Makin
banyak percetakan, makin banyak pula produksinya. Dari tahun ke tahun, selalu
ada buku baru yang lahir. Mulai dari jenis majalah, novel, komik, karya ilmiah,
dan sebagainya. Tapi ada satu yang sangat istimewa dan tidak ada bandingannya
di dunia ini, yaitu al-Qur’an al-karim.
Al-Qur’an
ialah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril sebagai mukjizat walaupun dengan salah satu suratnya. Ada juga ulama
yang menambahkan pengertian lain, yaitu dihitung ibadah jika membacanya. Sedangkan
Mushaf ialah apapun yang ada tulisan al-Qur’annya, walaupun berupa kertas,
papan, daun, dll, yang ditujukan untuk dibaca (dirasah). Sebenarnya,
al-Qur’an dan mushaf itu sama. Hanya saja, al-Qur’an itu identik dengan bacaan,
sedangkan mushaf cenderung dengan tulisan atau kertasnya. Yang banyak ditemui,
al-Qur’an sering disandari (mudhaf ilaih) kata membaca (qiroatul
quran), dan mushaf sering disandari kata membawa atau memegang (massul
mushaf wa hamluhu). (Hasyiyah al-Bujairomy Alal Manhaj, I, 201; Faidlul
Qadir, IV, 615; Kasyifatus Saja, 28)
Dari
definisi tersebut, maka Hadits Qudsy bukan termasuk al-Qur’an karena
disampaikan kepada Nabi bukan sebagai mukjizat. Juga mengecualikan Taurat, Injil,
dan Zabur, karena tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad. (Faidlul Qadir,
IV, 615)
Al-Qur’an
merupakan kitab yang paling mulia di antara kitab-kitab lainnya, apalagi
buku-buku biasa. Hal ini termaktub dalam al-Qur’an pada surat Fusshilat ayat
41-42,:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ
لَكِتَابٌ عَزِيزٌ لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ
خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Sesungguhnya orang-orang yang
mengingkari al-Qur’an ketika al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu
pasti akan celaka), dan sesungguhnya al-Quran itu adalah kitab yang mulia. Yang
tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.(QS.
Fusshilat, 41-42)
Dalam hal ini pun Nabi Muhammad juga pernah
bersabda bahwa al-Qur’an jika dibandingkan dengan kalam lain, sama dengan Allah
dibandingkan dengan lainnya.
فضل كلام
الله عز وجل على سائر الكلام كفضل الله على غيره
Keutamaan
kalam Allah ‘Azza wa Jalla di atas kalam yang lain seperti keutamaan Allah
dibandingkan dengan yang lain. (Fadhoilul Qur’an Wa Tilawatuhu Lir
Rozy, I, IX)
Mengenai
sisi kebahasaan, al-Qur’an hanya menggunakan satu bahasa saja, yaitu bahasa Arab.
Namun terkadang ada kata yang kebetulan sama dengan bahasa ajam (selain Arab) dan
lebih dikenal dalam bahasa ajam itu. Walaupun begitu, kata tersebut tetap
dianggap sebagai bahasa Arab, bukan ajam. Untuk itu, dalam pembacaannya
dilarang menggunakan bahasa ajam sebagai contoh lafadz ‘alamin dibaca ngalamin.
Sedangkan untuk penulisan al-Qur’an yang menggunakan bahasa ajam, maka
diperbolehkan dan juga masih dianggap sebagai mushaf. Sehingga hukum memegang
dan membawanya pun disamakan dengan hukum memegang dan membawa al-Qur’an yaitu
tidak diperbolehkan bagi orang yang sedang berhadats. Hikmah dari kebolehan
menulis ini adalah karena dimungkinkan adanya orang yang membaca al-Qur’an
tulisan ajam tapi dengan bahasa Arab. (al-Lughat Fil Qur’an, I, 1; Tuhfatul
Habib Ala Syarhil Khathib, I, 551; Hasyiyah al-Bujairimi Alal Khatib,
III, 317)
Sedangkan
cara membaca al-Qur’an yang baik adalah dengan cara tartil. Untuk
pengertian tartil, Sayyidina Ali pernah menjelaskannya, yaitu membaca yang
disertai dengan menggunakan tajwid dan mengetahui di mana letak-letak waqof
(berhenti). (Tanbihul Ghafilin Wa Irsyadul Jahilin, I, 54)
Metode
bacaan tartil memiliki ukuran cara yang paling ‘bawah’ dan juga cara yang
paling sempurna. Batas yang paling bawah dalam tartil ialah melafadzkan
huruf-huruf dengan jelas walapun pembacaannya cepat. Sedangkan cara yang
sempurna ialah berwaqof pas sesuai dengan tempatnya. Tidak melebihi dan tidak
kurang. Lebih sempurna lagi jika saat membacanya disertai dengan ekspresi yang
sesuai dengan yang dibaca. Misalnya waktu membaca ayat duka, menampilkan wajah dan
nada duka. Ketika membaca ayat kemenangan Islam, menunjukkan wajah yang
gembira. (al-Burhan Fi ‘Ulumil Quran, I, 449)
Allah
berfirman:
وَرَتِّلِ
الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً
Dan
bacalah al-Qur’an dengan tartil. (QS. al-Muzzammil, 4)
Perintah
yang terkandung dalam ayat tersebut bukanlah bersifat wajib, melainkan hanya
bersifat sunnah. Dengan bukti bahwa para ulama sepakat hukum membaca al-Qur’an
dengan tartil adalah sunah. Para ulama juga selain menggunakan literatur dari
surat al-Muzammil tadi, juga menggunakan literatur dari hadits yang diambil dari
keterangan Ummu Salamah ketika menyifati bacaan Nabi yaitu bahwa bacaan Nabi itu
bisa ditafsirkan satu huruf demi satu huruf. Bacaan tartil memiliki hikmah agar
qari’ bisa menghayati makna-maknanya dan terhanyut dalam bacaanya, juga
merupakan salah satu simbol memuliakan al-Quran. (at-Tibyan Fi Adabi
Hamalatil Qur’an, I, 88)
Sopan
santun seseorang muslim saat dilantunkan ayat-ayat al-Qur’an adalah dengan cara
diam dan mendengarkan dengan seksama.
وَإِذَا
قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan
ketika al-Qur’an dibaca, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat. (QS.
al-A’raf, 204)
Dhohir
ayat ini menunjukkan bahwa amar adalah lil wujub. Ada yang mengatakan
bahwa ayat ini turun sebagai dalil keharaman berbicara saat shalat, yang mana
pada permulaan Islam hal itu (berbicara saat shalat) diperbolehkan. Ada yang
mengatakan untuk dalil keharaman jahr (bersuara keras) ketika menjadi
makmum. Ada lagi yang berpendapat kalau ayat ini untuk keharaman berbicara saat
khatib sedang menyampaikan khutbahnya. Tapi pendapat yang rajih (unggul),
ayat ini untuk bacaan imam di dalam shalat. Dengan alasan keumuman lafadz ini,
dan ayat ini adalah ayat makkiyyah, sedangkan khutbah baru disyariatkan
ketika di Madinah. (al-Wajiz Lil Wahidi, I, 258; al-Bahrul Madid,
II, 329)
Untuk
orang yang sedang hadats (muhdits), diharamkan memegang maupun membawa
mushaf. Tapi, mushaf yang haram dipegang atau dibawa hanyalah yang digunakan
untuk bacaan (dirasah), walau dengan tulisan ajam. Al-Qur’an yang
digunakan untuk hiasan kaligrafi, jimat, atau tabarruk, hukum memegangnya
boleh bagi muhdits. Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab tafsir, juga
boleh memegangnya dengan syarat teks al-Qur’annya lebih sedikit dibanding
tafsirnya. (Raudlatut Thalibin Wa Umdatul Muftin, I, 26) [eLFa]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar