Jumat, 30 Maret 2012

Stop! Kau Mencuri Karyaku

James A. Mackay, seorang ahli sejarah Skotlandia, dipaksa menarik kembali semua buku biografi Alexander Graham Bell yang ditulisnya pada 1998 karena ia dituduh menyalin dari sebuah buku dari tahun 1973. Ia juga dituduh memplagiat biografi Mary Queen of Scots, Andrew Carnegie, dan Sir William Wallace. Pada 1999, ia harus menarik biografi John Paul Jones tulisannya dengan alasan yang sama.

Kasus di atas adalah sedikit dari banyak kasus plagiarisme yang pernah terjadi di muka bumi ini. Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Sebagai contohnya adalah video, film, buku, merk, makalah, software, dan skripsi.

Zaman sekarang, kasus plagiat sangat marak terjadi. Lebih-lebih dengan adanya internet, seseorang akan dengan mudah copy-paste dari sebuah situs dengan sesuka hati, bahkan di bidang akademis sekalipun. Menurut survei yang dilakukan College Cures, Jumat (23/3/2012) menunjukkan bahwa 71% siswa di Amerika Serikat (AS) tidak percaya bahwa meng-copy material dari internet adalah "aksi mencontek yang cukup serius", dan hanya 29 persen siswa berpikir bahwa menyalin dari website adalah "mencontek yang sangat serius". Ini menunjukkan bahwa budaya ‘njiplak’ sudah membudidaya di penjuru dunia. Seolah hal itu bukanlah tindakan yang buruk.

Nah, sekarang bagaimanakah kacamata Islam memandang tentang kasus plagiat ini?
Plagiat, pembajakan atau penjiplakan, dalam dunia Islam bisa dimasukkan ke dalam koridor ghasab. Karena pengertian ghasab sendiri adalah menguasai hak orang lain dengan jalan tidak benar dan dzalim. Hak bisa mencakup harta (mal), atau selain harta (seperti anjing, kotoran binatang, dan kulit bangkai). Sang plagiator telah mengambil dan menggagahi hak milik, hak cetak, ataupun hak distribusi yang dimiliki oleh yang berhak. Karena telah menggashab, maka hukuman bagi si plagiator adalah wajib mengembalikan apa yang telah diambilnya. (Hasyiyah Bujayromy ‘Alal Khathib, VIII, 348; Nihayatuz Zain, 264)

Namun, jika plagiator tadi tidak hanya mengambil, tapi juga mangakui bahwa yang diambil tadi adalah miliknya, maka perbuatan tersebut masuk dalam kategori mencuri (sariqah). Karena dalam definisinya, mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam dari tempat penyimpannya. Tidak hanya menguasai hak, tapi juga menjadikan hak itu adalah miliknya. (Kifayatul Akhyar, II, 151)

Kata ”harta” yang tertera di sini bukanlah khusus terhadap benda saja, tetapi juga hak. Pendapat ini didasarkan pada pendapat jumhurul ulama yang mendefinisikan harta (mal) adalah semua hal yang mempunyai nilai dan bagi siapapun yang merusakkan wajib menggantinya. Merk, ilmu, gagasan, atau pemikiran termasuk dalam mal, walaupun tidak berwujud kongkret. (al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, IV, 42)

Mengenai larangan ini, Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 29, yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil. (an-Nisa’, 29)

Ayat ini jika diartikan secara kasar, jelas menunjukkan tentang larangan menggunakan harta milik orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan secara syara’. Teks yang tertera adalah larangan ‘memakan’, tapi atas dasar qiyas, yang dimaksud adalah semua bentuk tindakan menghabiskan harta orang lain. Dan yang dimaksud ‘bathil’ adalah tidak halal menurut syara’. (Tafsir al-Alusi, IV, 29; Zadul Masir, II, 19)

Ada ayat lain yang juga menerangkan tentang hal yang serupa:

وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ

Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. (as-Syuaro’, 183)

Lalu bagaimana status barang hasil plagiat tersebut?

Jika harta tersebut diperjualbelikan, maka hukumnya haram bagi si penjual (plagiator) dan tetap sah bagi si pembeli karena pembeli memilikinya dengan cara yang sah dan benar. Kecuali jika si pembeli mengetahui tentang haramnya barang tersebut atau membeli dengan perkara yang haram. Maka si pembeli juga terkena hukum haram. (al-Umm, III, 32)

Tidak semua kegiatan plagiat itu diharamkan menurut syara’. Karena hubungannya dengan sesama makhluk (haqqul adami), maka dalam bab ghasab tinggal lihat objeknya saja. Pihak yang bersangkutan rela atau tidak. Rela atau tidaknya bisa dengan lewat keyakinan dari orang yang menggashab. Tapi keyakinan ini tak boleh dibuat-buat, sehingga menjadi alasan untuk melakukan tindakan ini. (Hawasyi asy-Syarwani, IV, 238)

Sebagai contoh ketika plagiat tersebut tidak merugikan atau malah justru menguntungkan bagi yang bersangkutan. Sebagai contoh dalam kitab-kitab salaf yang pengarangnya sudah wafat. Dalam proses pengarangannya, para mushannif berniat ikhlas agar ilmunya bermanfaat bagi khalayak umat Islam, tidak ada unsur bisnis yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, semakin kita banyak mangambil kemanfaatan dari kitab itu, maka akan semakin kita menguntungkan beliau. Dan penjiplakan yang seperti inilah yang diperbolehkan dalam agama. (Bughyatul Mustarsyidin, 180)

Untuk kategori mencuri, seorang plagiat mendapat hukuman mengembalikannya, selain juga diancam hukum potong tangan jika telah melampaui syarat tertentu. Karena, mencuri termasuk perbuatan yang hubungannya dengan haqqullah di satu sisi, dan haqqul adami di sisi yang lain. Haqqullah berbentuk hukuman potong tangan, dan haqqul adami berbentuk pengembalian barang yang dicuri. (Mukhtashar al-Muzanni, I, 118)

Indonesia memiliki aturan-aturan dalam pengambilan dan yang berhubungan dengan hak cipta. Karena Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang memerlukan perlindungan Hak Cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut. Dan undang-undang ini pun dalam perkembangannya juga selalu mengalami update agar sesuai dengan keadaan yang berkembang. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang kemudian diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, kemudian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. . Ini menunjukkan bahwa Negara kita ini juga sangat menghargai sebuah hak milik seseorang.

Kesimpulnnya, plagiat bisa masuk dalam kategori ghasab dan juga bisa masuk dalam kategori mencuri. Dan kedua-duanya hukumnya adalah haram. Karena dalam pelaksanaannya plagiat itu mengambil sesuatu yang bukan miliknya yang kebanyakan terjadi adalah dalam hal hak cipta.
Kita sebagai manusia yang hidup dengan orang banyak, haruslah juga memahami tentang kode etik orang lain. Dan tidak hanya mementingkan kode etik diri sendiri. Dan ingatlah, sifat egois itu hanya akan berdampak negatif bagi diri sendiri. [eLFa]

Jumat, 23 Maret 2012

Penimbunan BBM, Jangan Ah !

Semua orang telah mendengar tentang kebijakan pemerintah akan menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Kenaikan ini terjadi karena pemerintah tak mampu lagi memberikan subsidi pada BBM. Pemerintah telah mempertimbangkannya, yaitu bersamaan dengan naiknya harga minyak mentah dunia di pasaran Internasional.

Rencana pemerintah menaikan harga BBM ini menimbulkan banyak persoalan. Banyak rakyat kelas menengah ke bawah mungkin merasa tercekik dengan kondisi yang sedemikian rupa. Ini logis, sebab kenaikan harga BBM juga akan memicu kenaikan harga sembako dan harga-harga lainnya. Masyarakat kelas kecil semakin tersudutkan.

Selain itu, dari laporan Kompas (Jumat, 9 Maret 2012) disebutkan, permintaan BBM melonjak naik. Hal ini diduga banyaknya aksi sejumlah warga melakukan spekulasi untuk meraup keuntungan besar dengan cara menimbun BBM dan dijual pada saat harga sudah naik. Tindakan ini bertujuan untuk meraup laba dengan jumlah besar, karena ia membeli dengan harga yang belum dinaikkan, jauh di bawah harga penjualan nantinya kalau suda dinaikkan. BBM yang ditimbun pun tak sedikit jumlanya. Aksi ini juga membuat permintaan BBM di SPBU bertambah, dan dikhawatirkan terjadi kelangkaan.
Bagaimana tindakan penimbunan ini tidak menyiksa? kabar berita kenaikan harga saja sudah menyulitkan, apalagi dengan penimbunan oleh spekulan-spekulan itu. Semakin merisaukan.

Bagaimana fiqh menghadapi masalah penimbunan BBM ini?

Dalam kitab salaf, penimbunan disebut ihtikar. Untuk memahami lebih jelas tentang ihtikar, kita harus memahami definisinya. Ihtikar yaitu membeli di waktu harga naik (waqtal ghola’) dan menimbunnya agar harga bertambah. Tujuannya untuk mendapat untung yang besar, tapi dengan cara menyimpan banyak barang, sehingga barang tersebut menjadi langka di pasaran. Sebenarnya, tidak semua yang termasuk ihtikar hukumnya haram. Menurut Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, ihtikar hanya tertentu pada bahan makanan pokok (aqwat) saja, termasuk anggur kering (zabib) dan kurma (tamr). Dan ada juga ulama yang berpendapat termasuk juga lauk pauk dan buah-buahan. (Hasyiyatul Jamal, X, 457; al-Majmu’, XIII, 44, Fiqhus Sunnah, 3, 107)

Ihtikar makanan pokok diharamkan karena adanya unsur menyulitkan masyarakat (tadlyiq). Sehingga masyarakat begitu susah bahkan tidak bisa untuk mendapatkan makanan sebagai sumber energi baginya. (Asnal Mathalib, VIII, 50)

Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf, ihtikar diharamkan untuk semua jenis barang yang merugikan masyarakat jika ditimbun. Baik itu makanan pokok atau tidak, sampai emas, perak, pakaian pun bisa. Jadi, menurut Imam Abu Yusuf, BBM termasuk di dalamnya dilarang menimbun, karena kelangkaannya membuat masyarakat dirugikan. (Subulus Salam, IV, 130)

Nabi pernah berkata:

الْجَالِبُ مَرْزُوقٌ وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُونٌ

Orang yang mendatangkan barang (akan) diberi rezeki dan orang yang menimbun akan dilaknat. (Sunan Ibnu Majah, VI, 375)

Dan Imam Muslim juga pernah mencatatkan bahwa Nabi Muhammad berkata:

لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ

Tidak melakukan penimbunan kecuali pendosa. (Shahih Muslim, VIII, 313)

Menurut ahli lughat, al-khothi’ berarti adalah al-‘ashi atau al-atsim yang artinya orang yang berdosa. Hadits ini jelas menyatakan keharaman ihtikar. (Syarhun Nawawi Ala Muslim, V, 482)

Tapi karena BBM tidak termasuk bahan makanan pokok, tidak pula lauk pauk atau buah-buahan, maka bukan masuk dalam ihtikar yang diharamkan. (Kecuali menurut Imam Abu Yusuf yang menganggap penimbunan BBM termasuk ihtikar yang haram).

Namun begitu, penimbunan BBM tersebut tidak lantas diperbolekan begitu saja. Masih ada alasan lain yang mengaramkan tindakan tersebut. Keharaman penimbunan BBM bukan semata karena ihtikar, tapi karena menyalahi regulasi pemerintah dan penyalahgunaan subsidi yang ada. Sungguh Allah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisa’:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. an-Nisa’, 59)

Sebagai warga negara, kita diwajibkan patuh kepada pemerintah (ulil amri). Dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pasal 53 ayat c, disebutkan penyimpanan tanpa izin diancam pidana paling lama tiga tahun dan denda paling tinggi 30 miliar rupiah.

Jadi, penimbunan BBM, yang tidak masuk dalam ihtikar haram, hukumnya adalah haram dengan alasan melanggar peraturan pemerintah. Dalam rumusnya, jika yang dilarang oleh pemerintah adalah barang haram, maka makin tambah keharamannya. Dan jika yang dilarang adalah barang mubah, maka hukumnya menjadi haram, apalagi larangan tersebut mempunyai mashlahat bagi masyarakat. (Hawasyi Syarwani, III, 72)

Peraturan pemerintah memang seharusnya selalu berjalan selaras kepada kesejahteraan rakyatnya. Seperti yang tersurat dalam kaidah fiqh yaitu:

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Perlakuan pemerintah atas rakyat harus berdasarkan pada kemashlahatan umat.
Imam Syafi’i berkata, ”Posisi pemerintah dalam hubungannya dengan rakyat seperti halnya posisi wali terhadap anak yatim”. Ibarat anak yatim, rakyat harus dipenuhi hak-hak mereka dengan diperhatikan kemakmuran dan kesejahteraan mereka. (al-Asybah Wan Nadhair, I, 220)

Jika penimbunan BBM adalah perbuatan haram, lalu bagaimana hukum barang (BBM) tersebut? Halalkah?

Menurut pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa penimbunan BBM tidak termasuk ihtikar tapi menyalahi peraturan pemerintah, hukum akad tersebut fasid, tidak sah, dan bukan barang miliknya. Kasus ini, menurut madzhab Hambali, seperti dalam kasus shalat menggunakan pakaian atau tempat ghasab, hukumnya tidak sah. Karena amrin kharijin (perkara di luar dzat) maksiat itu memengaruhi sah tidaknya ibadah ataupun akad.(Anwarul Buruq Fi Anwa’il Furuq, III, 258)

Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, menurut mereka hukum barang tersebut tetap halal. Akad jual beli yang berlangsung tidak fasid, dalam arti sah tapi haram (sah ma’al hurmah). Barang tersebut tetap bisa dimiliki, hanya saja menggunakan cara haram. Karena, penimbunan tidak termasuk dalam nafsil aqdi (inti akad), maka tidak mempengaruhi sah tidaknya akad yang terjadi. (Nailul Authar, III, 11)

Sama ketika mengikuti pendapat Imam Abu Yusuf yang mengatakan bahwa penimbunan BBM termasuk ihtikar. Hukum akad tersebut tetap sah, tapi dilarang (haram). Barang ataupun uangnya halal, hanya saja perbuatan menimbun barang tersebut haram.
Dalam kaidah fiqhnya disebutkan:

إذا عاد التحريم إلى نفس العبادة أو شرطها فسدت وإذا عاد إلى أمر خارج لم تفسد وكذلك المعاملة

Jika pengharaman berkaitan dengan dzat suatu ibadah atau syaratnya, maka ibadah tersebut batal. Dan jika berkaitan dengan perkara di luar dzat dan syaratnya, maka ibadah itu tidaklah batal. Demikian pula permasalahan muamalah.

Akhirnya, sebagai warga muslim Indonesia, hendaknya kita tidak mencari keuntungan dengan jalan yang dilarang pemerintah, dan merugikan banyak orang lain. Kita berharap aparat yang berwenang mampu mencegah dan melakukan tindakan terhadap oknum-oknum yang sengaja menimbun BBM demi keuntungan sesaat. Seandainya diberi pilihan, rakyat akan memilih harga BBM tidak usah dinaikkan, karena hal ini akan merembet pada kenaikan harga-harga lainnya. Pun, kalau pilihannya memang tak bisa lain, menaikkan harga BBM, janganlah perberat kami dengan pengalaman yang sudah-sudah, adanya kelangkaan BBM menjelang kenaikan harga. [eLFa]

Buletin El-Fajr Edisi 24

Jumat, 16 Maret 2012

Putusan MK Soal Anak di luar Perkawinan, Dibela atau Dicerca?

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini memutuskan terobosan baru tentang status anak di luar perkawinan. Sebelumnya, status anak di luar perkawinan, menurut UU No. 1 tahun 1974, pasal 43 ayat (1) menyatakan, status anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, dan keluarga ibunya. Tetapi kemudian oleh MK pada hari Jumu’ah, 17 Februari 2012, memutuskan bahwa, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Ahmad Fadhil Sumadi, hakim konstitusi MK menyatakan, sangat tidak adil jika hukum membebaskan tanggung jawab ayah biologis dari anak yang dihasilkan di luar pernikahan. Menurutnya, secara ilmiah perempuan tidak mungkin hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa melalui hubungan seksual yang menimbulkan terjadinya pembuahan. Apalagi, sekarang ini dimungkinkan adanya pembuktian bahwa seorang anak merupakan anak pria tertentu, melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Keputusan dari MK ini, didasari oleh alasan kemaslahatan umum (al-mashlahah al-‘ammah) yaitu untuk melindungi nasib sang anak dan agar memberi efek jera pada lelaki hiudung belang, serta agar perzinaan tidak menyebar luas. Karena sebelumnya, anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tidak ada hubungan secara perdata dengan ayah biologisnya, sehingga seringkali sang ayah biologis tidak mengakui anak tersebut dan menelantarkannya. Dengan keputusan ini sang lelaki tersebut (ayah biologis) harus bertanggung jawab terhadap nasib anak dan tidak boleh mengabaikannya.

Lalu seperti apa sudut pandang pandang fiqh?
Dalam keputusan MK tadi tertulis “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan”. Kata-kata ini masih sangatlah umum, karena anak yang dilahirkan di luar perkawinan (menurut hukum negara) itu bermacam-macam, mulai dari nikah yang tidak dicatat (nikah siri), perzinaaan dan sebagainya.

Mengenai masalah nikah siri, nikah yang tidak dicatatkan ke negara, mungkin tidak ada masalah. Ditinjau dari perspektif fiqh sah-sah saja, karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah, yaitu sudah adanya wali, dua saksi, kedua mempelai, mahar dan ijab kabul. Intisabnya pun jelas, anak yang dihasilkan memiliki hubungan dengan ayahnya. Tapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana dengan masalah anak hasil perzinaan?

Kalau kembali pada dasar hukumnya, intisab itu hanya bisa disebabkan oleh pernikahan. Karena, pernikahan itu adalah akad, bukan wathi (hubungan seksual). Maka, orang yang melahirkan anak di luar pernikahan (zina), intisab anaknya tidak bisa kepada ayah biologisnya (pemilik spermanya), tetapi kepada suami yang sah. Jika tidak bersuami, maka intisab anak kepada ibunya. Sedangkan nafkah anak tersebut ditanggung oleh yang orang diintisabi, yaitu bapak. Jika tidak ada maka ibu. Ini adalah pendapat empat madzhab termasuk juga pengikut Dawud Adz-Dzahiri. (I’anatut Thalibin, I, 146; Ushulus Sarkhasiy, I, 130; Hasyiyah Bujairimy ‘Alal Khatib, VI, 343 )

Mengenai hal ini, ada sebuah cerita yang terjadi pada zaman Rasulullah. Saat itu, seorang wanita yang masih memiliki suami yang sah melakukan perzinaan dengan lelaki lain. Ternyata, tanpa diduga sebelumnya, hasil perselingkuhan itu menghasilkan buah hati. Hingga akhirnya mereka saling merebutkan anak itu. Singkat cerita, akhirnya mereka membawa masalah ini kepada Rasulullah. Dan Rasulullah pun menjawab:

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ


Anak itu disebabkan karena pernikahan, sedangkan bagi pezina adalah batu (rajam). (Shahih Bukhari, XIII, 200)

Hadits ini dengan sharih mengatakan bahwa anak hasil zina itu intisab pada bapak dari perkawinan sah. Sedangkan untuk yang berzina adalah rajam (jika sudah punya pasangan) atau jilid (jika belum punya pasangan). Karena itu, keluarlah syari’at hifdzun nasl (menjaga keturunan) yang di dalamnya ada syari’at nikah dan keharaman zina. Yaitu untuk menjaga nasab agar tidak putus dengan ayahnya. (Hasyiyah Bujairimy ‘Alal Khatib, VI, 343)

Kalau kita ikuti pendapat ini, bagaimana dengan nasib sang anak?
Memang benar, kalau kita ikuti pendapat ini, pastilah anak “hasil karya” mereka akan mudah terlantar karena hanya dalam tanggung jawab ibunya tidak dalam tanggung jawab ayah biologinya. Karena itu, untuk menghindari keterlantaran anak itu, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak yang dihasilkan dari perzinaan itu bisa intisab kepada ayah biologisnya. Pendapat tersebut diusung oleh Imam Hanafi berdasarkan logika bahwa hakikat anak itu adalah dari sperma ayah biologisnya. Yang menumpahkan ‘air’, berarti dia yang bertanggung jawab. Bagaimana bisa seorang ayah tidak mempunyai hubungan, sedangkan anak berasal dari spermanya? Beberapa ulama juga ada yang berpendapat sama dengan pendapat ini, di antaranya ialah Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Hasan Bashriy.

Banyak lagi argumen yang membantu pandapat ini. Di antaranya adalah mengqiyaskan ayah kepada ibu. Sebab anak adalah buah karya dari perzinaan mereka berdua, yang mana bapak adalah salah satunya. Anak dinasabkan pada ibu karena ibulah yang melahirkan, tentu saja anak harus bernasab pada bapak karena bapak juga melahirkan (spermanya).

Juga untuk menutupi aib kedua pezina, memberi peluang pada mereka untuk bertaubat, anjuran pada mereka untuk menikah, dan menjaga identitas sang anak agar tidak ada ejekan bahwa ini adalah anak haram, anak zina, dan sebagainya. Karena haqqullah lebih baik disembunyikan. Dan jika tidak ada hukum seperti ini, maka akan timbul perzinaan di mana-mana. (Hukmu Nisbatil Maulud Ila Abihi Minal Madkhuli Bihaa Qoblal ‘Aqdi, I, 13)

Meskipun ada pendapat ini, namun perlu diingat, bahwa pendapat ini dimaksudkan sebagai langkah darurat untuk melindungi. Anak bisa bernasab ke ayah bilogisnya, tapi tidak secara mutlak seperti yang dilahirkan dari pernikahan sah. Ia tidak mendapat waris. (Fiqhul Islami, VIII, 431)

Kemudian, untuk menyikapi putusan MK yang diusung atas dasar al-mashlahah al-‘ammah yang bertolak belakang dengan nash hadits di atas, timbul suatu pertanyaan, manakah yang dimenangkan antara keduanya?

Dalam istilah fiqh, kepentingan umum adalah al-mashlahah al-‘ammah, ada 5 kriteria al-mashlahah al-‘ammah yang dipatok oleh para ulama. Pertama, al-mashlahah al-‘ammah adalah sesuatu yang manfaatnya dirasakan oleh seluruh atau sebagian besar masyarakat. Bukan oleh kelompok tertentu apalagi orang tertentu. Kedua, selaras dengan tujuan syari’at yang terangkum dalam al-kulliyyat al-khams. Tiga, manfaat yang dimaksud harus nyata (haqiqi) bukan sebatas perkiraan (wahmi). Keempat, tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Kelima, tidak boleh dilaksanakan dengan mengorbankan kepentingan orang lain yang sederajat, apalagi yang lebih besar. (Ushul Fiqh Al-Islamy, II, 1028; Dlawabitul Maslahah, 254; Ilmu Usul Fiqh Kholaf, 86; Usul Fiqh Abu Zahrah, 278; al-Mustashfa, I, 444)

Jadi, anak hasil perzinaan tidak bisa intisab kepada ayah biologisnya. Meskipun ada maslahat umum seperti keterangan di atas. Tidak pula bisa berintisab walau dengan pembuktian ilmu pengetahuan dan teknologi secanggih apapun, contohnya dengan menggunakan tes DNA (Deoxyrebose Nucleic Acid).

Jika mengikuti pendapat yang menyatakan anak zina bisa intisab kepada ayah biologis, terkadang akan memunculkan suatu problem, yaitu ketika bukan hanya satu lelaki yang menyumbangkan sperma, mana yang menjadi ayah? Tak jelas. Kemudian persoalan lain jika kita ikuti pendapat ini, maka bisa-bisa malah ayah biologis tersebut boleh dijadikan wali nikah yang akan memengaruhi keabsahan nikah, padahal tidak boleh.

Sekarang, jika kita mengikuti pendapat yang pertama (anak zina tidak bisa intisab), lalu bagaimana nasib si anak (hasil) zina tersebut?
Seperti telah disinggung di atas, anak zina berintisab kepada ibu kandungnya atau bisa juga berintisab kepada orang yang menikahi ibunya, dengan syarat adanya pengakuan dari orang tersebut. Dan si anak pun menjadi tanggung jawabnya, bisa mewaris, nafkah, dan lain-lain sebagaimana anaknya asli.

Syarat pengakuan dari si suami sah ini sangat penting, karena konsekwensi yang didapat jika tidak adanya pengakuan adalah beban anak ini bisa terlepas darinya, yaitu dengan cara si suami bersumpah li’an dengan mengucapkan, “Jika aku berdusta atas pengakuanku, maka aku akan dilaknati Allah”. Li’an ini akan menafikan hubungan nasabnya dengan anak itu, dan merembet ke nafkah dan waris. Li’an ini juga bisa diperkuat dengan bukti bahwa dia belum pernah berhubungan intim dengan istrinya, atau pernah tapi selang waktu antara hubungan intimnya dengan kelahiran anak tadi tidak kurang dari 6 bulan atau lebih dari 4 tahun. Ketentuan ini berdasarkan istiqro’ (penelitian) Imam Syafi’i yaitu angka minimalnya waktu hamil adalah enam bulan, sedangkan maksimalnya adalah empat tahun. Dan sumpah li’an juga akan berdampak putusnya ikatan perkawinan antara suami istri. Namun, sumpah li’an dalam kasus ini tidak menyebabkan haddul qodzaf. (Fathul Wahhab, II, 172; Rawai’ul Bayan, II, 76; Hasyiyatul Jamal, XIX, 110; Raudlatut Thalibin Wa ‘Umdatul Muftin, III, 224)

Kesimpulannya, seorang anak hanya bisa bernasab dengan pernikahan, dan bukan hanya dari hubungan intim saja, walaupun ada qoul yang berpendapat berbeda. Jadi, anak yang dilahirkan dari hasil zina, maupun yang ditentukan dari penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat bernasab kepada ayah biologisnya. “Dan janganlah dekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.”[eLFa]

El-Fajr Edisi 23

Jumat, 02 Maret 2012

Menelisik Persaksian Bohong

Kejujuran, seolah menjadi barang yang sangat langka dan mahal luar biasa di negeri ini. Drama adegan “baku hantam” politik menjadi tontonan yang tak kunjung usai. Tak hanya di ranah politik, bahkan pada sidang pengadilan pun kepalsuan dan kebohongan seolah mewabah. Menyedihkan.

Soal Angelina Sondakh misalnya. Saat menjadi saksi dalam kasus Wisma Atlet dengan terdaksa M Nazaruddin pada Rabu (15/2/2012) diragukan kebenaran kesaksiannya dan diduga ia berbohong. Kesaksian Angie bertolak belakang dengan kesaksian Mindo Rosalina (saksi pada sidang 16/1/2012). Angie seolah “mencari aman” dalam kesaksian tersebut, sebab dalam kasus yang sama ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Kesaksian Angie yang diragukan, antara lain terlihat dalam kesaksian Mindo yang mengatakan, “Benar itu isi percakapan Blackberry Messenger (BBM) dengan Angelina Sondakh”. Tetapi kemudian dibantah Angie dengan mengatakan, “Saya tidak menggunakan Blackberry sebelum akhir tahun 2010. Itu bukan percakapan saya”. Pernyataan lainnya, Mindo mengungkapkan, “Bu Angie menyebut ketua dan bos besar. Ketua adalah ketua Komisi X DPR dan bos besar adalah AU”. Tetapi Angie menolak dengan mengatakan, “Tidak pernah menyebut Anas Urbaningrum dalam BBM dengan Rosa (Mindo)” (Kompas, Kamis/16 Februari 2012).

Ulasan ini bukan untuk menghakimi siapa yang berbohong dan siapa yang bersalah. Biarlah pengadilan di negeri ini yang bertugas memutuskan siapa yang berbohong dan siapa yang tidak. Siapa yang bersalah dan siapa yang bebas. Di sini hanya akan mengurai bagaimana perspektif fiqh, bila para saksi yang dinanti keterangan kejujurannya, justru memberikan keterangan bohong dan palsu.

Saksi, dalam kitab salaf disebutkan, sebagai orang yang mengabarkan suatu perkara atau hal menurut apa yang dilihat atau didengarnya. Memberikan kesaksian sendiri, hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang benar-benar mengetahui kejadian perkara tersebut. (al-Majmu’, XX, 286)

Tak jauh dari definisi di atas, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Pasal 1 ayat 1menyatakan, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Di dalam al-Qur’an terdapat keterangan perintah memberikan kesaksian, yakni:

وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا

Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. (Q.S. al-Baqarah, 282)

Dalam tata cara Fiqh, tidak sembarang orang bisa menjadi saksi. Syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang agar bisa menjadi saksi adalah, [1] Islam, orang kafir tidak boleh menjadi saksi, baik untuk orang Islam atau orang kafir. [2] Aqil (berakal), maka orang gila tidak boleh menjadi saksi. [3] Baligh, maka anak yang belum baligh (shoby) tidak boleh menjadi saksi. [4] Hurriyyah (merdeka), maka seorang budak tidak boleh menjadi saksi. [5] Adil, yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar, atau melakukan dosa kecil yang dilakukan secara rutin, maka di sini tidak sah persaksian orang fasik yang notabenenya adalah kebalikan dari adil. [6] Menjaga muru’ah (harga diri), sebab orang yang tidak menjaga muru’ah berarti dia tidak punya sifat malu, dan orang yang tidak punya sifat malu akan melakukan apa yang diinginkan sesuai dengan kehendaknya. [7] Tidak punya kepentingan. Misalnya kesaksian anak pada bapaknya atau sebaliknya, istri kepada suaminya, dan semacamnya, itu berarti saksi mempunyai kepentingan untuk membebaskan terdakwa, maka tidak diperbolehkan. [8] Mampu bicara, maka orang yang bisu tidak diperbolehkan menjadi saksi, sekalipun bisa dipahami bahasa isyaratnya. [9] Sadar, sepenuhnya mengetahui tindakan berdasar dengan kesadaran akalnya. Maka orang yang tidak sadar atau setengah sadar tidak diperbolehkan menjadi saksi. [10] Tidak idiot. Karena orang idiot tidak diperbolehkan melakukan transaksi. (Hasyiyatul Bujairimy ‘Alal Khatib, XIV, 68; I’anatut Thalibin, III, 312)

Saksi, boleh saja mengajukan diri ke pengadilan untuk mengutarakan persaksiannya. Ia bisa juga dipanggil oleh pihak pengadilan untuk dimintai persaksian. Namun, antara keduanya, yang lebih baik adalah mengajukan diri sendiri ke pengadilan untuk menyampaikan persaksian. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi:

ألا أخبركم بخير الشهداء ؟ الذي يؤدي شهادته قبل أن يسأل عنها

Maukah kalian aku beri tahu sebaik-baik saksi? Yaitu orang yang datang memberi saksi sebelum diminta persaksiannya.(Mushonnaf Abdur Rozaq, VIII, 364)

Terkait soal ini, Undang-Undang pasal 224 KUHP justru menyatakan, saksi yang telah dipanggil ke suatu pengadilan tapi dia menolak, maka dia bisa terkena pidana. Karena menjadi saksi dalam persidangan adalah kewajiban warga Negara yang telah dipanggil secara sah.

Kembali kepada sorotan Islam, klasifikasi mengenai jumlah saksi minimal berbeda antara satu masalah dengan masalah lain, [a] Rukyah Hilal yaitu untuk mengetahui awal Ramadhan yang berhubungan dengan puasa wajib. Yang dibutuhkan adalah satu orang laki-laki, tidak boleh perempuan atau khuntsa. [b] Zina dan anal sex, yaitu empat saksi laki-laki yang semuanya benar-benar melihat masuknya khasyafah ke dalam farji. [c] Masalah mal (harta), seperti jual beli, sewa, hutang, pembebasan hutang, wakaf, gadai, hiwalah, khiyar, dll. yaitu butuh dua laki-laki atau satu laki-laki ditambah dua perempuan atau satu laki-laki dan sumpah. [d] Tidak berhubungan dengan harta, seperti had orang yang minum khamr, mencuri, dakwa zina. Juga semua perihal yang jelas bagi laki-laki seperti nikah, rujuk, mati, talak, baligh, wakalah, syirkah, dll. yaitu dua orang laki-laki, tidak boleh perempuan. [e] Semua yang jelas bagi wanita, seperti kelahiran, haidl, radla’, keperawanan, kejandaan, yaitu empat orang wanita atau satu orang laki-laki ditambah dua wanita atau dua laki-laki. (Fathul Mu’in, IV, 313-317)

Lalu bagaimana dengan masalah kebohongan saksi?
Berbohong adalah penyakit kronis yang sedikit demi sedikit akan menggerogoti nilai-nilai Islam. Banyak alasan yang melandasi seseorang melakukan kebohongan. Salah satu motif penyebab melakukan kebohongan adalah kapitalisme, seperti terekam dalam sabda Nabi saw:

مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ هُوَ عَلَيْهَا فَاجِرٌ لَقِيَ اللَّهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ

Barang siapa yang bersumpah yang dengannya dia mengambil harta seorang muslim,sedangkan sumpahnya adalah palsu maka ia akan menghadap Allah dalam keadaan Dia murka kepadanya. (Shahih Bukhari, VIII, 172)

Berbohong juga termasuk dosa yang sampai-sampai ia adalah merupakan salah satu dari tanda-tanda orang munafik. Nabi pernah berkata:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, apabila berkata dia dusta, apabila berjanji dia mengingkari, dan apabila diberi amanat dia khianat. (Shahih bukhari, I, 58).
Dalam al-Qur’an menyebutkan:

وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

Dan jauhilah perkataan bohong. (al-Hajj, 30)

Kita harus benar-benar menjauhi dosa yang satu ini. Terpeleset sedikit saja bisa memasukkan kita ke dalam neraka. Karena lisan juga bisa memprovokasi dosa-dosa yang lain seperti pertengkaran, permusuhan, dan sebagainya yang bisa menuntun ke neraka. Karena itu, hendaklah kita jauhi. Semua perkataan yang keluar dari lisan kita pasti tak luput dari pena yang dipegang Malaikat Roqib dan ‘Atid. Dalam al-Qur’an disebutkan :

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. (Q.S. Qof, 18)

Adapun hukuman yang berhak diterima oleh orang yang bersaksi palsu adalah dita’zir. Ta’zir bisa berupa ditahan, dipukul, pencemaran nama baik, atau sesuatu yang bisa membuatnya jera. (al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, XX, 232)

Namun, saksi palsu dapat dinyatakan sebagai saksi palsu apabila: dia sendiri mengaku (iqrar) bahwa dirinya berbohong, atau adanya bukti bahwa ia bohong, atau jelas sekali kebohongannya, seperti bersaksi kepada seseorang yang melakukan zina, padahal orang yang didakwa itu pada waktu yang dituturkannya sedang berada di tempat lain. (al-Majmu’, XX, 232).

Selain itu, bila sebelum bersaksi, orang tersebut disumpah dengan nama Allah, dan kemudian memberikan keterangan yang tidak benar, maka saksi tersebut melanggar sumpah dan dikenakan kafarat (tebusan). Yaitu memilih antara memerdekakan budak, memberi makan sepuluh orang miskin tiap satu orang satu mud, atau memberi pakaian kepada orang miskin. Jika tidak sanggup memenuhi kaffarat yang tertera tadi, maka diwajibkan berpuasa selama tiga hari. (I’anatut Thalibin, IV, 41)

Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab IX tentang sumpah palsu dan keterangan palsu pasal 242 ayat (1) disebutkan, Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sedang ayat (2) menyatakan, jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Bagi kita, janganlah sesekali berteman dengan kebohongan, sekecil apapun. Karena mulai dari kebohongan kecil itulah, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi gunung yang memberatkan kita. [eLFa]

El-Fajr Edisi 22