Jumat, 14 Oktober 2011

HATI-HATI SMS BERHADIAH

Sudah jamak di kalangan kita, banyak acara yang bertaburan iming-iming hadiah besar. Di televisi misalnya, banyak acara yang menyelenggaraannya didukung dengan kuis melalui polling SMS. Semisal kontes menyanyi, da’i, lawak, olahraga dan lain-lain. Acara ini juga menawarkan hadiah yang menarik sehingga banyak masyarakat tergiur dengan hadiah-hadiah tersebut. Cukup dengan mengirimkan SMS (Short Message Service), peluang jadi jutawan sudah di ambang mata. Semakin banyak SMS yang dikirimkan maka semakin besar peluang untuk jadi jutawan. Tapi sebaliknya, jika tak jadi jutawan, banyak pulsa melayang. Cara yang ditawarakan dalam kuis itupun cukup mudah, yaitu dengan mengirimkan SMS. Operator akan mengundi nomor-nomor yang masuk, dan yang keluar itulah yang jadi pemenang dan tak mustahil menjadi orang kaya mendadak.

Model kuis SMS pun bervariasi Ada model kuis SMS memberikan dukungan kepada sang idola Biasanya cukup dengan mengetik nama idola yang sedang bertarung dalam kontes menyanyi atau da’i. Kalu beruntung, nomor anda akan keluar sebagai pemenang. Model lainnya, seperti dalam kuis dalam olah raga. Model ini dengan cara mengacak semua nomor yang masuk, kemudian nomor HP yang muncul akan dihubungi dan mendapatkan pertanyaan dari pihak penyelenggara. Kalau jawabannya tepat akan diberi hadiah. Dan masih ada juga model-model mekanisme kuis SMS berhadiah yang lain.

Lalu, bagaimana hukum kuis SMS jika dipandang dari kacamata fiqh?

Praktik semacam ini erat kaitannya dengan judi. Menurut Islam, judi adalah permainan yang di dalamnya terdapat kebimbangan antara untung dan rugi, sehingga membuat para audiensnya berharap-harap cemas. Dalam kitab-kitab salaf, judi biasanya disebutkan dengan menggunakan kata qimar atau maysir. Tapi antara qimar dan maysir tetap ada perbedaan yang sangat tipis sekali. Berangkat dari Hadits “كل قمار ميسر”, bisa difahami bahwa kata maysir lebih umum daripada kata qimar. Sehingga dapat disimpulkan setiap qimar adalah maysir, tapi setiap maysir belum tentu qimar. (Hasyiyatu al-Jamal, XXII, 269; Tafsir at-Thobari, IV, 323) Beberapa ulama juga ada yang berpendapat bahwa maysir dan qimar itu sama. Dan di sini kita anggap saja sama yaitu “judi”. (al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, XX, 117)

Keharaman pada judi baru muncul ketika pada zaman nabi kita yaitu Nabi Muhammad. Sedangkan pada nabi-nabi sebelumnya judi belum dilarang. (al-Mabsuth, XIII, 52)

Al-Qur’an juga angkat bicara tentang masalah perjudian:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah, 90)

Ayat ini turun karena adanya perjudian yang dilakukan orang-orang Arab Jahiliah zaman dahulu. Ada sepuluh orang pemain membeli seekor unta lalu disembelih dan dijadikan 28 (dua puluh delapan) bagian. Kemudian mengambil sepuluh lembar potongan kayu yang pada masing-masing lembar ditulisi al-Fadzdz berisi 1 bagian, al-Tauam berisi 2 bagian, al-Raqiib berisi 3 bagian, al-Hils berisi 4 bagian, al-Nafiis berisi 5 bagian, al-Musbil berisi 6 bagian, al-Mu’alla berisi 7 bagian (jumlah 28 bagian), al-Maniih Nihil, al-Safiih Nihil dan al-Waghd Nihil. Lalu lembaran kayu itu dikocok dan diambil oleh masing-masing pemain. Yang mengambil Al-Maniih, Al-Safiih dan Al-Waghd adalah pihak yang kalah dan harus membayar harga unta tersebut, sementara tujuh orang pemain lainnya tidak berkewajiban apa-apa. Kemudian daging unta itu dibagi-bagikan kepada fakir miskin. (Tafsir al-Maraghy, I, 139 – 140).

