaya administrasi. Dan hadiahnya bersumber dari sponsor atau penyelenggara, bukan berasal dari seluruh audiens. Atau, jika ada muhallilnya yang ikut berpartisipasi dalam kuis itu tanpa harus membayar sepeser pun kecuali biaya operasional. Tapi, penyelenggara mengadakan muhallil rasanya tidak mungkin.

Namun pada akhirnya, alangkah lebih baik jika kita tidak ikut-ikutan kuis berhadiah itu. Alasan utamanya adalah karena tidak adanya transparansi atau kejelasan dari penyelenggara mengenai sumber hadiah dan ada atau tidaknya muhallil yang bisa menghalalkannya. [eLFa]

Jumat, 07 Oktober 2011

TAMPIL MENAWN ITU PENTING

Di tengah perkembangan dunia, fashion merupakan salah satu hal yang terus berkembang dan terus update setiap saat. Satu mode belum layak dianggap lawas, mode lain sudah muncul. Semakin banyak trend pakaian, mulai dari yang islami sampai model bikini. Itu adalah upaya manusia untuk mempercantik diri agar lezat dipandang. Bukan hanya kaum Hawa, kaum Adam pun demikian.

Karena fashion, dengan style dan ukuran yang begitu beragam, orang kadang memandangnya dengan sebutan sok nggaya dengan alasan mubadzir atau israf. Ini salah satunya karena begitu banyaknya komponen yang tersusun merupakan bahan paling unggul, bahkan dipenuhi dengan pernik-pernik dan hiasan yang super. Namun di sisi lain, pakaian yang indah dan bagus adalah sesuatu yang mendamaikan mata.

Hemmm, seperti apa sih Islam memandangnya? Apakah hal itu termasuk mubadzir atau israf? Atau justru malah masuk dalam suatu amaliyah yang baik dikarenakan dapat menenteramkan pandangan?

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:

يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan & minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.(al-A’raf, 31)

Ayat ini berbicara tentang memakai pakaian, makan, dan minum. Dan semua hal ini ada hubungannya dan saling terkait dengan israf.

Israf didefinisikan dengan suatu sikap melebih-lebihkan dalam peggunaan sesuatu yang sudah kiranya cukup dalam memenuhi kebutuhan. Sementara mubadzir, adalah menggunakan sesuatu (barang) yang mana penggunaannya tidak pada haknya. Bedanya, Israf lebih cenderung dilihat dari sisi kuantitasnya (jumlahnya), sedangkan mubadzir dilihat dari sisi penggunaannnya. Keduanya termasuk sifat yang dilarang agama dan masuk kategori sifat madzmumah (tercela). Tetapi sifat madzmumah mubadzir lebih besar daripada israf Hal ini karena israf itu salah dalam jumlahnya, tapi benar dalam penggunaannya. Sedangkan mubadzir itu salah dalam penggunaannya. Dan mungkin akan berimbas kerugian pada diri sendiri ataupun orang lain. (Adabu ad-Dunya Wa ad-Din, I, 448)

Batasan mubadzir dan israf itu ada selama masih dalam haknya. Pada konteks ini kita berbicara tentang style dalam pakaian. Selama pakaian itu digunakan sebagaimana mestinya, maka tidak mubadzir. Selama pakaian itu tidak melebihi kebutuhan, maka tidak israf. Seperti diberitakan dalam Harian Jawa Pos (25 September 2011) ada pengantin yang memakai gaun dengan panjang sampai 3 Kilometer. Tidakkah hal ini berlebihan???

Tetapi ada juga, penggunaan sedikit namun dianggap israf. Yaitu makan makanan, minum minuman, atau memakai pakaian yang diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Semua itu termasuk israf walau sedikit. Seperti makan bangkai, minum arak, memakai barang ghasab, dan lain-lain. (Syarhu an -Nail Wa Syifau al-’Alil-Ibadhiyah, XXXII, 436)

Sebaliknya, ada juga hal berlebihan yang tidak termasuk israf. Yaitu berlebihan dalam hal kebaikan seperti sodaqoh, memerdekakan budak, membangun masjid, madrasah, dan yang menyerupai, semua itu tidak termasuk dalam kategori israf ataupun mubadzir. (Raudhatu at-Thalibin Wa ‘Umdatu al-Muftin, II, 51).

Imam Haramain dan Imam Ghozali berpendapat bahwa makan makanan lezat itu termasuk mubadzir. Tapi mayoritas ulama justru berpendapat sebaliknya, dikarenakan harta itu ada untuk dimanfaatkan dan dinikmati. Dan makanan tercipta untuk dinikmati. Begitu pula berpakaian bagus, memperbanyak budak dan bersenang-senang dengan budak itu, dan sebagainya. (Raudlatu at-Thalibin Wa ‘Umdatu al-Muftin, II, 51, Syarhu al-Wajiz, X, 284)

Lalu bagaimana dengan tajammul (berhias / tampil menawan)?

Tajammul dianjurkan ketika akan menjalani shalat, karena hakikat shalat adalah menghadap Sang Pencipta. Di mana kita harus bertata rapi ketika akan bertemu dengan-Nya. Keterangan ini berangkat dari mafhum kalimah ‘inda kulli masjidin yang telah termaktub di ayat di atas. Lafal ‘masjidin’ di atas bersifat umum. Tidak hanya dalam sholat, lafal itu bisa juga dikonotasikan dengan thawaf, dan thawaf itu khusus di Masjidil Haram. Dan tidak juga termasuk tajammul, sesuatu yang menutupi aurat. Karena itu termasuk perintah yang wajib dilakukan (pokok). (Tafsir al-Bakhru al-Muhith, V, 335)

Dalam hadits Arbain dikatakan :

ان تعبد الله كانك تراه وان لم تكن تراه فانه يراك

Ketika kau beribadah (sholat) menyembah Allah, seakan-akan kau melihat-Nya dan kalau tidak bisa melihat-Nya, seakan-akan kau dilihat-Nya.

Selain itu, apakah kita tidak malu kepada Allah, jika berpenampilan kurang pantas di hadapan-Nya. Sedangkan kalau kita pergi ke rumah calon mertua saja berdandan sangat necis. Maka dari itu tajammul dianjurkan, walaupun memang Allah pasti tahu apa yang berada berada dalam balik pakaian.

Juga ada hadits:

ان الله تعالى يحب اذا انعم على عبده نعمه ان يرى اثرها عليه

Sesungguhnya Allah ketika memberi nikmat kepada hamba-Nya, senang jika nikmat itu diperlihatkan.(Bahr al-Fawaid al-Musamma Bi Ma’ani al-Akhyar Li al-Kilabadzi, I, 103)

Bahkan dalam suatu hikayat, Imam Abu Hanifah pernah memakai rida’ yang harganya sangat mahal yaitu 400 dinar (1 dinar = ± 4,5 gram emas). Ini merupakan bentuk beliau dalam menghargai nikmat. Dan beliau juga memerintahkan kepada pengikutnya dan seraya berkata, “Sesungguhnya manusia melihatmu dengan mata rahmat”. (Takmilah Hasyiyah Radd al-Mukhtar, I, 346).

Ringkas cerita, agama memperbolehkan tajammul, ataupun israf, selama masih dalam koridor-koridor seperti yang tersebut di atas. Jadi, para pembaca silahkan ber-style ria tapi jangan lupa perhatikan juga syari’atnya. Masih banyak kan busana muslim/muslimah yang cocok antara kemajuan zaman dan agama. [eLFa]

Selasa, 23 Agustus 2011

PUASA DAN BELENGGU SETAN

Umat Islam di seluruh dunia tengah menikmati indahnya bulan suci Ramadan. Dimana tiap tahun, Ramadan hadir, senantiasa disemarakkan dengan beragam seremonial keagamaan, mulai dari tarawih, tadarus Alqur'an, kuliah subuh, buka bersama, santuanan fakir miskin dan yatim piatu serta pegajian-pengajian selalu ramai digelar menghiasi hari-hari Ramadan.

Masjid dan surau selalu penuh tanpa ada shaf yang lekang. Bahkan tidak jarang para jama'ahnya berjubel dan berdesak-desakan. Semuanya seakan hanyut dalam kebesaran dan kemuliaan bulan ini. Hati mereka menyatu dalam kelezatan beribadah bulan Ramadan dengan tujuan merengkuh ridho-Nya.

Akan tetapi, pada sisi yang lain kita juga masih melihat beragam bentuk kemaksiatan yang dipertontonkan di masyarakat pada bulan suci ini. Minum-minuman keras, perjudian, pelacuran, pencurian, dan sebagainya. Mereka seolah tidak menghiraukan keuscian bulan Ramadan. Baginya, tidak ada bedanya dengan bulan-bulan yang lain. Kejahatan dan kemungkaran menjadi rutinitas yang tidak pernah bisa ditinggalkan dan telah menjadi bagian hidupnya. Melihat fenomena di atas nampaknya ada hal yang sangat paradoks.

Melirik pada kesucian dan kemuliaan Ramadan, mestinya, bulan ini tidak ternodai oleh hal-hal yang bernuansa kemungkaran, tapi kenyataan di lapangan sangat bertolak belakang padahal kita sering mendengar sebuah hadis Nabi yang berbunyi "Apabila Ramadan datang, niscaya pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu" (HR Bukhari Muslim). Lalu bagaimana konteks hadis itu dengan realita sekarang?

Memang secara sekilas hadis tersebut mengesankan bahwa seakan-akan pada bulan Ramadan tidak ditemukan kemaksiatan sama sekali, alasannya pintu surga telah dibuka, pintu neraka tertutup, sementara setan-setan telah dibelenggu. Akan tetapi, perlu pemahaman yang serius terhadap pemaknaan hadis ini.
Perbedaan pendapatpun tidak dapat terelakkan, sebagian ulama memahami hadis terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu neraka ialah makna sesungguhnya. Artinya, pada bulan Ramadan pintu surga dibuka lebar-lebar dan pintu neraka ditutup rapat-rapat. Pendapat ini, diunggulkan oleh Al Qurtubi. Alasannya, tidak ada motivasi untukmengarahkan kepada pemaknaan lain.
Meskipun tidak ada yang masuk dan keluar, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pitu neraka pada bulan Ramadan, mempunyai fungsi tersendiri. Fungsinya antara laian member informasi kepada para malaiakt bahwa bulan Ramadan telah menjelang, memberikan penghormatan akan kebesaran bulan Ramadan, dan memotivasi orang Islam untuk selalu giat beribadah.

Sebagian lain memaknai hadis ini tidak pada makna hakikatnya. Ada pesan tersendiri yang ingin disampaikan oleh Nabi melalui sabdanya itu. Makna yang dikehendaki dari terbukanya pintu surga adalah pada bulan Ramadan selalu dipenuhi dengan beragam ketaatan beribadah yang dapat mengantarkan kepada surga. Pada bulan suci ini rahmat Allah turun dengan derasnya, dicurahkannya pertolongan Allah, dihilangkannya penghalang amal, perbuatan untuk dapat menembus ke langit, dan amal perbuatan lekas diterima.

Sedangkan pesan dari ditutupnya pintu neraka, ialah dicurahkannya ampunan Allah, bersihanya jiwa-jiwa orang yang berpuasa dari dosa-dosa serta terhindar dari motif-motif yang dapat merangsang melakukan tindakan maksiyat dengan cara menahan hawa nafsunya lantaran puasa dapat menjadi benteng dari serangan hawa nafsu.
Tentang dibelenggunya setan, terdapat pemaknaan yang berbeda-beda. Sebagian pendapat mengatakan yang dimaksud setan di sini ialah setan yang mencuri pendengaran tentang berita langit. Ada yang mengartikan setan tidak mempunyai kemampuan untuk menggoda umat Islam karena bulan Ramadan umat Islam telah membentengi dirinya dengan puasa, dzikir, dan baca Alquran. Sehingga, belenggu yang disebutkan dalam hadis bukan dalam arti yang sesungguhnya. Ketidakmampuan setan untuk menggoda manusia itulah merupakan belenggu bagi dirinya. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dibelenggu hanyalah jin atau setan yang jahat, tidak dibelenggu secara keseluruhan.

Fungsi dibelenggunya setan adalah mencegah dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak umat Islam, melemahkan tipu daya setan untuk mengajak kepada kemaksiatan dan menyangkal alasan yang dibuat oleh manusia seandainya ada sebagian dari mereka yang beralasan tidak melakukan taat dan melakukan maksiyat karena pengaruh godaan setan.

Meskipun pada bulan Ramadan setan-setan telah dibelengu, namun kemaksiatan masih merajalela. Hal ini tidak bertentangan dengan hadis di atas. Alasannya, bahwa yang dapat membelenggu setan adalah puasanya, orang-orang yang memenuhi syarat-syarat dan etika puasa. Oleh karenya, bagi orang-orang yang tidak memperhatikan syarat-syarat dan etika puasa atau malahan tidak berpuasa sama sekali, maka baginya setan tidak terbelanggu. Ia masih dapat menggodanya dan menyeretnya dalam lembah kemasiatan dengan mudah. Bisa jadi kemaksiatan masih ada karena setan yang dibelenggunya hanya sebagian, bukan secara keseluruhan.
Meskipun, misalnya semuanya setan telah dibelenggu selama bulan suci ini, toh masih ada penyebab lain yang dapat mendorong manusia untuk berbuat maksiat. Hal itu antara lain hawa nafsu yang jelek, kebiasan-kebiasaan yang buruk, dan setan-setan yang berupa manusia. Jadi, bulan suci ini tidak mampu mengerem manusia dari tindakan-tindakan buruk dengan sendirinya tanpa disertai dengan benteng yang kokoh dari pengaruh hawa nafsu dan godaan-godaan luar lainnya. Mestinya, puasa bisa menjadi wahana untuk selalu mawas diri dari pengaruh hawa nafsu dan godaan-godaan yang lain, karena musuh terbesar kita selain setan adalah hawa nafsu kita sendiri. Ingat, jangan sampai bulan Ramadan ini terkotori dengan kemaksiatan-lemaksiatan yang dapat merusak diri kita, keluarga dan masyarakat secara umum.(*)

Oleh: Taufiq Aulia Rahman, M.H.I
Musyrif (Ustadz pembimbing) Ma'had Qudsiyyah Kudus

Jumat, 12 Agustus 2011

WALAU RAMADHAN, JUALAN TETAP JALAN

Sekarang kita tengah memasuki bulan Ramadhan. Pada bulan ini, terdapat peristiwa-peristiwa besar yang bersejarah. Di antaranya Nuzulul Qur'an (turunnya Al-Qur'an). Pada bulan ini pula, mulai fajar sampai menjelang maghrib kita diwajibkan berpuasa. Sedangkan di malam harinya kita disunahkan melakukan Shalat Tarawih dan Witir secara berjama’ah. Dalam kitab I’anatuth Thâlibin, puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari dengan syarat-syarat tertentu. (I’ânatuth Thâlibin, Juz II, 215)

Puasa mulai disyari’atkan pada tahun 2 H. Pada masa-masa awal Islam, kewajiban puasa tidak bersifat mu’ayyan (tidak ada pilihan lain), tetapi mukhayyar, artinya umat diperbolehkan memilih antara melaksanakan puasa atau membayar fidyah (memberi 2 mud/kira-kira 5 ons dari makanan pokok negara kepada fakir miskin). Hal ini menyebabkan para aghniya’ (orang-orang kaya) lebih memilih membayar fidyah dari pada berpuasa. Selanjutnya turunlah ayat yang menjelaskan kewajiban puasa secara mu’ayyan.

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
"Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (QS.Al-Baqarah, 185)

Jika mau meluangkan waktu untuk ber-tafakkur (berfikir secara mendalam), maka kita akan tahu, segala sesuatu yang diwajibkan pasti ada hikmah dan faedahnya. Termasuk puasa. Diantara faedah puasa ialah:
Pertama, faedah yang bersifat ruhiyyah (spiritual), seseorang akan berlatih bersabar dan menjauhkan diri dari bujuk rayu nafsu dan syahwat. Sehingga jiwa akan senantiasa menaati perintah serta menjauhi larangan Sang Khaliq. Hal ini dapat dicapai ketika motif mengerjakan puasa hanya semata-mata karena Allah, bukan karena menggugurkan kewajiban semata. Di samping itu, puasa juga menjauhkan diri dari sifat sombong. Karena tidak ada orang sombong yang setiap harinya menahan lapar dari makan dan lapar dari maksiat.

Kedua, dilihat dari aspek sosial, terjadinya sebuah persatuan, kesatuan, kedisiplinan, keadilan, persamaan, serta kasih sayang dan pembentukan moralitas di tengah masyarakat. Hal ini merupakan refleksi dari berpuasa dimana kaum muslimin merasakan haus, lapar, dan kenyang bersama-sama. Tidak ada diskriminasi antara si kaya atau si miskin, antara kaum elit ataupun kaum alit, semuanya dalam tata atur yang sama.

Ketiga, aspek kesehatan. Sebagian ahli medis berkebangsaan Eropa mengatakan bahwa puasa satu bulan di bulan Ramadhan membersihkan endapan-endapan yang sudah tidak berfungsi lagi di dalam tubuh selama rentan waktu satu tahun yang telah dilalui. Di samping itu, puasa juga dapat memperlancar pencernaan, mengurangi berat badan dan membakar sisa-sisa lemak serta beberapa fungsi kesehatan lainnya. Jauh hari sebelumnya, Rasulullah sudah mewanti-wanti terapi ini dalam sebuah Hadits yang telah diriwayatkan Abu Hurairah:
صوموا تصحوا
"Berpuasalah kamu, niscaya akan sehat" (Al-Jâmi’ Ash-Shaghîr Juz II, 45)
Dan sampai hari ini, kewajiban itu terus berkelanjutan. Tak akan diubah. Tapi, ada juga sebagian orang yang diperbolehkan tidak menunaikan puasa Ramadhan. Siapa saja mereka? Untuk menjawabnya, kita harus mengetahui syarat-syarat wajib puasa, maka kita juga akan tahu siapa yang tidak diwajibkan berpuasa, dan siapa yang boleh tidak melaksanakannya. Syarat wajib itu adalah : [1] Islam, walaupun Islamnya di waktu yang telah lampau (murtad). Syarat pertama ini mengecualikan orang kafir. Mereka tidak wajib puasa. [2] Mukallaf (aqil dan baligh). Syarat ini menjadikan orang gila, dan anak kecil (shobiy) tidak wajib berpuasa. [3] Ithâqah (mampu berpuasa), orang-orang yang tidak mampu berpuasa, berarti dia tidak wajib melaksanakannya. Seperti karena sakit yang parah, atau sebab terlalu renta.[4] Sehat, yaitu keadaan tidak sakit yang sampai memperbolehkan melakukan tayammum. [5] Iqamah (menetap), berarti bagi orang yang bepergian (musafir) yang diperbolehkan qashar sholat juga diperbolehkan tidak berpuasa. (Kasyifah as-Saja: 116, Raudhah at-Thalibin, I, 274)

Adapun dalil al-Qur’an tentang orang-orang yang diperbolehkan tidak berpuasa di antaraya terdapat pada surat al-Baqarah 185:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkanya itu pada hari yang lain."
Setelah kita tahu orang-orang yang terkena kewajiban puasa dan tidak berkewajiban, ternyata realitas di masyarakat tidak sedikit orang yang berkewajiban puasa masih saja tidak melakukan puasa. Di samping itu, masih ada penjual makanan yang menjual dan menyediakan makanan untuk mereka di siang hari. Padahal di negeri kita ini masyarakat muslim adalah mayoritas. Lantas bagaimana hukum menjual makanan siap saji di siang hari bulan Ramadhan?

Jawabnya, ketika pembeli adalah orang-orang yang wajib berpuasa, maka kita hendaknya bertanya pada hati (misalnya kita sebagai penjual). Jika kita yakin (kepastian kebenarannya100%) atau menduga (kepastian kebenarannya 75%) bahwa makanan yang kita jual itu akan dimakan di siang hari itu juga maka hukumnya haram. Apalagi kalau mereka makan di tempat, maka lebih jelas keharamannya.
Dan jika wahm (kepastian kebenarannya 25%) maka hukumnya makruh.

Masalah ini sama halnya dengan orang yang menjual anggur untuk dibuat arak, menjual ayam untuk disabung, menjual pedang untuk membunuh orang, menjual kayu untuk dibuat alat musik (malahi). Hukumnya sama seperti tadi jika yakin atau dugaan maka haram menjual kepada mereka dan jika hanya wahm, maka hukumnya makruh. Namun jual beli antara kedua pihak tersebut tetap sah, walaupun ada unsur haram atau makruh (Tuhfah at-Thullab, 65)

Hukum keharaman ini lantaran si penjual memfasilitasi dan rela dengan adanya kemaksiatan. Padahal rela terhadap kemaksiatan merupakan maksiat. Terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan mengenai hal ini. Kisah yang menjadi sebab turunnya beberapa ayat itu ialah, suatu hari orang-orang musyrik berkumpul di suatu majelis dan mereka membicarakan serta mengolok-olok al-Quran, lalu turunlah ayat:
وَإِذَا رَأَيْتَ الذين يَخُوضُونَ فِى ءاياتنا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حتى يَخُوضُواْ فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِ
"Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka, sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain". (QS. al-An'am, 68)

Ayat ini diturunkan di kota makkah. Dan pada waktu yang sama para uskup/pendeta Madinah juga melakukan hal serupa. Padahal orang-orang yang berbincang bersama mereka adalah orang-orang munafik (Islam). Maka Allah menurunkan ayat lagi:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir) maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kau berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka. (QS.An-Nisa' : 140)

Di dalam ayat tersebut Allah melarang ikut serta duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok al-Qur’an, karena jika ikut duduk bersama mereka, maka kita juga dihukumi sama dengan mereka.Para ulama berpendapat, ayat ini menandakan bahwa orang yang ridha terhadap kekufuran berarti kufur. Dan orang yang mengetahui kemunkaran serta dia masih berkumpul bersama orang-orang yang melakukan kemunkaran itu, maka dia termasuk golongan mereka. Hal ini terjadi jika orang tersebut duduk dengan santainya, tanpa ada rasa penolakan sedikitpun. Tapi jika situasinya berbeda (masih ada rasa penolakan dalam dirinya), maka hukumnya berbeda lagi. (Tafsir ar-Razy, V, 415)

Jadi, jika menjual makanan di siang hari bulan Ramadhan diharamkan, lalu bagaimana solusi bagi orang yang profesinya menjual makanan di siang hari? Ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan. Di antaranya, mengganti barang dagangan, misalnya menjual makanan mentah atau komoditas lain, memindah waktu berjualan, misalnya menjelang maghrib atau malam hari, atau jauh-jauh hari sudah menyiapkan tabungan yang dapat dipakai selama bulan Ramadhan, sehingga ia tidak perlu berjualan makanan pada bulan Ramadhan.

Dan bagi mereka yang tidak ada udzur namun tidak puasa, maka renungkanlah hadits Rasulullah ini, "Puasa satu hari di bulan Ramadhan tidak dapat ditandingi dengan puasa satu tahun yang bukan di bulan Ramadhan". Serta hadits qudsy, “Puasa adalah untuk-Ku (Allah) dan Aku (Allah) yang akan memberi pahala”. (Shahih Bukhari, VII, 27) [elfa]

Jumat, 22 Juli 2011

PESONA MALAM NISFU SYA'BAN


Bulan Rajab sebagai bulan Allah SWT, sangat cocok untuk bertaubat dan banyak melakukan amal sholeh, sementara bulan Sya'ban sangat baik untuk memperbanyak membaca sholawat kepada Rasulullah karena bulan Sya'ban ini dikhususkan sebagai bulan Nabi Muhammad SAW.

Bulan Rajab tak lain sebagai pembersih jasad atau raga. Sedang bulan Sya'ban merupakan pembersih hati atau kalbu, dan bulan Ramadan berfungsi membersihkan ruh atau jiwa. Yahya bin Mu'adz menjelaskan bulan Sya'ban terdiri atas lima huruf. Setiap huruf diperuntukkan bagi orang-orang mukmin. Huruf pertama, Syin, berarti syaraf (kemuliaan) dan syafa'at (pertolongan). A'in berarti 'izzah (kemenangan), Ba' berarti birr (kebaikan), Alif berarti ulfah (persatuan), dan Nun berarti nur (cahaya).

Bulan Sya'ban adalah bulan ke delapan dalam perhitungan tahun hijriyyah. Kata Sya'ban berasal dari kata "Syi'ab", yang berarti jalan di atas gunung. Disebut Sya'ban karena pada bulan tersebut ditemukan berbagai jalan untuk mencapai kebaikan.
Salah satu hal penting dalam bulan Sya'ban adalah adanya malam Nisfu Sya'ban atau malam pertengahan bulan Sya'ban (15 Sya'ban). Hari itu dianggap penting pada saat itu catatan amal perbuatan manusia yang selalu dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid dilaporkan kepad Allah Swt. Di samping itu pada malam Nisfu Sya'ban turun kebaikan-kebaikan berupa syafa'at (pertolongan), maghfiroh (ampunan), pembebasan azab (siksa) dan sebagainya. Oleh karenanya banyak yang menyebut bahwa malam Nisfu Sya'ban sebagai malam syafa'at, malam maghfiroh, dan malam pembebasan.

Terkait dengan penyebutan malam syafa'at, Al Ghazali menyatakan, pada malam ketiga belas Sya'ban Allah SWT memberikan kepada hamba-hambanya sepertiga syafa'at, pada malam ke empat belas diberikan seperdua syafaat dan pada malam ke lima belas diberikan syafaat secara penuh.

Disebut malam maghfiroh karena pada malam itu Allah SWT menurunkan ampunan kepada segenap penduduk bumi. Dalam sabda Nabi disebutkan: "Tatkala datang malam Nisfu Sya'ban Allah memberi ampunannya kepada penduduk bumi, kecuali bagi orang-orang yang syirik dan berpaling padanya" (HR Ahmad).

Begitu pula dinamakan malam pembebasan karena pada malam itu Allah membebaskan manusia dari siksaan neraka. Sabda Nabi dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishak dari Anas ibn Malik. "Wahai Humaira' (A'isyah) apa yang engkau perbuat pada malam ini? Malam ini adalah malam Nisfu Sya'ban dimana Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung memberikan kebebasan dari neraka laksana banyaknya bulu kambing Bani Kalb, kecuali enam orang. Orang yang tak berhenti minum arak (khamr), orang yang mencerca kedua orang tua, orang yang membangun tempat maksiat (zina), orang yang suka menaikkan harga (secara aniaya), petugas cukai (yang tidak jujur), dan tukang fitnah."

Oleh karena itu sangat besar pahalanya orang yang memperbanyak amal-amal perbuatan yang baik pada malam itu. Salah satu amal yang bisa dilakukan pada malam Nisfu Sya'ban adalah shalat sunnah 100 rakaat (shalat Nisfu Sya'ban). Namun begitu sebagian ulama, seperti Imam Nawawi dalam kitabnya al Majmu' Syarah al Muhadzdzab, tidak sependapat dengan adanya Shalat Nisfu Sya'ban tersebut, karena dipandang hadis-hadis yang meriwayatkan tentang shalat tersebut hadis maudhu' (palsu). Oleh karenanya untuk menjembatani adanya perselisihan tersebut maka sebagain ulama lain berpendapat shalat di waku malam Nisfu Sya'ban diniatkan sebagai shalat sunnah muthlaq yang tidak terikat jumlah rakaatnya.

Yang masyhur di kalangan masyarakat, amalan yang dilaksanakan pada malam Nisfu Sya'ban sebagaimana juga dilaksanakan oleh ulama-ulama terdahulu adalah dengan membaca surat Yasin tiga kali, dengan niat, pertama, dipanjangkan usianya untuk beribadah dan beramal kepada Allah, kedua, supaya diberi keluasan Rizki yang banyak dan barakah, dan ketiga di akhir hayatnya mendapat husnul khotimah (Akhir yang baik).

Penulis: Nur Amin Abdurrahman
Ustad Ma'had Qudsiyyah Kudus dan Ustad Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Qudsiyyah Kudus.

Dimuat di "Cermin Hati" Radar Kudus Jawa Pos, Edisi Jum'at 22 Juli 2011

Jumat, 17 Juni 2011

SPIRIT PERDAMAIAN DAN KEADILAN BULAN RAJAB

Oleh : Taufiq Aulia Rahman, M.H.I


Telah ditegaskan di dalam Al-Qur'an bahwa jumlah bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan. Empat di antaranya merupakan bulan-bulan mulia, sebagaimana tertuang dalam firman Allah subhanahu wata’ala, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (At-Taubah [9] : 36).

Sebagai penjelas ayat ini terdapat sebuah hadits riwayat dari Abi Bakrah bahwa Nabi Shallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya masa berputar sebagaimana keadaan sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Empat di antaranya merupakan bulan haram. Yang tiga bulan berurutan, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Dan satu lagi bulan Rajab Mudhar, antara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari [2958]). Dari hadits ini telah jelas bahwa bulan haram yang dimaksud di dalam ayat di atas ialah keempat bulan tersebut. Sedangkan bulan yang paling utama dari keempatnya ialah bulan Rajab menurut sebagian ulama Syafi’iyah. Meskipun ada ulama lain yang memperselisihkannya.

Kebetulan kita sekarang tengah memasuki bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah. Sebagai hamba Allah tentunya kita juga harus memuliakan bulan ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat dimanifestasikan dengan perbuatan yang bersifat ritual transendental maupun kegiatan-kegiatan sosial. Orientasinya, mengisi bulan ini dengan hal-hal yang bersifat positif dan menjauhi segala bentuk kegiatan yang kontradiksi dengan kemuliaan bulan ini.

Bulan-bulan ini disebut bulan haram (mulia) berdasarkan dua hal; Pertama, pada bulan-bulan ini dilarang melakukan peperangan. Walaupun sebagian ulama berpendapat bahwa larangan perang di bulan haram ini telah di-nasakh. Hal ini juga menjadi tradisi di kalangan orang-orang jahiliyah zaman dulu. Mereka senantiasa menghentikan peperangan ketika memasuki bulan-bulan haram. Makanya, bulan Rajab disebut pula dengan Rajab ‘Al-Asham’ yang artinya tuli lantaran pada saat bulan Rajab, orang-orang jahiliyyah menanggalkan senjata mereka. Tidak ada peperangan dan tidak terdengar sedikit pun suara gemerincing pedang pada bulan tersebut. Ini berarti bulan-bulan haram, khususnya bulan Rajab merupakan bulan perdamaian dan lepas dari pertikaian.

Kedua, sebagaimana disebutkan di dalam ayat di atas, bahwa Allah melarang manusia berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram. Hal ini bukan berarti kita boleh melakukan keharaman pada bulan-bulan lainnya, tetapi pada bulan-bulan haram ini larangan melakukan kemaksiatan lebih ditekankan. Demikian pula pada bulan-bulan ini manusia lebih diperintah untuk melakukan ketaatan. Hal ini dikarenakan setiap perbuatan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan ini akan dilipatgandakan.

Sebaliknya, jika berbuat baik pada bulan ini, maka pahalanya juga dilipatgandakan. Sebab, jika Allah telah mengagungkan sesuatu, maka kemuliaannya pun berlipat ganda, sehingga jika seseorang melakukan kemaksiatan di dalamnya, maka dosanya akan dilipatgandakan sebagaimana jika melakukan amal saleh, maka pahalanya pun dilipatgandakan. Hal ini senada dengan orang yang melakukan amal kebaikan di tanah haram, maka pahalanya pun lebih banyak dari pada beribadah di selain tanah haram. Hal ini berarti pada bulan ini kita harus lebih menahan diri dari melakukan berbagai bentuk kezaliman, baik berbuat zalim pada diri sendiri maupun kepada orang lain. Perbuatan zalim merupakan kontradiksi dari keadilan. Sehingga, secara tersirat pada bulan ini terdapat perintah untuk menegakkan keadilan. Dari dua hal ini, dapat dipetik kesimpulan bahwa bulan haram khususnya bulan Rajab memberikan spirit perdamaian dan keadilan.

Mengingat fenomena yang dialami bangsa kita akhir-akhir ini selalu dipenuhi dengan berbagai konflik dan pertikaian. Baik pertikaian antar warga, antar kelompok, antar aliran, bahkan antar rakyat dengan aparat keamanan, atau pertikaian antar elite politik. Tidak jarang pula pertikaian ini pun menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Konflik dan pertikaian ini seakan-akan tidak pernah habis. Selesai satu, tumbuh yang lain lagi dan begitu seterusnya. Makanya, datangnya bulan mulia ini seyogyanya kita jadikan sebagai momentum untuk memelihara perdamaian dan menghentikan pertikaian dan segala bentuk kekerasan. Segala permasalahan yang menghimpit bangsa ini hendaknya diselesaikan dengan cara yang damai dan dialogis tanpa menggunakan kekerasan.

Di sisi lain, kezaliman dan ketidakadilan di bumi pertiwi ini sudah menjadi hal yang lumrah. Sebaliknya keadilan justru menjadi barang langka. Yang benar dipersalahkan, yang salah dibebaskan, yang jujur dicemooh, yang berbohong justru disanjung-sanjung. Kezaliman ini telah merambah ke semua level dan lini masyarakat, mulai dari penentu kebijakan, pembuat undang-undang, maupun penegak hukum. Misalnya, tidak sedikit kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada penguasa dan orang-orang berduit yang justru menggencet rakyat lemah, korupsi semakin merajalela, orang-orang yang menilap uang rakyat miliaran rupiah dengan bebas dapat melenggang ke luar negeri, sementara rakyat kecil yang hanya mencuri sebuah semangka atau beberapa gelintir kakao harus mendekam di penjara. Masih banyak kasus-kasus lain yang merupakan bentuk kezaliman di negeri ini. Bulan Rajab ini hendaknya dapat dijadikan momentum untuk memerangi segala bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Sehingga, keadilan di negeri tercinta ini tidak hanya menjadi angan-angan kosong.

Oleh karena itu, berangkat dari spirit yang dibawa oleh bulan Rajab ini, marilah kita secara bersama-sama memupuk persaudaraan dan perdamaian, menghindari segala bentuk kezaliman dan menegakkan keadilan serta mengisinya dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang positif untuk kemasalahatan diri kita sendiri dan masyarakat pada umumnya dengan memperbanyak melakukan amal saleh, misalnya berpuasa, berzikir, dan berdoa. Ingat bahwa dosa dan pahala dilipatgandakan pada bulan mulia ini.

Penulis adalah: Musyrif (Ustadz Pembimbing) Ma'had Qudsiyyah Menara Kudus
Tulisan ini dimuat di KOLOM JUM'AT Harian Radar Kudus Jawa Pos, Edisi Jum'at 17 Juni 2011

Rabu, 15 Juni 2011

JALAN-JALAN ALA MA’HAD QUDSIYYAH

Liburan madrasah kali ini benar-benar dimanfaatkan betul bagi para santri Ma’had Qudsiyyah untuk terus belajar. Tapi kali ini beda. Pembelajaran kali ini dilaksanakan di luar kelas. Setelah sehari sebelumnya melakukan studi keredaksian di kantor harian Radar Kudus, Rabu (15/6/2011), para santri ini melakukan kunjungan ke beberapa tempat usaha.







Sekitar tiga puluh santri Ma’had Qudsiyyah melakukan kunjungan ke usaha sablon milik bapak Rosyidi, Lemah Gunung, Bakalan Krapyak, Kaliwungu Kudus, sekitar satu kilometer sebelah utara Ma’had Qudsiyyah. Di tempat tersebut para santri langsung belajar mengenal peralatan sablon, serta bahan-bahan sablon.


Dengan bimbingan langsung dari pemilik usaha Rosyidi, para santri dengan antusias melihat dari dekat proses pembuatan sablon. Sekitar tiga jam lebih para santri mengamati langsung serta diberikan teori-teori dasar tentang sablon dan pewarnaan dari ustad Aries Urianto.


Usai kunjungan dari pengusaha sablon, perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi usaha percetakan Arjuna Barokah, sekitar setengah kilometer arah selatan dari lokasi Ma’had. Di tempat tersebut para santri meoihat langusng proses percetakan, mulai dari peralatannya, mesin-mesinnya, hingga hasil yang telah jadi maupun setangah jadi. Para sanri juga diperkenalkan dengan bahan percetakan serta proses percetakan yang cukup rumit. Jadi, dalam kunjungan tersebut diharapkan para santri Ma’had Qudsiyyah mengenal lebih dekat usaha percetakan serta usaha sablon.



Meski dengan berjalan kaki, para santri tetap semangat menapaki jalan pulang menuju pemondokan di lingkungan Ma’had. Apalagi dalam perjalanan pulang tersebut, para santri sempat berunjung juga ke galeri Creativelabs, yang berada tepat di sebelah selatan perempatan Jember. Di tempat tersebut, para santri melihat langung kerajian-kerajian serta hasil karya budaya Kudus, seperti Batik Kudus lukisan, kerajinan tangan, desain-desain gambar khas kota Kudus dan lain sebagainya. Dalam kesempatan tersebut, salah satu pemilik galeri, Maesah Anggni juga sempat memberikan penjelasan kepada para santri tentang karya-karya yang dipajang pada galeri tersebut.(*)

SANTRI MA’HAD "NGAJI" KEREDAKSIAN DI RADAR KUDUS


Memanfaatkan waktu liburan panjang madrasah, santri-santri Ma’had Qudsiyyah melakukan berbagai kegiatan. Diantaranya adalah studi keredaksian di kantor Radar Kudus Jawa Pos. Kegiatan yang diikuti sekitar 30 santri tersebut dilaksanakan pada Selasa malam (14/6/2011).

Para santri yang mayoritas mengenakan sarung, baju koko dan berpeci ini diterima baik oleh GM Radar Kudus, Ganang Rosyidi serta Pimred Radar Kudus, Djoko Edi Suryono. Di hadapan para santri, GM Radar Kudus tersebut meminta pada para santri untuk tetap semangat dan optimis menghadapi kemajuan zaman. “Santri tidak identik dengan katrok dan ketinggalan zaman, santri telah membuktikan diri mampu menghadapi apapun,” ungkap Ganang yang merupakan alumni salah satu pesantren di kota ukir, Jepara.


“Gusdur telah jadi Presiden, Mahfud MD jadi ketua MK, mereka adalah alumni pesantren, dan seorang Ganang yang alumni pesantren juga bisa menjadi pemimpin media massa,” ungkapnya kepada seluruh santri dengan humor khas pesantren.
Diakuinya, kunjungan para pelajar SMA sederajat atau pelajar SMP sederajat ke kantor Radar Kudus memang telah sering dilakukan, tetapi kunjungan para santri dari pesantren baru kali ini terjadi. Hal ini diapresiasi dengan cukup baik. Bahkan, direncanakan media yang terbit di Pantura ini bakal memberikan halaman khusus bagi karya para santri, yang tentu saja bakal melibatkan Ma’had Qudsiyyah serta pesantren-pesantren lain di kota Kudus, Jepara, Pati, Rembang, dan Purwodadi.

Sedang Pimred Radar Kudus menekankan kepada para santri untuk selalu belajar membaca dan menulis. Ia menegaskan dalam agama Islam, wahyu ilahi yang muncul pertama kali kepada Nabi Muhammad tak lain adah tentang Iqra’ yang tidak hanya bermakna membaca an sich tetapi juga bermakna membaca dan kemudian dilanjutkan degan menulis.


Dalam acara tersebut para santri juga belajar langsung kepada para wartawan serta para redaktur serta layouter yang sedang mengerjakan tugas untuk penerbitan Radar Kudus esok harinya. Para santri, selain berkesempatan melihat langsung proses penulisan dan editing berita, juga dapat dengan leluasa bertanya kepada para wartawan dan redaktur yang sedang bertugas. Selain itu mereka juga berkesempatan melihat langsung penataan halaman serta perwajahan halaman yang akan terbit keesokan harinya. (*)

Jumat, 10 Juni 2011

IMPLAN SILIKON, SIAPA TAKUT?

Hidup di zaman modern memang gampang-gampang sulit. Berbagai jenis teknologi mampu menguasai dunia. Begitu cepat zaman berubah, dari zaman era sandal jepit kini menjadi era komputer, era telephon ataupun era robot sehingga sangat membantu manusia dalam menjinakkan masalah yang dihadapi manusia.

Belum lama ini, teknologi telah menawarkan alat mutakhir dalam bidang kedokteran yang dapat mengubah atau memperindah tubuh seseorang dengan cara operasi. Seperti operasi khusus mempercantik wajah agar lebih sedap dipandang, operasi selaput dara untuk mengembalikan keperawanan, operasi ganti kelamin, dan semacamnya.

Tidak sedikit orang yang sukses menjalankan operasi. Katakanlah, Malinda Dee, seorang penggelap uang milyaran rupiah, memasang silikon di dalam payudaranya, Dewi Persik, baru-baru ini diberitakan operasi selaput dara. Entahlah apa motifnya, mungkin agar bisa tampil dengan casing baru, atau dengan alasan-alasan lain. Dan ternyata masih banyak contoh lain. Yang jelas, motif mereka untuk melakukan hal itu tentu berbeda-beda, sesuai dengan yang mereka butuhkan.

Maka dari itu, bagaimana fiqh menanggapi fenomena ini?
Sebelumnya kita bisa berangkat dari sebuah ayat:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آَذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Dan aku (setan) benar-benar akan menyesatkan mereka dan akan membangkitkan angan-angan kosong mereka dan akan menyuruh mereka (memotong teliga-telinga binatang ternak) lalu mereka benar-benar memotongnya dan aku akan perintah mereka (mengubah ciptaan Allah) lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barang siapa menjadikan setan pelindung selain Allah maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.(QS. an-Nisa': 119)

Kita bisa petik dari cuplikan ayat tadi sebuah kalimat falayughayyirunna khalqallah. Ada dua tafsiran mengenai kalimat tadi. Pertama, mengubah ciptaan Allah, artinya mengubah agama (ad-din) Allah. Bisa jadi mengubah agama Allah di sini adalah perubahan agama secara total, atau dalam arti ganti kelir (murtad), atau juga diartikan menghalalkan barang haram dan sebaliknya mengharamkan barang halal. Jika berangkat dari tafsiran ini –khalqullah diartikan diinullah--jelas tidak akan ada hubungannya dengan pembahasan ini.

Sedang tafsiran yang kedua ialah, mengubah ciptaan Allah berupa anggota luar tubuh manusia atau sifat-sifat dasar manusia seperti mengebiri, membutakan mata dan memotong telinga.(Tafsir an-Naisaaburiy, III, 79, al-Bahr al-Mukhith, IV, 282)

Dari sinilah kita mulai pembahasan. Banyak ulama-ulama yang mengutarakan pendapatnya tentang taghayyur ini. Salah satunya ialah Abu Ja'far at-Thabari. Ia mengatakan bahwa tidak boleh mengubah suatu yang diciptakan Allah pada seseorang dengan menambah atau mengurangi. Contoh, jika ada seseorang yang mempunyai anggota tubuh yang lebih banyak dari normalnya maka dia tidak diperbolehkan memotongnya, karena termasuk taghyiiru khalqillah (mengubah ciptaan Allah). Atau juga dia mempunyai gigi yang terlalu panjang maka tidak boleh memendekkannya. Tapi al-Qadli 'Iyadl menambahi bahwa pemotongan tersebut hukumnya boleh jika kelebihan anggota tadi membebani padanya. Juga ada yang mengatakan bahwa taghyir di sini bukanlah mengubah yang bersifat selamanya. Apabila perubahan itu bersifat sementara seperti eyeliner (celak) atau kosmetik lain maka diperbolehkan menurut Imam Malik dan ulama-ulama lain. (Nailul Author, X, 156)

Dalam kitab Fatawa al-Azhar diceritakan, seseorang mempunyai anak yang di tangannya ada jari tambahan. Dia membiarkannya sampai usia 5 tahun. Pada saat itu dia melihat anaknya dicemooh oleh teman-temannya. Karena tangannya yang tidak normal. Lalu dia menanyakannya, apakah jika aku memotong jari itu hukumnya haram? Jawabannya tidak. Karena menghilangkan semacam jari atau gigi tambahan itu bukan termasuk taghyir yang diterangakan ayat tadi melainkan yang dimaksud adalah taghyir yang bermotif memperindah atau mempercantik ciptaan Allah. (Fatawa al-Azhar, X, 268)

Lalu bagaimana dengan Hadits Nabi yang melarang membuat tato dan menyambung rambut?
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
Allah melaknati perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan rambutnya dan perempuan pembuat tato dan yang minta dibuatkan tato.(HR. Imam Bukhari. Hadits Shahih)

Hadits ini sudah jelas melarang orang yang memasang rambut dan membuat tato. Jelas di dalamnya ada bentuk taghyir dalam mengubah warna kulit. Adapun menyambung rambut bukan termasuk taghyir. Tetapi di dalamnya ada komponen berupa tadlis (pemalsuan) dan gharar (penipuan). Perbuatan ini juga bisa menarik ke perbuatan zina. Hal ini kelihatan indah, tapi kenyataanya, tidak seindah dlahirnya. Bagai buah kedondong, kulitnya mulus, namun isinya berduri.

Ada juga lho, perubahan yang tidak termasuk dalam taghyir (diperbolehkan oleh Allah secara nash), yaitu khitan, memotong rambut, memotong kuku, dan pelubangan telinga bagi wanita. perubahan ini diperbolehkan karena memiliki faedah tersendiri. Yang pertama khitan yang berfaedah di bidang kedokteran, yaitu mengantisipasi datangnya penyakit yang disebabkan berkumpulnya kotoran-kotoran atau najis-najis di khasyafah (kulup), mengurangi syahwat, dll.

Sedangkan memotong rambut untuk mengurangi resiko bahaya dan penyakit. Dan memotong kuku agar memudahkan pekerjaan yang menggunakan tangan. Misalnya mengangkat benda-benda, maka akan menjadi sulit jika di jarinya tumbuh kuku yang panjang. Faedah potong kuku yang lain ialah merupakan salah satu upaya menghindari penyakit. Dan pelubangan telinga untuk wanita yang dipergunakan sebagai pemasangan anting dan berhias. (at-Tahrir Wa at-Tanwir, IV, 258)

Ada pengecualian dalam taghyir, yaitu jika taghyir tersebut bertujuan untuk pengobatan suatu penyakit, maka hukumnya tidak haram. (Nailul Author, X, 156)
Sekarang bagaimana dengan pemasangan silikon?

Silikon adalah polimer non organik yang bervariasi, dari cairan, gel, karet, hingga sejenis plastik keras. Beberapa karakteristik silikon antara lain tak berbau, tak berwarna, kedap air serta tak rusak akibat bahan kimia dan proses oksidasi, tahan dalam suhu tinggi serta tidak dapat meghantarkan listrik. Dalm dunia kedokteran modern, silikon dikategorikan sebagai bahan terbaik untuk melakukan perbaikan bagian tubuh, karena penolakan jaringan tubuh terhadap silikon tergolong rendah.

Pemasangan silikon, baik di hidung, bibir, payudara, atau anggota tubuh lain termasuk dalam kategori taghyir. Karena itu hukumnya diharamkan jika memang hanya diniatkan untuk membuat tambahnya sensualitas tubuh. Sedang jika memiliki tujuan lain seperti yang tersurat di atas, maka diperbolehkan.

Jadi, hukum taghyir tersebut tergantung dengan tujuan si pelakunya. Jika taghyir tersebut bertujuan untuk hal yang berfaedah seperti halnya pengobatan atau mengembalikan ciptaan Allah ke normalnya maka hal itu diperbolehkan. Tapi jika hanya untuk memoles tubuh saja agar bisa dipamerkan maka itu tidak diperbolehkan. Apalagi sampai mengubah fitrah manusia, yang asalnya perempuan diubah menjadi laki-laki, atau sebaliknya, laki-laki diubah menjadi perempuan. [eLFa]

Sabtu, 04 Juni 2011

GRATIFIKASI, HIBAH ATAU SUAP?

Lebih dari sepuluh tahun Reformasi, bangsa ini belum mampu tuntas memerangi KKN. Bahkan disinyalir semakin hari, penyakit yang merongrong negeri ini kian tumbuh varian-varian serta model baru. Publik pasti terus mendengar kasus korupsi yang menjerat pejabat publik negeri ini. Belum tuntas satu kasus yang menerpa satu pejabat, muncul kasus lain, muncul "gaya" baru dalam kasus tersebut.

Tak hanya korupsi, suap pun disinyalir terus bermetamorfosis dengan sebutan-sebutan anyar. Apakah itu uang hibah, hadiah, bahkan uang persahabatan. Untuk sebutan paling akhir ini, publik pasti masih terngiang-ngiang ulah M Nazaruddin yang meninggalkan segepok uang dalam amplop pada Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK), Janedjri M Gaffar. Tak mau kesandung masalah, lembaga yang dipimpin Mahfud MD itupun langsung mengembalikan uang tersebut kepada Nazaruddin.
Mahfudz menyatakan, uang tersebut bukan termasuk dari suap, tetapi masuk dalam lingkup gratifikasi. Karena, pada saat itu Nazaruddin tidak punya perkara/kasus apapun dengannya.

Hemm, lalu, bagaimana pandangan fiqh tentang hal ini ?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) gratifikasi ialah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Dalam konsep fiqh, segala macam pemberian disebut ‘athiyah. Sedang ‘athiyah itu ada beberapa macam, yakni shadaqah, hadiah, dan hibah.

Shadaqoh ialah pemberian yang bertujuan untuk mendapatkan pahala. Dalam hal ini pemberian tersebut dimaksudkan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan sebagai penghormatan atau penghargaan atas prestasi seseorang. Baik bertujuan untuk mendapatkan pahala atau tidak. Bisa juga penghormatan ini dikarenakan penghormatan atas ilmu atau nasab yang dimilikinya. Sedangkan Hibah adalah pemberian kepada seseorang tanpa tendensi (tujuan) apapun. Jadi, hibah lebih umum dibandingkan dengan shadaqah dan hadiah. Baik shadaqah maupun hadiah, keduanya termasuk dalam kategori hibah, tapi tidak bisa diartikan sebaliknya. Adapun hukum semua pemberian di atas adalah sunnah. (Raudlah al-Thalibin Wa Umdah al-Muftin, IV, 132, Hasyiyah al-Jamal, XV, 60).

Namun begitu ternyata ada juga pemberian yang diharamkan yakni risywah (suap). Risywah adalah menyerahkan sesuatu kepada seseorang -baik hakim dan yang lain (pemegang keputusan)-, agar memberi sebuah keputusan atau agar si penerima melakukan sesuatu secara tidak benar sesuai dengan kehendak si pemberi demi kepentingan individu, kelompok, maupun golongan lain.
Dalam hal ini, baik orang yang memberi suap maupun orang yang menerima suap hukumnya haram seperti dalam hadits,
لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم . رواه ابن حبان وغيره وصححه
Allah melaknati orang yang meyuap dan yang disuap yang banyak terjadi pada masalah hukum

Beda lagi kasusnya, bila pemberian itu dimaksudkan agar si penerima memberi keputusan secara adil dan benar, maka dalam hal hukumnya dirinci. Bagi si pemberi diperbolehkan, tetapi bagi yang menerima hukumnya haram. (Asna al-Mathallib, XXII, 203, Fatawa as-Subkiy, I, 604-605).

Kemudian gratifikasi termasuk dalam kategori apa?
Secara umum gratifikasi masuk dalam kategori hibah, karena dalam hibah tidak ada maksud apapun di dalam pemberiannya. Akan tetapi bila pemberian (hadiah) kepada hakim atau pemegang kekuasaan, maka hukumnya dirinci. Dalam fiqh, pemegang kekuasaan sendiri terdiri dari 3 macam, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam konteks Indonesia, legislatif adalah mereka wakil rakyat mulai dari DPRD II Kabupaten, DPRD I Provinsi hingga DPR RI. Sedang eksekutif adalah Presiden, Menteri dan para aparatur negara mulai dari desa/kelurahan hingga pusat. Dan ketiga yudikatif yang dipegang oleh para hakim dalam memberikan keputusan hukum. Jadi, dalam persoalan hadiah ini, tidak hanya terbatas pada para hakim saja, tetapi menyangkut seluruh komponen pemegang kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif. (Al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, VIII, 6137)

Adapun hukum pemberian hadiah kepada pemegang kekuasaan adalah: Pertama, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang sedang mempunyai perkara, maka hal ini haram dikarenakan pemberian tersebut dapat membuat condongnya hati (memiliki tendensi) sang hakim kepada si pemberi.

Kedua, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang tidak mempunyai perkara, sedang biasanya orang tersebut tidak pernah memberi (ketika sebelum menjadi hakim), maka hukumnya haram. Tetapi dalam kitab al-Kifayah dirujuk dari kitab an Nihayah dan al Basith, mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh. Jika pemberian ini diharamkan, berarti si penerima tidak berhak menerima pemberian tersebut, sehingga ia harus mengembalikan kepada si pemberi, jika tidak memungkinkan, maka pemberian tersebut diserahkan ke baitul mal (kas Negara).

Ketiga, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seorang yang tidak memiliki perkara/kasus dan si pemberi memang biasa memberikan sesuatu kepada hakim atau pemegang kekuasaan sebelum menjadi pejabat, maka dalam hal ini hukumnya halal. Sedangkan hukum menerimanya adalah makruh dan lebih baik menolak/tidak menerimanya. Atau bisa juga si penerima menerimanya dan kemudian membalas pemberian tersebut, atau si penerima menerimanya kemudian pemberian tersebut dimasukkan ke dalam baitul mal, kas negara. (Asna al-Mathallib, XXII, 204)

Memang, semua pemberian itu rawan bila ditujukan bagi orang-orang yang memiliki jabatan. Kalau tidak hati-hati maka akan terjebak dalam kubangan risywah. Umar bin Abdul Aziz (W. 101 H), salah satu khalifah yang adil di masa Umayyah, mempunyai sikap kehati-hatian dalam menerima pemberian seseorang kepada dirinya. Dia bukannya tidak mau menerima hadiah, tapi ia masih harus berpikir ada maksud lain tidak dalam pemberian itu. Dia merasa ada yang tidak beres dalam pemberian tersebut. Dan itulah yang dilarang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu pemberian yang mempunyai kedudukan atau jabatan dengan tujuan agar dia bisa membantu si pemberi, untuk mencapai hal-hal yang tidak halal untuknya.

Umar bin Abdul Aziz dengan tegas berkata:
كانت الهدية في زمن رسول الله هدية واليوم رشوة
"Hadiah pada zaman Rasulullah masih (berfungsi) sebagai hadiah tapi pada saat ini (sudah berubah menjadi) suap."

Yang dimaksud hadiah di sini adalah hadiah kepada pejabat dan pegawai pemerintahan. (Shahih Bukhari, II, 916)

Maka menjadi logis kalau hadiah bagi pejabat sangatlah rawan. Karena akan bisa dijadikan kesempatan untuk meraih tujuan tertentu. Masalah gratifikasi ke pejabat sendiri sudah diatur dalam Undang-undang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyampaian laporan wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. KPK dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. Pelaporan gratifikasi ke KPK ini dilakukan dalam rangka menjaga martabat penerima dan pemberi jika memang perolehan dan pemberian gratifikasi tidak melanggar aturan hukum.

Akhirnya, sebagai rakyat, jangan terlalu mudah memberikan "hadiah" apapun terhadap para pegawai atau pejabat negara, baik itu ketika memiliki perkara atau tidak. Pelayanan serta tugas yang dijalankan para pejabat sudah menjadi kewajiban mereka selaku abdi Negara.

Di sisi lain, bagi para pejabat sudah menjadi kewajibannya melaporkan segala bentuk pemberian yang dialamatkan kepadanya kepada KPK. KPK akan memutuskan apakah pemberian tersebut daopat menjadi milik pejabat tersebut atau justru pemberian tersebut akan masuk dalam kas Negara.

Tetapi yang paling penting, baik dari rakyat maupun pejabat hendaknya sama-sama menyadari bahaya adanya "pemberian" yang berlebih tersebut. Hendaknya kedua belah pihak sama-sama menjaga diri dari godaan "setan" tersebut.

Kesadaran ini akan lebih mengena bila para pejabat yang berwenang (baik dalam penegakan hukum dan sebagainya) mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat. Tentu hal ini harus dimulai dari para pejabat untuk berbuat adil, menegakkan hukum tanpa pandang bulu dan anti menerima "pemberian" liar. Dengan sendirinya, rakyat akan segan dan bersama-sama memerangi suap dengan berbagai macam variannya. [eLFa]