Jumat, 08 Juni 2012

Bapak, Aku Ingin Sekolah!

Menjelang tahun ajaran baru, orang tua memiliki kesibukan tambahan. Yang biasanya hanya sibuk dengan masalah pekerjaan kantor, pertokoan, dan sebagainya, kini akan meluangkan waktu guna memberi perhatian khusus kepada anaknya soal pendidikan. Mulai dari membelikan peralatan sekolah, seragam, bahkan mencarikan sekolah baru. Tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengatakan, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan itu sangat penting. Tanpa pendidikan, manusia seperti layaknya hewan. Karena hanya mengetahui hukum-hukum alam saja seperti makan, minum, dan tidur. Maka dari itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang layak sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Islam, pendidikan bukan sekadar hak, tapi suatu kewajiban. Hadits Nabi: طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ Mencari ilmu itu wajib bagi seluruh muslim. (Sunan Ibni Majah, I, 260) Yang dimaksud dalam lafadz “muslim” bukan hanya orang Islam lelaki saja, melainkan mencakup seluruh orang mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan. (Hasyiyatus Sanadiy ‘Ala Ibni Majah, I, 208) Lalu bagaimana soal pembiayaan, khususnya oleh anak-anak? Biaya untuk menopang kehidupan anak disebut dengan ‘nafkah’. Sedangkan perbuatan mengeluarkan dan menyerahkan nafkah kepada yang berhak disebut dengan ‘infaq’. (I’anatuth Thalibin, IV, 60) Sedangkan sebab-sebab kewajiban memberikan nafkah bagi seseorang itu ada tiga. Pertama, karena pernikahan, yaitu nafkah sorang suami kepada istri. Kedua, karena kepemilikan, yaitu seperti budak dan hewan peliharaan. Dan yang ketiga, karena hubungan kekerabatan. Kekerabatan yang dimaksud di sini adalah orang tua atau anak, tidak yang lainnya seperti saudara, paman, dan bibi. (Mughnil Muhtaj, XIV, 458; Hasyiyah Qolyubi Wa ‘Umairoh, XIII, 463) Sementara definisi anak sendiri memiliki banyak arti yang beragam. Jika dalam pembahasan di sini, anak adalah generasi kedua (anak) dan juga generasi-generasi berikutnya (cucu dan seterusnya). (al-Umm, V, 100) Nafkah meliputi segala sesuatu yang berguna untuk kelangsungan hidup anak. Seperti makan minum, pakaian, pengobatan, termasuk juga pendidikan. Sebenarnya, untuk nafkah pendidikan anak itu bisa diambilkan dari harta si anak, jika anak itu memiliki kekayaan. Tetapi jika tidak punya, maka ditanggungkan kepada orang yang terbeban menafkahinya, yaitu orang tua. Orang tua diwajibkan menjamin pendidikan anaknya sampai anak itu baligh sebagaimana orang tua wajib menafkahinya sampai ia aqil baligh. Jika dalam hubungan suami istri, maka ayahlah yang wajib menafkahi anak. Dan jika si anak tidak memiliki seseorang pun untuk menafkahinya, maka nafkahnya dikembalikan bagi orang yang berkenan memberi nafkah kepadanya. (Hasyiyah Bujairomy ‘Alal Khatib, XI, 430; al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, I, 26; Asnal Mathalib Syarh Roudlit Thalib, XII, 126) Orang tua berkewajiban untuk menafkahi anak jika memenuhi salah satu dari tiga kriteria. Pertama, anak masih kecil disertai dengan fakir. Jadi, jika si anak sudah baligh dan sudah memiliki pekerjaan, maka orang tua tidak wajib menafkahinya. Jika si anak tidak bekerja dikarenakan si anak sibuk mencari ilmu, serta si anak pun dimungkinkan membuahkan hasil dalam mencari ilmunya maka orang tua masih berkewajiban untuk menafkahinya. Dua, lumpuh yang disertai dengan fakir. Dan yang ketiga, gila yang disertai fakir. Untuk kriteria yang dan ketiga ini disebabkan karena mereka tidak mampu mencari nafkah sendiri. (Hasyiyah Bujayromy ‘Alal Khotib, XI, 350 dan 352) Dalam hal ini, al-Qur’an menandaskan: وَعلَى المولود لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma'ruf. (QS. Al-Baqarah, 233) Dan ternyata, dari ayat tersebut, orang tua yang mendapat beban nafkah adalah sang ayah. Karena anak itu sebenarnya adalah milik ayah. Buktinya, anak itu dinasabkan pada ayah, bukan pada ibu. (Tafsir al-Khozin, I, 239) Nah, sekarang pendidikan apa sajakah yang wajib diberikan orang tua kepada anaknya? Pendidikan yang harus diberikan orang tua kepada anaknya adalah semua yang nantinya akan menjadi bekal kehidupan ketika anak itu menginjak baligh, yaitu dalam bab bersuci, sholat, puasa, dan sebagainya, yang merupakan taklif. Serta memberikan pengetahuan tentang haramnya melakukan perbuatan yang haram seperti perbuatan zina, mencuri, berbohong, dan lain sebagainya. Orang tua juga harus memberikan pengetahuan kepada si anak bahwa baligh merupakan fase mulai berlakunya hukum taklif. (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, I, 26) Intinya, semua yang akan diamalkan itu wajib diketahui ilmunya. Contohnya jika akan melakukan transaksi jual-beli maka hukumnya wajib mempelajari fiqh bab Muamalah, atau jika sudah berhubungan suami-istri maka wajib mengetahui seputar hukum-hukum yang bersangkutan, ketika kita akan menunaikan ibadah haji, kita wajib mengetahui ilmu tentang ibadah haji, dll. (at-Taisir Bi Syarhil Jami’is Shaghir Lil Munawi, I, 329) Kewajibnya memberikan pendidikan kepada anak yang masih belum baligh juga tersebut pada al-Qur’an: يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS. at-Tahrim, 6) Mengenai makna dari ayat ini, Sayyidina Ali, Mujahid, dan Qatadah berpendapat sama, yaitu memaknainya cukup dengan makna dlahir saja. Artinya kita disuruh untuk mengajarkan apapun yang dapat menyelamatkan diri kita sendiri dan keluarga dari api neraka. (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, I, 26). Wallahu A’lam. [eLFa]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar