Jumat, 23 Maret 2012

Penimbunan BBM, Jangan Ah !

Semua orang telah mendengar tentang kebijakan pemerintah akan menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Kenaikan ini terjadi karena pemerintah tak mampu lagi memberikan subsidi pada BBM. Pemerintah telah mempertimbangkannya, yaitu bersamaan dengan naiknya harga minyak mentah dunia di pasaran Internasional.

Rencana pemerintah menaikan harga BBM ini menimbulkan banyak persoalan. Banyak rakyat kelas menengah ke bawah mungkin merasa tercekik dengan kondisi yang sedemikian rupa. Ini logis, sebab kenaikan harga BBM juga akan memicu kenaikan harga sembako dan harga-harga lainnya. Masyarakat kelas kecil semakin tersudutkan.

Selain itu, dari laporan Kompas (Jumat, 9 Maret 2012) disebutkan, permintaan BBM melonjak naik. Hal ini diduga banyaknya aksi sejumlah warga melakukan spekulasi untuk meraup keuntungan besar dengan cara menimbun BBM dan dijual pada saat harga sudah naik. Tindakan ini bertujuan untuk meraup laba dengan jumlah besar, karena ia membeli dengan harga yang belum dinaikkan, jauh di bawah harga penjualan nantinya kalau suda dinaikkan. BBM yang ditimbun pun tak sedikit jumlanya. Aksi ini juga membuat permintaan BBM di SPBU bertambah, dan dikhawatirkan terjadi kelangkaan.
Bagaimana tindakan penimbunan ini tidak menyiksa? kabar berita kenaikan harga saja sudah menyulitkan, apalagi dengan penimbunan oleh spekulan-spekulan itu. Semakin merisaukan.

Bagaimana fiqh menghadapi masalah penimbunan BBM ini?

Dalam kitab salaf, penimbunan disebut ihtikar. Untuk memahami lebih jelas tentang ihtikar, kita harus memahami definisinya. Ihtikar yaitu membeli di waktu harga naik (waqtal ghola’) dan menimbunnya agar harga bertambah. Tujuannya untuk mendapat untung yang besar, tapi dengan cara menyimpan banyak barang, sehingga barang tersebut menjadi langka di pasaran. Sebenarnya, tidak semua yang termasuk ihtikar hukumnya haram. Menurut Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, ihtikar hanya tertentu pada bahan makanan pokok (aqwat) saja, termasuk anggur kering (zabib) dan kurma (tamr). Dan ada juga ulama yang berpendapat termasuk juga lauk pauk dan buah-buahan. (Hasyiyatul Jamal, X, 457; al-Majmu’, XIII, 44, Fiqhus Sunnah, 3, 107)

Ihtikar makanan pokok diharamkan karena adanya unsur menyulitkan masyarakat (tadlyiq). Sehingga masyarakat begitu susah bahkan tidak bisa untuk mendapatkan makanan sebagai sumber energi baginya. (Asnal Mathalib, VIII, 50)

Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf, ihtikar diharamkan untuk semua jenis barang yang merugikan masyarakat jika ditimbun. Baik itu makanan pokok atau tidak, sampai emas, perak, pakaian pun bisa. Jadi, menurut Imam Abu Yusuf, BBM termasuk di dalamnya dilarang menimbun, karena kelangkaannya membuat masyarakat dirugikan. (Subulus Salam, IV, 130)

Nabi pernah berkata:

الْجَالِبُ مَرْزُوقٌ وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُونٌ

Orang yang mendatangkan barang (akan) diberi rezeki dan orang yang menimbun akan dilaknat. (Sunan Ibnu Majah, VI, 375)

Dan Imam Muslim juga pernah mencatatkan bahwa Nabi Muhammad berkata:

لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ

Tidak melakukan penimbunan kecuali pendosa. (Shahih Muslim, VIII, 313)

Menurut ahli lughat, al-khothi’ berarti adalah al-‘ashi atau al-atsim yang artinya orang yang berdosa. Hadits ini jelas menyatakan keharaman ihtikar. (Syarhun Nawawi Ala Muslim, V, 482)

Tapi karena BBM tidak termasuk bahan makanan pokok, tidak pula lauk pauk atau buah-buahan, maka bukan masuk dalam ihtikar yang diharamkan. (Kecuali menurut Imam Abu Yusuf yang menganggap penimbunan BBM termasuk ihtikar yang haram).

Namun begitu, penimbunan BBM tersebut tidak lantas diperbolekan begitu saja. Masih ada alasan lain yang mengaramkan tindakan tersebut. Keharaman penimbunan BBM bukan semata karena ihtikar, tapi karena menyalahi regulasi pemerintah dan penyalahgunaan subsidi yang ada. Sungguh Allah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisa’:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. an-Nisa’, 59)

Sebagai warga negara, kita diwajibkan patuh kepada pemerintah (ulil amri). Dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pasal 53 ayat c, disebutkan penyimpanan tanpa izin diancam pidana paling lama tiga tahun dan denda paling tinggi 30 miliar rupiah.

Jadi, penimbunan BBM, yang tidak masuk dalam ihtikar haram, hukumnya adalah haram dengan alasan melanggar peraturan pemerintah. Dalam rumusnya, jika yang dilarang oleh pemerintah adalah barang haram, maka makin tambah keharamannya. Dan jika yang dilarang adalah barang mubah, maka hukumnya menjadi haram, apalagi larangan tersebut mempunyai mashlahat bagi masyarakat. (Hawasyi Syarwani, III, 72)

Peraturan pemerintah memang seharusnya selalu berjalan selaras kepada kesejahteraan rakyatnya. Seperti yang tersurat dalam kaidah fiqh yaitu:

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Perlakuan pemerintah atas rakyat harus berdasarkan pada kemashlahatan umat.
Imam Syafi’i berkata, ”Posisi pemerintah dalam hubungannya dengan rakyat seperti halnya posisi wali terhadap anak yatim”. Ibarat anak yatim, rakyat harus dipenuhi hak-hak mereka dengan diperhatikan kemakmuran dan kesejahteraan mereka. (al-Asybah Wan Nadhair, I, 220)

Jika penimbunan BBM adalah perbuatan haram, lalu bagaimana hukum barang (BBM) tersebut? Halalkah?

Menurut pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa penimbunan BBM tidak termasuk ihtikar tapi menyalahi peraturan pemerintah, hukum akad tersebut fasid, tidak sah, dan bukan barang miliknya. Kasus ini, menurut madzhab Hambali, seperti dalam kasus shalat menggunakan pakaian atau tempat ghasab, hukumnya tidak sah. Karena amrin kharijin (perkara di luar dzat) maksiat itu memengaruhi sah tidaknya ibadah ataupun akad.(Anwarul Buruq Fi Anwa’il Furuq, III, 258)

Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, menurut mereka hukum barang tersebut tetap halal. Akad jual beli yang berlangsung tidak fasid, dalam arti sah tapi haram (sah ma’al hurmah). Barang tersebut tetap bisa dimiliki, hanya saja menggunakan cara haram. Karena, penimbunan tidak termasuk dalam nafsil aqdi (inti akad), maka tidak mempengaruhi sah tidaknya akad yang terjadi. (Nailul Authar, III, 11)

Sama ketika mengikuti pendapat Imam Abu Yusuf yang mengatakan bahwa penimbunan BBM termasuk ihtikar. Hukum akad tersebut tetap sah, tapi dilarang (haram). Barang ataupun uangnya halal, hanya saja perbuatan menimbun barang tersebut haram.
Dalam kaidah fiqhnya disebutkan:

إذا عاد التحريم إلى نفس العبادة أو شرطها فسدت وإذا عاد إلى أمر خارج لم تفسد وكذلك المعاملة

Jika pengharaman berkaitan dengan dzat suatu ibadah atau syaratnya, maka ibadah tersebut batal. Dan jika berkaitan dengan perkara di luar dzat dan syaratnya, maka ibadah itu tidaklah batal. Demikian pula permasalahan muamalah.

Akhirnya, sebagai warga muslim Indonesia, hendaknya kita tidak mencari keuntungan dengan jalan yang dilarang pemerintah, dan merugikan banyak orang lain. Kita berharap aparat yang berwenang mampu mencegah dan melakukan tindakan terhadap oknum-oknum yang sengaja menimbun BBM demi keuntungan sesaat. Seandainya diberi pilihan, rakyat akan memilih harga BBM tidak usah dinaikkan, karena hal ini akan merembet pada kenaikan harga-harga lainnya. Pun, kalau pilihannya memang tak bisa lain, menaikkan harga BBM, janganlah perberat kami dengan pengalaman yang sudah-sudah, adanya kelangkaan BBM menjelang kenaikan harga. [eLFa]

Buletin El-Fajr Edisi 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar