Jumat, 15 Juni 2012

Walau Tulisan Ajam, Al-Qur’an Tetap Mushaf

Makin banyak percetakan, makin banyak pula produksinya. Dari tahun ke tahun, selalu ada buku baru yang lahir. Mulai dari jenis majalah, novel, komik, karya ilmiah, dan sebagainya. Tapi ada satu yang sangat istimewa dan tidak ada bandingannya di dunia ini, yaitu al-Qur’an al-karim.
Al-Qur’an ialah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai mukjizat walaupun dengan salah satu suratnya. Ada juga ulama yang menambahkan pengertian lain, yaitu dihitung ibadah jika membacanya. Sedangkan Mushaf ialah apapun yang ada tulisan al-Qur’annya, walaupun berupa kertas, papan, daun, dll, yang ditujukan untuk dibaca (dirasah). Sebenarnya, al-Qur’an dan mushaf itu sama. Hanya saja, al-Qur’an itu identik dengan bacaan, sedangkan mushaf cenderung dengan tulisan atau kertasnya. Yang banyak ditemui, al-Qur’an sering disandari (mudhaf ilaih) kata membaca (qiroatul quran), dan mushaf sering disandari kata membawa atau memegang (massul mushaf wa hamluhu). (Hasyiyah al-Bujairomy Alal Manhaj, I, 201; Faidlul Qadir, IV, 615; Kasyifatus Saja, 28)
Dari definisi tersebut, maka Hadits Qudsy bukan termasuk al-Qur’an karena disampaikan kepada Nabi bukan sebagai mukjizat. Juga mengecualikan Taurat, Injil, dan Zabur, karena tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad. (Faidlul Qadir, IV, 615)
Al-Qur’an merupakan kitab yang paling mulia di antara kitab-kitab lainnya, apalagi buku-buku biasa. Hal ini termaktub dalam al-Qur’an pada surat Fusshilat ayat 41-42,:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari al-Qur’an ketika al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya al-Quran itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.(QS. Fusshilat, 41-42)
Dalam hal ini pun Nabi Muhammad juga pernah bersabda bahwa al-Qur’an jika dibandingkan dengan kalam lain, sama dengan Allah dibandingkan dengan lainnya.
فضل كلام الله عز وجل على سائر الكلام كفضل الله على غيره
Keutamaan kalam Allah ‘Azza wa Jalla di atas kalam yang lain seperti keutamaan Allah dibandingkan dengan yang lain. (Fadhoilul Qur’an Wa Tilawatuhu Lir Rozy, I, IX)
Mengenai sisi kebahasaan, al-Qur’an hanya menggunakan satu bahasa saja, yaitu bahasa Arab. Namun terkadang ada kata yang kebetulan sama dengan bahasa ajam (selain Arab) dan lebih dikenal dalam bahasa ajam itu. Walaupun begitu, kata tersebut tetap dianggap sebagai bahasa Arab, bukan ajam. Untuk itu, dalam pembacaannya dilarang menggunakan bahasa ajam sebagai contoh lafadz ‘alamin dibaca ngalamin. Sedangkan untuk penulisan al-Qur’an yang menggunakan bahasa ajam, maka diperbolehkan dan juga masih dianggap sebagai mushaf. Sehingga hukum memegang dan membawanya pun disamakan dengan hukum memegang dan membawa al-Qur’an yaitu tidak diperbolehkan bagi orang yang sedang berhadats. Hikmah dari kebolehan menulis ini adalah karena dimungkinkan adanya orang yang membaca al-Qur’an tulisan ajam tapi dengan bahasa Arab. (al-Lughat Fil Qur’an, I, 1; Tuhfatul Habib Ala Syarhil Khathib, I, 551; Hasyiyah al-Bujairimi Alal Khatib, III, 317)
Sedangkan cara membaca al-Qur’an yang baik adalah dengan cara tartil. Untuk pengertian tartil, Sayyidina Ali pernah menjelaskannya, yaitu membaca yang disertai dengan menggunakan tajwid dan mengetahui di mana letak-letak waqof (berhenti). (Tanbihul Ghafilin Wa Irsyadul Jahilin, I, 54)
Metode bacaan tartil memiliki ukuran cara yang paling ‘bawah’ dan juga cara yang paling sempurna. Batas yang paling bawah dalam tartil ialah melafadzkan huruf-huruf dengan jelas walapun pembacaannya cepat. Sedangkan cara yang sempurna ialah berwaqof pas sesuai dengan tempatnya. Tidak melebihi dan tidak kurang. Lebih sempurna lagi jika saat membacanya disertai dengan ekspresi yang sesuai dengan yang dibaca. Misalnya waktu membaca ayat duka, menampilkan wajah dan nada duka. Ketika membaca ayat kemenangan Islam, menunjukkan wajah yang gembira. (al-Burhan Fi ‘Ulumil Quran, I, 449)
Allah berfirman:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً
Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil. (QS. al-Muzzammil, 4)
Perintah yang terkandung dalam ayat tersebut bukanlah bersifat wajib, melainkan hanya bersifat sunnah. Dengan bukti bahwa para ulama sepakat hukum membaca al-Qur’an dengan tartil adalah sunah. Para ulama juga selain menggunakan literatur dari surat al-Muzammil tadi, juga menggunakan literatur dari hadits yang diambil dari keterangan Ummu Salamah ketika menyifati bacaan Nabi yaitu bahwa bacaan Nabi itu bisa ditafsirkan satu huruf demi satu huruf. Bacaan tartil memiliki hikmah agar qari’ bisa menghayati makna-maknanya dan terhanyut dalam bacaanya, juga merupakan salah satu simbol memuliakan al-Quran. (at-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, I, 88)
Sopan santun seseorang muslim saat dilantunkan ayat-ayat al-Qur’an adalah dengan cara diam dan mendengarkan dengan seksama.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan ketika al-Qur’an dibaca, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat. (QS. al-A’raf, 204)
Dhohir ayat ini menunjukkan bahwa amar adalah lil wujub. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun sebagai dalil keharaman berbicara saat shalat, yang mana pada permulaan Islam hal itu (berbicara saat shalat) diperbolehkan. Ada yang mengatakan untuk dalil keharaman jahr (bersuara keras) ketika menjadi makmum. Ada lagi yang berpendapat kalau ayat ini untuk keharaman berbicara saat khatib sedang menyampaikan khutbahnya. Tapi pendapat yang rajih (unggul), ayat ini untuk bacaan imam di dalam shalat. Dengan alasan keumuman lafadz ini, dan ayat ini adalah ayat makkiyyah, sedangkan khutbah baru disyariatkan ketika di Madinah. (al-Wajiz Lil Wahidi, I, 258; al-Bahrul Madid, II, 329)
Untuk orang yang sedang hadats (muhdits), diharamkan memegang maupun membawa mushaf. Tapi, mushaf yang haram dipegang atau dibawa hanyalah yang digunakan untuk bacaan (dirasah), walau dengan tulisan ajam. Al-Qur’an yang digunakan untuk hiasan kaligrafi, jimat, atau tabarruk, hukum memegangnya boleh bagi muhdits. Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab tafsir, juga boleh memegangnya dengan syarat teks al-Qur’annya lebih sedikit dibanding tafsirnya. (Raudlatut Thalibin Wa Umdatul Muftin, I, 26) [eLFa]

Jumat, 08 Juni 2012

Bapak, Aku Ingin Sekolah!

Menjelang tahun ajaran baru, orang tua memiliki kesibukan tambahan. Yang biasanya hanya sibuk dengan masalah pekerjaan kantor, pertokoan, dan sebagainya, kini akan meluangkan waktu guna memberi perhatian khusus kepada anaknya soal pendidikan. Mulai dari membelikan peralatan sekolah, seragam, bahkan mencarikan sekolah baru. Tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengatakan, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan itu sangat penting. Tanpa pendidikan, manusia seperti layaknya hewan. Karena hanya mengetahui hukum-hukum alam saja seperti makan, minum, dan tidur. Maka dari itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang layak sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Islam, pendidikan bukan sekadar hak, tapi suatu kewajiban. Hadits Nabi: طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ Mencari ilmu itu wajib bagi seluruh muslim. (Sunan Ibni Majah, I, 260) Yang dimaksud dalam lafadz “muslim” bukan hanya orang Islam lelaki saja, melainkan mencakup seluruh orang mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan. (Hasyiyatus Sanadiy ‘Ala Ibni Majah, I, 208) Lalu bagaimana soal pembiayaan, khususnya oleh anak-anak? Biaya untuk menopang kehidupan anak disebut dengan ‘nafkah’. Sedangkan perbuatan mengeluarkan dan menyerahkan nafkah kepada yang berhak disebut dengan ‘infaq’. (I’anatuth Thalibin, IV, 60) Sedangkan sebab-sebab kewajiban memberikan nafkah bagi seseorang itu ada tiga. Pertama, karena pernikahan, yaitu nafkah sorang suami kepada istri. Kedua, karena kepemilikan, yaitu seperti budak dan hewan peliharaan. Dan yang ketiga, karena hubungan kekerabatan. Kekerabatan yang dimaksud di sini adalah orang tua atau anak, tidak yang lainnya seperti saudara, paman, dan bibi. (Mughnil Muhtaj, XIV, 458; Hasyiyah Qolyubi Wa ‘Umairoh, XIII, 463) Sementara definisi anak sendiri memiliki banyak arti yang beragam. Jika dalam pembahasan di sini, anak adalah generasi kedua (anak) dan juga generasi-generasi berikutnya (cucu dan seterusnya). (al-Umm, V, 100) Nafkah meliputi segala sesuatu yang berguna untuk kelangsungan hidup anak. Seperti makan minum, pakaian, pengobatan, termasuk juga pendidikan. Sebenarnya, untuk nafkah pendidikan anak itu bisa diambilkan dari harta si anak, jika anak itu memiliki kekayaan. Tetapi jika tidak punya, maka ditanggungkan kepada orang yang terbeban menafkahinya, yaitu orang tua. Orang tua diwajibkan menjamin pendidikan anaknya sampai anak itu baligh sebagaimana orang tua wajib menafkahinya sampai ia aqil baligh. Jika dalam hubungan suami istri, maka ayahlah yang wajib menafkahi anak. Dan jika si anak tidak memiliki seseorang pun untuk menafkahinya, maka nafkahnya dikembalikan bagi orang yang berkenan memberi nafkah kepadanya. (Hasyiyah Bujairomy ‘Alal Khatib, XI, 430; al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, I, 26; Asnal Mathalib Syarh Roudlit Thalib, XII, 126) Orang tua berkewajiban untuk menafkahi anak jika memenuhi salah satu dari tiga kriteria. Pertama, anak masih kecil disertai dengan fakir. Jadi, jika si anak sudah baligh dan sudah memiliki pekerjaan, maka orang tua tidak wajib menafkahinya. Jika si anak tidak bekerja dikarenakan si anak sibuk mencari ilmu, serta si anak pun dimungkinkan membuahkan hasil dalam mencari ilmunya maka orang tua masih berkewajiban untuk menafkahinya. Dua, lumpuh yang disertai dengan fakir. Dan yang ketiga, gila yang disertai fakir. Untuk kriteria yang dan ketiga ini disebabkan karena mereka tidak mampu mencari nafkah sendiri. (Hasyiyah Bujayromy ‘Alal Khotib, XI, 350 dan 352) Dalam hal ini, al-Qur’an menandaskan: وَعلَى المولود لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma'ruf. (QS. Al-Baqarah, 233) Dan ternyata, dari ayat tersebut, orang tua yang mendapat beban nafkah adalah sang ayah. Karena anak itu sebenarnya adalah milik ayah. Buktinya, anak itu dinasabkan pada ayah, bukan pada ibu. (Tafsir al-Khozin, I, 239) Nah, sekarang pendidikan apa sajakah yang wajib diberikan orang tua kepada anaknya? Pendidikan yang harus diberikan orang tua kepada anaknya adalah semua yang nantinya akan menjadi bekal kehidupan ketika anak itu menginjak baligh, yaitu dalam bab bersuci, sholat, puasa, dan sebagainya, yang merupakan taklif. Serta memberikan pengetahuan tentang haramnya melakukan perbuatan yang haram seperti perbuatan zina, mencuri, berbohong, dan lain sebagainya. Orang tua juga harus memberikan pengetahuan kepada si anak bahwa baligh merupakan fase mulai berlakunya hukum taklif. (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, I, 26) Intinya, semua yang akan diamalkan itu wajib diketahui ilmunya. Contohnya jika akan melakukan transaksi jual-beli maka hukumnya wajib mempelajari fiqh bab Muamalah, atau jika sudah berhubungan suami-istri maka wajib mengetahui seputar hukum-hukum yang bersangkutan, ketika kita akan menunaikan ibadah haji, kita wajib mengetahui ilmu tentang ibadah haji, dll. (at-Taisir Bi Syarhil Jami’is Shaghir Lil Munawi, I, 329) Kewajibnya memberikan pendidikan kepada anak yang masih belum baligh juga tersebut pada al-Qur’an: يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS. at-Tahrim, 6) Mengenai makna dari ayat ini, Sayyidina Ali, Mujahid, dan Qatadah berpendapat sama, yaitu memaknainya cukup dengan makna dlahir saja. Artinya kita disuruh untuk mengajarkan apapun yang dapat menyelamatkan diri kita sendiri dan keluarga dari api neraka. (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, I, 26). Wallahu A’lam. [eLFa]