Semua yang mengandung taruhan itu termasuk maysir, sehingga permaianan anak-anak pun bisa masuk dalam kategorinya. Media yang banyak digunakan sekarang seperti kartu, dadu, domino, kelereng, catur, dan sebagainya oleh anak-anak ataupun orang dewasa. Menurut Imam Malik, judi dibedakan menjadi dua macam : Pertama, maysirul lahwi yaitu perjudian dengan menggunakan alat-alat seperti dadu, catur, alat musik dan lainnya. Kedua, maysirul qimar yaitu perjudian yang mempunyai resiko-resiko antara rugi-untung. (al-Jami’ Li al-Ahkami al-Qur’an Li al-Qurthuby, I, 632)

Adapun perlombaan yang digambarkan oleh syara’ dalam hal ini, seperti yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab salaf, dibagi dalam dua jenis model. Pertama, jika sumber hadiah perlombaan berasal dari salah satu pihak (yang mengikuti lomba). Seperti ketika seseorang berkata pada lawan tandingannya, “Jika kamu dapat menang atasku maka kamu mendapatkan sesuatu dariku tetapi jika aku menang darimu, aku tidak mendapat apapun darimu”. Dan secara singkat perlombaan ini bersifat dari salah satu pihak yang berani mempertaruhkan sesuatu yang dimilikinya.

Kedua, jika sumber hadiah pemenang berasal dari pihak yang kalah seperti ketika seseorang menantang lawannya dan berkata,”Jika aku menang maka aku mendapatkan sesuatu darimu dan jika kamu menang maka kamu mendapat sesuatu dariku”. Proses semacam ini, hadiah dari kedua belah pihak, hukumnya haram. Tapi model ini bisa jadi diperbolehkan dengan syarat adanya muhallil (pihak netral yang menjadi penengah antara kedua belah pihak). Disebut muhallil karena dia adalah penyebab halalnya perlombaan. Muhallil sendiri, apabila menang mendapatkan hadiah yang berasal dari kedua belah pihak, tetapi jika kalah maka ia tidak membayar uang (harta) yang menjadi sumber hadiah. (al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, XV, 150; Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, XXVII, 309)

Muhallil juga disyaratkan harus memiliki kompetensi dalam bidang yang diperlombakan. Jadi, jika muhallil diyakini pasti kalah maka hal itu menjadikan perlombaan ini tetap tidak sah karena wujuduhu ka ‘adamihi (wujudnya seperti tiadanya) dan keberadaanya tidak ada artinya. (Ibaanah al-Ahkam, III, 184)

Ada sebuah hadits yang berbunyi :

مَنْ أَدْخَلَ فَرَسًا بَيْنَ فَرَسَيْنِ وَهُوَ آمِنٌ أَنْ يَسْبِقَ فَهُوَ قِمَارٌ ، وَمَنْ أَدْخَلَ فَرَسًا بَيْنَ فَرَسَيْنِ وَهُوَ لَا يَأْمَنُ أَنْ يَسْبِقَ فَلَيْسَ بِقِمَارٍ

Barang siapa yang memasukkan seekor kuda di antara dua kuda dan dia merasa aman untuk menang, maka itu judi. Barang siapa yang memasukkan seekor kuda di antara dua kuda dan dia merasa tidak aman untuk menang, maka itu judi.

Di hadits ini, seorang muhallil (orang yang masuk antara dua orang yang berlomba), jika ia merasa aman, artinya tidak ada usaha untuk meraih juara (yakin kalah), maka termasuk judi. Tapi jika memungkinkan untuk menang, maka tidak judi. (Fatawy al-Kubra, VII, 17)

Lalu bagaimana dengan SMS berhadiah yang sekarang marak terjadi? Bisakah dianggap sebagai judi?

SMS berhadiah, kadang bertarif normal, kadang juga bertarif premium (premium call). Jika tarif SMS-nya normal, jelas tidak mungkin ada judi. Karena tarif itu adalah biaya kirim SMS, bukan masuk ke penyelenggara.

Tapi jika tarifnya premium, bisa jadi termasuk judi, karena kelebihan biaya pengiriman tadi dikirim ke penyelenggara untuk dikumpulkan sebagai modal pembelian hadiah. Premium Call adalah Layanan Informasi yang disediakan oleh Penyedia Jasa Informasi kepada pemanggil sebagai pengguna jasa, dimana biaya pemakaian pulsa premium seluruhnya dibebankan kepada pemanggil. Manfaatnya, bagi masyarakat mendapatkan jasa informasi yang dibutuhan seperti konsultasi kesehatan, infotainment, Party line, dll. Bagi service provider (penyelenggara) memperoleh pembagian pendapatan pulsa atas layanan informasi yang disediakan.

Bisa jadi juga tarif premium ini tidak temasuk judi, semisal tarif premium yang masuk ke penyelenggara digunakan untuk biaya administrasi. Dan hadiahnya bersumber dari sponsor atau penyelenggara, bukan berasal dari seluruh audiens. Atau, jika ada muhallilnya yang ikut berpartisipasi dalam kuis itu tanpa harus membayar sepeser pun kecuali biaya operasional. Tapi, penyelenggara mengadakan muhallil rasanya tidak mungkin.

Namun pada akhirnya, alangkah lebih baik jika kita tidak ikut-ikutan kuis berhadiah itu. Alasan utamanya adalah karena tidak adanya transparansi atau kejelasan dari penyelenggara mengenai sumber hadiah dan ada atau tidaknya muhallil yang bisa menghalalkannya. [eLFa]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar