Selasa, 23 Agustus 2011

PUASA DAN BELENGGU SETAN

Umat Islam di seluruh dunia tengah menikmati indahnya bulan suci Ramadan. Dimana tiap tahun, Ramadan hadir, senantiasa disemarakkan dengan beragam seremonial keagamaan, mulai dari tarawih, tadarus Alqur'an, kuliah subuh, buka bersama, santuanan fakir miskin dan yatim piatu serta pegajian-pengajian selalu ramai digelar menghiasi hari-hari Ramadan.

Masjid dan surau selalu penuh tanpa ada shaf yang lekang. Bahkan tidak jarang para jama'ahnya berjubel dan berdesak-desakan. Semuanya seakan hanyut dalam kebesaran dan kemuliaan bulan ini. Hati mereka menyatu dalam kelezatan beribadah bulan Ramadan dengan tujuan merengkuh ridho-Nya.

Akan tetapi, pada sisi yang lain kita juga masih melihat beragam bentuk kemaksiatan yang dipertontonkan di masyarakat pada bulan suci ini. Minum-minuman keras, perjudian, pelacuran, pencurian, dan sebagainya. Mereka seolah tidak menghiraukan keuscian bulan Ramadan. Baginya, tidak ada bedanya dengan bulan-bulan yang lain. Kejahatan dan kemungkaran menjadi rutinitas yang tidak pernah bisa ditinggalkan dan telah menjadi bagian hidupnya. Melihat fenomena di atas nampaknya ada hal yang sangat paradoks.

Melirik pada kesucian dan kemuliaan Ramadan, mestinya, bulan ini tidak ternodai oleh hal-hal yang bernuansa kemungkaran, tapi kenyataan di lapangan sangat bertolak belakang padahal kita sering mendengar sebuah hadis Nabi yang berbunyi "Apabila Ramadan datang, niscaya pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu" (HR Bukhari Muslim). Lalu bagaimana konteks hadis itu dengan realita sekarang?

Memang secara sekilas hadis tersebut mengesankan bahwa seakan-akan pada bulan Ramadan tidak ditemukan kemaksiatan sama sekali, alasannya pintu surga telah dibuka, pintu neraka tertutup, sementara setan-setan telah dibelenggu. Akan tetapi, perlu pemahaman yang serius terhadap pemaknaan hadis ini.
Perbedaan pendapatpun tidak dapat terelakkan, sebagian ulama memahami hadis terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu neraka ialah makna sesungguhnya. Artinya, pada bulan Ramadan pintu surga dibuka lebar-lebar dan pintu neraka ditutup rapat-rapat. Pendapat ini, diunggulkan oleh Al Qurtubi. Alasannya, tidak ada motivasi untukmengarahkan kepada pemaknaan lain.
Meskipun tidak ada yang masuk dan keluar, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pitu neraka pada bulan Ramadan, mempunyai fungsi tersendiri. Fungsinya antara laian member informasi kepada para malaiakt bahwa bulan Ramadan telah menjelang, memberikan penghormatan akan kebesaran bulan Ramadan, dan memotivasi orang Islam untuk selalu giat beribadah.

Sebagian lain memaknai hadis ini tidak pada makna hakikatnya. Ada pesan tersendiri yang ingin disampaikan oleh Nabi melalui sabdanya itu. Makna yang dikehendaki dari terbukanya pintu surga adalah pada bulan Ramadan selalu dipenuhi dengan beragam ketaatan beribadah yang dapat mengantarkan kepada surga. Pada bulan suci ini rahmat Allah turun dengan derasnya, dicurahkannya pertolongan Allah, dihilangkannya penghalang amal, perbuatan untuk dapat menembus ke langit, dan amal perbuatan lekas diterima.

Sedangkan pesan dari ditutupnya pintu neraka, ialah dicurahkannya ampunan Allah, bersihanya jiwa-jiwa orang yang berpuasa dari dosa-dosa serta terhindar dari motif-motif yang dapat merangsang melakukan tindakan maksiyat dengan cara menahan hawa nafsunya lantaran puasa dapat menjadi benteng dari serangan hawa nafsu.
Tentang dibelenggunya setan, terdapat pemaknaan yang berbeda-beda. Sebagian pendapat mengatakan yang dimaksud setan di sini ialah setan yang mencuri pendengaran tentang berita langit. Ada yang mengartikan setan tidak mempunyai kemampuan untuk menggoda umat Islam karena bulan Ramadan umat Islam telah membentengi dirinya dengan puasa, dzikir, dan baca Alquran. Sehingga, belenggu yang disebutkan dalam hadis bukan dalam arti yang sesungguhnya. Ketidakmampuan setan untuk menggoda manusia itulah merupakan belenggu bagi dirinya. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dibelenggu hanyalah jin atau setan yang jahat, tidak dibelenggu secara keseluruhan.

Fungsi dibelenggunya setan adalah mencegah dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak umat Islam, melemahkan tipu daya setan untuk mengajak kepada kemaksiatan dan menyangkal alasan yang dibuat oleh manusia seandainya ada sebagian dari mereka yang beralasan tidak melakukan taat dan melakukan maksiyat karena pengaruh godaan setan.

Meskipun pada bulan Ramadan setan-setan telah dibelengu, namun kemaksiatan masih merajalela. Hal ini tidak bertentangan dengan hadis di atas. Alasannya, bahwa yang dapat membelenggu setan adalah puasanya, orang-orang yang memenuhi syarat-syarat dan etika puasa. Oleh karenya, bagi orang-orang yang tidak memperhatikan syarat-syarat dan etika puasa atau malahan tidak berpuasa sama sekali, maka baginya setan tidak terbelanggu. Ia masih dapat menggodanya dan menyeretnya dalam lembah kemasiatan dengan mudah. Bisa jadi kemaksiatan masih ada karena setan yang dibelenggunya hanya sebagian, bukan secara keseluruhan.
Meskipun, misalnya semuanya setan telah dibelenggu selama bulan suci ini, toh masih ada penyebab lain yang dapat mendorong manusia untuk berbuat maksiat. Hal itu antara lain hawa nafsu yang jelek, kebiasan-kebiasaan yang buruk, dan setan-setan yang berupa manusia. Jadi, bulan suci ini tidak mampu mengerem manusia dari tindakan-tindakan buruk dengan sendirinya tanpa disertai dengan benteng yang kokoh dari pengaruh hawa nafsu dan godaan-godaan luar lainnya. Mestinya, puasa bisa menjadi wahana untuk selalu mawas diri dari pengaruh hawa nafsu dan godaan-godaan yang lain, karena musuh terbesar kita selain setan adalah hawa nafsu kita sendiri. Ingat, jangan sampai bulan Ramadan ini terkotori dengan kemaksiatan-lemaksiatan yang dapat merusak diri kita, keluarga dan masyarakat secara umum.(*)

Oleh: Taufiq Aulia Rahman, M.H.I
Musyrif (Ustadz pembimbing) Ma'had Qudsiyyah Kudus

Jumat, 12 Agustus 2011

WALAU RAMADHAN, JUALAN TETAP JALAN

Sekarang kita tengah memasuki bulan Ramadhan. Pada bulan ini, terdapat peristiwa-peristiwa besar yang bersejarah. Di antaranya Nuzulul Qur'an (turunnya Al-Qur'an). Pada bulan ini pula, mulai fajar sampai menjelang maghrib kita diwajibkan berpuasa. Sedangkan di malam harinya kita disunahkan melakukan Shalat Tarawih dan Witir secara berjama’ah. Dalam kitab I’anatuth Thâlibin, puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari dengan syarat-syarat tertentu. (I’ânatuth Thâlibin, Juz II, 215)

Puasa mulai disyari’atkan pada tahun 2 H. Pada masa-masa awal Islam, kewajiban puasa tidak bersifat mu’ayyan (tidak ada pilihan lain), tetapi mukhayyar, artinya umat diperbolehkan memilih antara melaksanakan puasa atau membayar fidyah (memberi 2 mud/kira-kira 5 ons dari makanan pokok negara kepada fakir miskin). Hal ini menyebabkan para aghniya’ (orang-orang kaya) lebih memilih membayar fidyah dari pada berpuasa. Selanjutnya turunlah ayat yang menjelaskan kewajiban puasa secara mu’ayyan.

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
"Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (QS.Al-Baqarah, 185)

Jika mau meluangkan waktu untuk ber-tafakkur (berfikir secara mendalam), maka kita akan tahu, segala sesuatu yang diwajibkan pasti ada hikmah dan faedahnya. Termasuk puasa. Diantara faedah puasa ialah:
Pertama, faedah yang bersifat ruhiyyah (spiritual), seseorang akan berlatih bersabar dan menjauhkan diri dari bujuk rayu nafsu dan syahwat. Sehingga jiwa akan senantiasa menaati perintah serta menjauhi larangan Sang Khaliq. Hal ini dapat dicapai ketika motif mengerjakan puasa hanya semata-mata karena Allah, bukan karena menggugurkan kewajiban semata. Di samping itu, puasa juga menjauhkan diri dari sifat sombong. Karena tidak ada orang sombong yang setiap harinya menahan lapar dari makan dan lapar dari maksiat.

Kedua, dilihat dari aspek sosial, terjadinya sebuah persatuan, kesatuan, kedisiplinan, keadilan, persamaan, serta kasih sayang dan pembentukan moralitas di tengah masyarakat. Hal ini merupakan refleksi dari berpuasa dimana kaum muslimin merasakan haus, lapar, dan kenyang bersama-sama. Tidak ada diskriminasi antara si kaya atau si miskin, antara kaum elit ataupun kaum alit, semuanya dalam tata atur yang sama.

Ketiga, aspek kesehatan. Sebagian ahli medis berkebangsaan Eropa mengatakan bahwa puasa satu bulan di bulan Ramadhan membersihkan endapan-endapan yang sudah tidak berfungsi lagi di dalam tubuh selama rentan waktu satu tahun yang telah dilalui. Di samping itu, puasa juga dapat memperlancar pencernaan, mengurangi berat badan dan membakar sisa-sisa lemak serta beberapa fungsi kesehatan lainnya. Jauh hari sebelumnya, Rasulullah sudah mewanti-wanti terapi ini dalam sebuah Hadits yang telah diriwayatkan Abu Hurairah:
صوموا تصحوا
"Berpuasalah kamu, niscaya akan sehat" (Al-Jâmi’ Ash-Shaghîr Juz II, 45)
Dan sampai hari ini, kewajiban itu terus berkelanjutan. Tak akan diubah. Tapi, ada juga sebagian orang yang diperbolehkan tidak menunaikan puasa Ramadhan. Siapa saja mereka? Untuk menjawabnya, kita harus mengetahui syarat-syarat wajib puasa, maka kita juga akan tahu siapa yang tidak diwajibkan berpuasa, dan siapa yang boleh tidak melaksanakannya. Syarat wajib itu adalah : [1] Islam, walaupun Islamnya di waktu yang telah lampau (murtad). Syarat pertama ini mengecualikan orang kafir. Mereka tidak wajib puasa. [2] Mukallaf (aqil dan baligh). Syarat ini menjadikan orang gila, dan anak kecil (shobiy) tidak wajib berpuasa. [3] Ithâqah (mampu berpuasa), orang-orang yang tidak mampu berpuasa, berarti dia tidak wajib melaksanakannya. Seperti karena sakit yang parah, atau sebab terlalu renta.[4] Sehat, yaitu keadaan tidak sakit yang sampai memperbolehkan melakukan tayammum. [5] Iqamah (menetap), berarti bagi orang yang bepergian (musafir) yang diperbolehkan qashar sholat juga diperbolehkan tidak berpuasa. (Kasyifah as-Saja: 116, Raudhah at-Thalibin, I, 274)

Adapun dalil al-Qur’an tentang orang-orang yang diperbolehkan tidak berpuasa di antaraya terdapat pada surat al-Baqarah 185:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkanya itu pada hari yang lain."
Setelah kita tahu orang-orang yang terkena kewajiban puasa dan tidak berkewajiban, ternyata realitas di masyarakat tidak sedikit orang yang berkewajiban puasa masih saja tidak melakukan puasa. Di samping itu, masih ada penjual makanan yang menjual dan menyediakan makanan untuk mereka di siang hari. Padahal di negeri kita ini masyarakat muslim adalah mayoritas. Lantas bagaimana hukum menjual makanan siap saji di siang hari bulan Ramadhan?

Jawabnya, ketika pembeli adalah orang-orang yang wajib berpuasa, maka kita hendaknya bertanya pada hati (misalnya kita sebagai penjual). Jika kita yakin (kepastian kebenarannya100%) atau menduga (kepastian kebenarannya 75%) bahwa makanan yang kita jual itu akan dimakan di siang hari itu juga maka hukumnya haram. Apalagi kalau mereka makan di tempat, maka lebih jelas keharamannya.
Dan jika wahm (kepastian kebenarannya 25%) maka hukumnya makruh.

Masalah ini sama halnya dengan orang yang menjual anggur untuk dibuat arak, menjual ayam untuk disabung, menjual pedang untuk membunuh orang, menjual kayu untuk dibuat alat musik (malahi). Hukumnya sama seperti tadi jika yakin atau dugaan maka haram menjual kepada mereka dan jika hanya wahm, maka hukumnya makruh. Namun jual beli antara kedua pihak tersebut tetap sah, walaupun ada unsur haram atau makruh (Tuhfah at-Thullab, 65)

Hukum keharaman ini lantaran si penjual memfasilitasi dan rela dengan adanya kemaksiatan. Padahal rela terhadap kemaksiatan merupakan maksiat. Terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan mengenai hal ini. Kisah yang menjadi sebab turunnya beberapa ayat itu ialah, suatu hari orang-orang musyrik berkumpul di suatu majelis dan mereka membicarakan serta mengolok-olok al-Quran, lalu turunlah ayat:
وَإِذَا رَأَيْتَ الذين يَخُوضُونَ فِى ءاياتنا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حتى يَخُوضُواْ فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِ
"Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka, sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain". (QS. al-An'am, 68)

Ayat ini diturunkan di kota makkah. Dan pada waktu yang sama para uskup/pendeta Madinah juga melakukan hal serupa. Padahal orang-orang yang berbincang bersama mereka adalah orang-orang munafik (Islam). Maka Allah menurunkan ayat lagi:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir) maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kau berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka. (QS.An-Nisa' : 140)

Di dalam ayat tersebut Allah melarang ikut serta duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok al-Qur’an, karena jika ikut duduk bersama mereka, maka kita juga dihukumi sama dengan mereka.Para ulama berpendapat, ayat ini menandakan bahwa orang yang ridha terhadap kekufuran berarti kufur. Dan orang yang mengetahui kemunkaran serta dia masih berkumpul bersama orang-orang yang melakukan kemunkaran itu, maka dia termasuk golongan mereka. Hal ini terjadi jika orang tersebut duduk dengan santainya, tanpa ada rasa penolakan sedikitpun. Tapi jika situasinya berbeda (masih ada rasa penolakan dalam dirinya), maka hukumnya berbeda lagi. (Tafsir ar-Razy, V, 415)

Jadi, jika menjual makanan di siang hari bulan Ramadhan diharamkan, lalu bagaimana solusi bagi orang yang profesinya menjual makanan di siang hari? Ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan. Di antaranya, mengganti barang dagangan, misalnya menjual makanan mentah atau komoditas lain, memindah waktu berjualan, misalnya menjelang maghrib atau malam hari, atau jauh-jauh hari sudah menyiapkan tabungan yang dapat dipakai selama bulan Ramadhan, sehingga ia tidak perlu berjualan makanan pada bulan Ramadhan.

Dan bagi mereka yang tidak ada udzur namun tidak puasa, maka renungkanlah hadits Rasulullah ini, "Puasa satu hari di bulan Ramadhan tidak dapat ditandingi dengan puasa satu tahun yang bukan di bulan Ramadhan". Serta hadits qudsy, “Puasa adalah untuk-Ku (Allah) dan Aku (Allah) yang akan memberi pahala”. (Shahih Bukhari, VII, 27) [elfa]