Jumat, 09 Desember 2011

Taubatku untuk-Mu

Setiap waktu, setiap hari, bahkan setiap detik, manusia tak kan pernah lepas dari aturan yang telah dibuat sedemikian rupa oleh Allah. Mengingat hal itu, manusia pasti pernah melakukan pelanggaran (maksiat) terhadap aturan-aturan tersebut. Dan karena manusia diciptakan juga memiliki hati, maka pastilah dalam hidupnya pernah merasa menyesal akan perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan.
Sebab itu, muncullah suatu jalan yang akan membuat dosa-dosa yang diproduksi manusia itu luntur, walaupun tak seluruhnya. Jalan itu adalah taubat, sebagai pengakuan dosa.

Ada sebuah cerita menarik yang akan sedikit kami ulas. Pada suatu hari, seorang lelaki datang kepada Rabi'ah al-Adawiyah al-Bashriyyah. Tanpa banyak basa-basi pria itu pun bertanya, "Saya ini telah banyak melakukan dosa, maksiat saya menumpuk. Mungkin jika diukur melebihi gunung yang ada. Andai saja saya bertaubat, apakah Allah akan menerima taubat saya?". Dengan tegas Rabi'ah al-Adawiyah menjawab "Tidak".

Pada kesempatan yang berbeda, seorang lelaki lain datang kepadanya. Lelaki itu berkata, "Seandainya tiap butir pasir adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Semua jenis maksiat telah saya lakukan, baik kecil maupun besar. Apakah Allah masih menerima taubat saya?". Jawab Rabi'ah dengan tegas, "Pasti". Lalu ia menjelaskan, "Kalau Allah tidak berkenan menerima taubat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak manjalani taubat?. Untuk berhenti dari dosa, jangan pernah gunakan kata 'akan' atau 'andai kata'."

Yang bisa kita ambil dari kisah ini, bahwa secara naluri, kita tidak dapat memungkiri kecenderungan hampir tiap orang untuk melakukan taubat ketika jelas nyata-nyata berbuat salah. Hanya persoalannya, banyak orang tidak memahami apa yang mesti ia lakukan agar taubat tadi benar-benar diterima di sisi Allah. Akibatnya, keinginan untuk membersihkan dosa itu menjadi terabaikan. Selain itu, mungkin ini juga akibat dari tiadanya pemahaman makna taubat yang sesungguhnya.

Secara etimologi, taubat berarti kembali. Sedangkan secara terminologi, taubat berarti kembali dari dosa dan maksiat menuju taat kepada Allah dan mencapai ridlo-Nya. (Syarh an- Nawawy 'Ala Muslim, IX, 107; Tafsir ath-Thobary, XXIII, 493)
Ayat yang berbicara tentang taubat sangat beragam. Di antaranya adalah:

       •        •         •                  •     

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. at-Tahrim, 08)

Dalam ayat tersebut, kita orang-orang mukmin diperintah untuk bertaubat, kembali kepada Allah. Bukan hanya taubat-taubat yang biasa, tapi diberi sifat 'nasuha'. Pengertian taubat nasuha ialah taubat yang sebenar-benarnya, taubat yang bermakna kembali pada Allah dan tidak akan pergi menjauhi-Nya lagi. Tidak kembali melakukan maksiat. Taubat nasuha menurut ayat tersebut, bisa melebur kesalahan-kesalahan dan memasukkan ke dalam surga. (Tafsir ath-Thobary, XXIII, 493)

Dalam syariat Nabi Musa, taubat dilaksanakan dengan cara bunuh diri (QS. al-Baqarah, 54) setelah umat Nabi Musa bersama-sama menyembah patung sapi emas. Namun, lain ladang lain tanaman. Dalam syariat Nabi kita, hal itu malah dilarang, karena kewajiban untuk menjaga nyawa (hifdhun nafsi).

Ulama sepakat bahwa bersegera taubat hukumnya wajib karena telah melakukan dosa, besar ataupun kecil. Apabila seorang bertaubat untuk sebagian dari semua dosanya, taubat tersebut tetap sah menurut ahlul haq. Sedang dosa-dosa yang masih tersisa dan belum ditaubati harus segera ditaubati. (Syarh an- Nawawy Ala Muslim, IX, 107; Riyadl as-Sholihin, I, 3)

Syarat taubat yang harus dilakukan seseorang setelah maksiat adalah: Pertama, jika maksiat yang dilakukan tidak berhubungan dengan haq adamy (hak kemanusiaan) maka ada tiga syarat: [a] Berhenti dari maksiat [b] Menyesali perbuatan [c] Tekad kuat untuk tidak melakukannya lagi. Kedua, jika berhubungan dengan haq adamy, seseorang harus bebas dari hak orang yang bersangkutan. Jika berupa barang, maka wajib mengembalikan atau menggantinya. Jika berupa tuduhan, omongan, atau sejenisnya, maka wajib untuk meminta maaf. Sedangkan jika merasa pernah salah namun tidak diketahui salahnya, maka dengan meminta halal. Singkat cerita, permasalahan antar individu harus selesai. (Riyadl as-Sholihin, I, 3)

Sejatinya, menurut al-Kalby, taubat nasuha adalah beristighfar dengan lisan, penyesalan dengan hati, dan pengekangan dari maksiat dengan anggota badan. sedang menurut Muhammad bin Ka'ab al-Qordliy, taubat nasuha mencakup empat hal yaitu : memohon ampunan dengan lisan, menjauhkan diri dari dosa dengan badan, berniat tidak mengulangi dengan hati dan berhenti berbuat buruk kepada orang lain. (Tafsir al-Khozin, VI, 128)

Menurut Dzunnun al-Mishriy, taubat harus merambah luas ke seluruh tubuh. Hati, bertaubat dengan cara meninggalkan perbuatan tercela. Mata, bertaubat dengan memejamkan mata dari semua yang diharamkam. Tangan, bertaubat dengan tidak mengambil barang yang tidak halal. Kaki, bertaubat dengan tidak berjalannya menuju hiburan-hiburan yang dilarang agama. Telinga, bertaubat dengan tidak mendengarkan barang-barang batil. Kemaluan, bertaubat dengan tidak melakukan hal tercela. Begitu seterusnya, sampai taubat menyeluruh dari ujung jari kaki sampai ujung kepala. (Mukfirot adz-Dzunub Wa Mujibat al-Jannah, I, 4)

Antara rasul, wali, dan manusia biasa pasti mempunyai cara tersendiri dalam ma'rifat kepada Allah. Maka dari itu, ada pula tingkatan tersendiri mereka bertaubat. [1] Taubat, adalah tingkatan orang mukmin. Allah berfirman, "Bertaubatlah kalian kepada Allah wahai orang-orang beriman" (QS. an-Nur, 31). [2] Inabah, adalah tingkatan para wali dan muqorrobin (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah). Allah berfirman, "Yaitu orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah" (QS. Qoff, 33). [3] Aubah, adalah tingkatan para nabi dan rasul. Allah berfirman, "Sebaik-baik hamba adalah orang yang bertaubat" (QS. Shod, 44). Jika seseorang melakukan taubat karena takut terhadap siksaan Allah dan ancaman-Nya, maka dia berada pada tingkatan inabah. Dan jika seseorang taubat karena menjalankan perintah, bukan karena mengharap pahala ataupun takut terhadap siksaan tetapi karena semata-mata cinta kepada Allah, maka dia sudah berada pada tingkatan aubah. Tingkat inilah yang paling tinggi. (Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, I, 46)

Mulai sekarang, marilah kita biasakan bertaubat. Dan ingatlah, jika ingin bertaubat, ikutilah aturan-aturan yang sudah tertera di atas. Tidak perlu menunggu sampai dosa itu menumpuk hingga seluas lautan. Siapa tahu sebelum Anda sempat bertaubat, nyawa anda sudah digandeng oleh Malaikat Azrail.

Walaupun memang zaman sekarang situasinya sudah berat, dan potensi yang memanggil-manggil agar berbuat maksiat pun sudah berlalu-lalang di depan mata kita. Tapi alangkah indahnya, jika maksiat-maksiat itu dijauhi dan disingkiri. Marilah kita memulai hari yang diidam-idamkan, yang damai, dan sejahtera. Jauh dari perbuatan-perbuatan dosa. [eLFa]

Buletin EL-FAJR Edisi 14/09 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar