Senin, 23 Mei 2011

IMAM(AH) ISLAM

Meskipun debat sekitar hubungan islam dengan Negara tampaknya ‘dimenangkan’ oleh kelompok yang menganggap islam tidak menentukan satu pola bernegara yang permanen, namun menyatakan bahwa islam sama sekali apriori terhadap persoalan kenegaraam adalah sikap yang tak kalah ahistoris. Ali abd raziq, yang ‘ngotot’ bahwa islam tidak mengatur masalah kenegaraan, pun masih harus mengakui bahwa nabi sendiri memang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan seorang kepala Negara.

Bila kita telusuri sejarah, memang kita harus mengakui bahwa islam sangat erat dengan persoalan-persoalan politik kenegaraan, sejak masa rasulullah saw. Ini karena masyarakat muslim tumbuh sebagai suatu masyarakat baru dengan membawa nilai-nilai yang baru pula. Al-qur’an sebagai sumber ajaran menuntun masyarakat bagaimana hubungan sosial (selain hubungan vertikal) seharusnya terjadi. Karena itu, persoalan masyarakat seperti pembiayaan sosial (zakat/pajak), hubungan dengan kalangan non-muslim, persoalan militer dan harta rampasan, perbudakan serta masalah lain-lain diatur (kadang-kadang sangat rinci) oleh islam.

Akan tetapi, persoalan kepemimpinan justru tidak mendapatkan penjelasan yang ‘seharusnya’, mengingat isu ini sangat penting dan rentan. Dan ini terbukti segera setelah nabi wafat. Selain perselisihan antara muhajirin dan anshar,juga muhajirin dengan pengikut ali (syi’atu ali). Kaum anshar berpendapat bahwa mereka lebih berhak atas kepemimpinan pasca nabi sementara kaum muhajirin berpedoman pada hadits ‘para imam berasal dari suku quraisy’. Namun keduanya mengartikan kepemimpinan ini terbatas pada kepemimpinan politik (dunia) semata. Sementara itu para pengikut ali memiliki konsep tersendiri mengenai masalah kepemimpinan ini yang meliputi pula kepemimpinan agama.( Islam Syi’ah; Ahmad Thabathaba’i)

Tulisan ini akan membahas mengenai persoalan kepemimpinan ini, khususnya istilah-istilah teknis yang digunakan, yaitu imam (imamah). term tersebut secara literal memiliki arti yang dekat, meski kemudian bisa berbeda sama sekali.
Secara bahasa, imamah berasal dari kata (أم-يؤم-القوم إمامة), “ia memimpin (menjadi pemuka) suatu kaum”. Imamah bararti ‘kepemimpinan’, sedang imam berasal dari kata (أأممة) yang berarti ‘pemimpin’, ‘orang yang mengatur kemaslahatan tertentu’, ‘pemimpin pasukan’, serta untuk oramg dengan fungsi serupa. Karena itulah pemimpin sholat disebut imam. Imam juga sering digunakan untuk orang alim yang ahli dalam masalah keagamaan, seperti imam ghazali, imam syafi’I, dan lain-lain. Bentuk jamaknya adalah (أئمة) dan dari kata ini pula lahir kata ‘ummat’ (أمة) untukmenunjukkan sekelompokmanusia. (Louis Mu’luf; al-Munjid Fi al-Lughat wa al-A’lam, Ibnu Manzhur;Lisan Al-Arab)

Dalam al-qur’an, kata ‘imamah’ tidak disebutkan secara eksplisit. Yang ada adalah kata ‘imam’ (seperti al-baqarah: 124) dan bentuk pluralnya, ‘aimmah’ (seperti al-anbiya: 73, al-taubat: 12). Pada ayat-ayat tersebut, kata imam memiliki arti yang umum, yakni pemimpin umat, baik secara moral (panutan) maupun pemimpin politik.
Dalam tradisi sunni, semula khalifah adalah imam Negara, yaitu pemimpin kenegaraan (duniawi). Khilafah berasal dari kata (الخلف) yang berarti ‘lawan depan’ (belakang). Sedangkan kata kerjanya adalah (خلف-يخلف-خلفة) yang berarti ‘datang kemudian’ (belakangan) dan menempati posisi orang yang sudah lebih dahulu. Meski tetap memiliki otoritas religius, namun otoritas khalifah/imam terbatas pada pelaksanaan hukum agama. Namun lama kelamaan makna ini mengalami pergeseran, terutama karena interpretasi dilakukan untuk menguatkan posisi mereka khilafah akhirnya dianggap suatu pemerintahan yang berdasarkan atas kedaulatan tuhan dan san khalifah pun dengan demikian sedikit banyak memiliki sifat kekudusan. Karena itu, beberapa ulama menyatakan bahwa seluruh dunia islam harus tunduk di bawah satu kekhilafan muslim khilafah akhirnya menjadi ‘urusan agama’ sementara interpretasi para para imam terhadap ajaran agama tidak memiliki keistimewaan apapun di hadapan penafsiran orang lain (ulama) yang bukan penguasa. Namun lama kelamaan makna ini mengalami pergeseran, terutama karena interpretasi dilakukan untuk menguatkan posisi mereka demikian halnya imamah sama artinya dengan khalifah, yakni kepemimpinan.

Namun, dalam pemahaman syi’i, imamah memiliki arti tersendiri, yakni bukan saja meliputi kepemimpinan duniawi, melainkan sampai pada masalah agama dan bahkan persoalan eskatologi sekalipun. Menurut mereka, seorang imam adalah pemimpin sejati (true leader) dalam komunitas muslim sepanjang masa. Dalam urusan agama, ia diyakini sebagai satu-satunya orang yang berhak menginterprestasikan dan menjelaskan ajaran al-qur’an dan al-hadits pada saat itu. Ia adalah pewaris yang membawa ‘cahaya muhammad’ dalam dirinya, dan dengan kapasitasnya sebagai imam, ia adalah satu-satunya orang yang memenuhi kualifikasi wilayah (kekuasaan) dan berhak mengisi otoritas tersebut. Seorang imam bahkan diyakini sebagai individu yang ma’shum.

Demikian halnya imamah memiliki arti khas pula, bahkan imamah identik dengan syi’ah. Penulis sendiri merasa kesulitan menemukan definisi imamah secara terminologis. Namun dapat dipastikan bahwa konsep imamah ini lahir dalam suasana yang tidak menguntungkan kelompok syi’i. Yaitu ketika abu bakar terpilih sebagai khlifah pertama di saqifah. Para sahabat ali yang menginginkan ali menjadi pemimpin merasa tidak puas oleh terpilihnya abu bakar. Ketidakpuasan itu, yang juga didorong oleh keinginan untuk mengangkat bani hasyim, semakin menjadi-jadi tatkala ali dan keturunannya diperlakukan sacara sewenang-wenang oleh penguasa bani umayyah yang secara licin memperdaya ali pada perang shiffin. Dalam situasi seperti inilah konsep imamah lahir dan berkembang secara pelan-pelan.

Di antara pemikiran syi’i yang pertama menguraikan masalah imaamah adalah syaikh al-shaduq (w. 381 H). menurutnya, para imam adalah waly al-amr, mereka adalah pintu dan jalan menuju allah. Posisi mereka adalah sebagai pengetahuan dan penafsir wahyu-Nya. Mereka adalah pilar tauhid, tidak pernah salah dan khilaf. Mereka bertindak atas perintah allah. Mencintai mereka merupakan bagian keimanan, sebaliknya membenci mereka termasuk kekufuran. Mereka adalah pemimpin baik lahir maupun batin.

Pemikir kontemporer syi’i kemudian berupaya merumuskan konsep imamah ini. Hakimi, salah satu dari mereka menyatakan bahwa imamah adalah “kelanjutan dari kepemimpinan nabi atas umat manusia setelah beliau wafat; kepemimpinan yang ditetapkan sendiri oleh beliau”. Sedangkan allamah thabathaba’i menyebut imamah (dan para imam) sebagai ‘sumber cahaya ilahi yang dengannya hati orang mukmin tercerahkan’.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara sunni dan syi’i dalam masalah imamah adalah pada cakupan otoritas serta orang yang berhak mendudukinya. Bila menurut sunni kepemimpinan hanya terbatas pada masalah-masalah dunia, maka imamah versi syi’i lebih luas jangkauannya. Demikian pula menurut syi’i jabatan imam adalah hak ali dan keturunannya (dengan fatimah), sementara sunni tidak menganggapnya demikian.

Akan tetapi, konsep imamah yang menjadi kekhasan aliran syi’i ini ironisnya justru menjadi penyebab utama terpecahnya sekte ini ke dalam sub-sub sekte yang beragam (Al-milal wa an-Nihal li al-Imam Muhammad Abdul Karim Al-Syahrastani).
Sekte terbesar dan masih bertahan hingga sekarang di negeri iran adalah syi’ah imamiyah atau itsna asysriyah. Imam pertama bagi sekte ini adalah ali bin abi tholib, yang menurut mereka, berdasarkan berita dari al-qur’an dan nabi Muhammad sendiri, sebagaimana akan kita bahas. Setelah itu, imam dipilih melalui penunjukan oleh imam sebelumnya. Imam selanjutnya (menurut sekte itsna asyariyyah) dalah hasan bin ali, husain bin ali, ali bin husain, Muhammad bin ali, ja’ar bin Muhammad, musa bin ja’far, ali bin musa, Muhammad bin ali (al-taqi), Muhammad bin ali (al-naqi), hasan bin Muhammad, dan Muhammad bin hasan (al-mahdi). Imam yang kedua belas ini diyakini telah menghilang sejak usia empat tahun (ghaibah sughro, minor occultation), namun ia diyakini masi berhubungan dengan empat wakilnya (nuwwab imam) sehingga para imam pengganti itu tetap memiliki legitimasi politis dan agama.
Setelah terjadi keghaiban besar (major occultation, ghaibah kubro), yakni dengan wafatnya imam pengganti ke empat, dan sambil menunggu datangnya Imam kedua belas (al-mahdi) inilah konsep imamah berkembang demikian rupa sehingga pada akhirnya terwujud dalam konsep wilayah al-faqih seperti yang kita saksikan di negeri iran saat ini.

Kondisi di atas berbeda dengan perkembangan yang terjadi di kalangan sunni. Terpilihnya abu bakar, umar dan usman jelas tidak didasarkan pada dalil-dalil agama, meski kepemimpinan mereka sendiri didasarkan pada dalil-dalil tersebut. Inilah sebabnya mengapa bai’at diperlukan dalam kasus kekhalifahan mereka ini dan mereka pun tidak memiliki otoritas untuk memonopoli penafsiran ajaran agama. Cara pengangkatan merekapun berbeda satu sama lainnya; suatu bukti bahwa masalah kepemimpinan dalam sunni berkembang lebih dinamik dan profane. Orang yang mengingkari mereka bukan dikatakan kafir, melainkan baghy (pembangkang, pemberontak).

oleh: M Nasirul Haq, Santri Ma'had Qudsiyyah
dimuat dalam buletin EL-WIJHAH Madrasah Qudsiyyah Edisi Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar