Jumat, 24 Februari 2012

Guru Taat, Murid Hormat

Semakin banyak saja orang-orang miskin di Indonesia. Mereka berhamburan di mana-mana tak terurus oleh Negara. Mungkin mereka juga ingin bekerja dan kaya. Namun, nyatanya, mereka harus mengais sisa-sisa nasi di tong sampah, atau di kolong jembatan. Mengapa hal ini terjadi? Salah satu penyebab yang memengaruhinya adalah faktor pendidikan. Karena tak punya bekal keilmuan, mereka hanya tahu cara mencari makan hanya dengan mengais, tidak lebih.

Maka, sudah lazim apabila seluruh negara di belahan dunia ini memprioritaskan pendidikan. Karena negara memimpikan kemajuan dan benih generasi masa depan yang lebih unggul dalam segala bidang. Juga, supaya kualitas keilmuan tidak menurun dan terus meningkat. Lewat pendidikan itulah impian negara untuk maju dan lebih baik akan terealisasi.

Pendidikan bukan hanya sebatas kegiatan belajar mengajar (teaching and learning), akan tetapi juga merupakan salah satu bentuk ibadah. Seperti yang dikatakan al-Ghazali dalam kitabnya, “Kegiatan mengajar dan belajar merupakan ibadah yang paling utama di dunia”. (Ihya’ Ulumiddin, II, 76)

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan yang dalam bahasa arab disebut tarbiyah, mencakup dua hal penting, ta’lim (transfer ilmu) dan ta’dib (memperbaiki moral).

Tujuan pokok pendidikan adalah memanusiakan manusia. Artinya, menjadikan manusia makhluk yang berguna bagi sesama dan lingkungan di sekitarnya. Untuk mengidentifikasi apakah tujuan itu telah tercapai atau belum, biasanya dibuat indikator atau tolok ukur untuk memandang tercapainya tujuan. Indikator tersebut terkadang terlihat dalam perilaku, kebiasaan, dan kecenderungan seseorang di tiap harinya.
Dalam pendidikan terdapat pendidik (guru) dan peserta didik (murid). Keduanya harus ada interaksi dan komunikasi agar pendidikan berjalan dengan lancar dan membuahkan hasil. Keduanya pun memiliki peran, kewajiban, tanggung jawab, hak, dan etika.
Dalam tugas dan etika, murid harus mengamalkan antara lain, tidak menyombongkan ilmunya dan tidak menentang gurunya, tidak terlibat dalam kontroversi dan pertentangan akademis, mempunyai tujuan yang baik. Untuk lebih mantapnya suatu ilmu, seorang murid harus tirakat rela merantau (mondok) demi mendapatkan guru dan ilmu yang searah dengan hatinya. Sang murid juga harus mendahulukan ilmu-ilmu yang penting dan pokok, yaitu ilmu agama. (Ihya’ Ulumid Din, I, 52-56)

Begitu pula bagi seorang guru. Seorang guru juga mempunyai tugas. Tugas guru antara lain mengajarkan ilmu sesuai dengan kemampuan peserta didik, memberi perhatian lebih terhadap anak didik yang IQ-nya di bawah standar rata-rata, mengikuti jejak Rasul, dan memberikan kasih sayang kepada anak didiknya sebagaimana menyayangi anaknya sendiri. (Ihya’ Ulumid Din, I, 60-62)
Memang berat menjadi guru, lebih berat daripada menjadi murid. Seorang pahlawan tanpa tanda jasa itu, baru berhak mendapat predikat sebagai guru profesional apabila ia dapat menyampaikan materi secara komperhensif (lengkap dan mencakup semua hal).
Oleh sebab itu, mendurhakai guru lebih tercela daripada mendurhakai orang tuanya sendiri. Karena peran guru adalah sebagai orang yang mengeluarkan kita dari gelapnya kebodohan menuju lorong makrifat kepada Allah. Namun begitu, mereka sama-sama harus kita hormati. Bukan berarti mendurhakai orangtua diperbolehkan, malah tanpa adanya doa dan restu orang tua mungkin kita tak mungkin berhasil mancari ilmu. (al-Bahrul Madid, I, 60)

Sebagai insan pencari ilmu, baik remaja, dewasa, atau tua, pasti ingin mencapai keberhasilan dalam mencari suatu ilmu. Ini karena termasuk sifat kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang yang berakal sehat. Dalam kitab Ta’limul Muta’allimin telah dijelaskan mengenai kunci keberhasilan dalam menempuh ilmu. Adapun kunci kesuksesan tersebut ada enam. Pertama, dzaka’ (cerdas atau cerdik) yaitu cepat dalam berfikir dan menanggapi suatu permasalahan. Setiap orang yang ingin mencapai keberhasilan harus memiliki sifat tersebut.

Kedua, khirshun (rakus ilmu) yaitu adanya keinginan yang sangat mendalam untuk menghasilkan ilmu itu sendiri. Seseorang tidak akan memperoleh ilmu tanpa adanya keinginan. Ketiga, bulghoh (bekal) yaitu merasa cukup dengan bekal yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan hidup semasa menuntut ilmu. Ini dapat diketahui melalui tidak butuhnya seseorang pada orang lain dalam urusan rizki, karena kebutuhan yang satu ini mampu menimbulkan kekacauan dalam hati, sehingga untuk menghasilkan sebuah ilmu menjadi sukar.

Keempat, ishthibar (sabar) yaitu tidak mengeluh atas cobaan-cobaan yang telah diberikan oleh Allah terhadap hamba-Nya pencari ilmu. Terkadang seorang yang dalam keadaan menempuh ke jenjang pendidikan ketika mendapat cobaan baik yaitu berupa masalah keuangan atau wanita, sebagian dari mereka ada yang tidak sabar atas cobaan tersebut. Misalnya seorang itu putus sekolah karena faktor ekonomi yang tidak mendukung atau malas belajar yang timbul akibat wanita yang singgah dalam hati orang tersebut. Kelima, irsyadu ustadzin (bimbingan dari guru) yaitu petunjuk dari seorang guru yang bersifat baik dan benar sedangkan petunjuk guru yang bersifat tidak baik dan melanggar syara’ wajib tidak diikuti.

Keenam, thuulu zaman (lamanya waktu) atau dalam istilah ilmu pendidikan disebut ‘long life education’ yaitu lama dalam arti sampai mampu menghasilkan ilmu yang diinginkan. Baik itu berupa pendidikan formal ataupun non-formal. Pendidikan formal misalnya belajar di sekolahan, sedangkan pendidikan non-formal seperti pondok pesantren dan les privat. (Ta’limul Muta’allim, 15)

Tingkat intelegensi atau kecerdasan murid pasti juga tak lepas dari kepribadian dan lingkungan. Lebih dominan manakah antara keduanya? Memang, kedua-duanya bisa saja mendominasi tergantung pada kondisi saat itu. Namun, biasanya kepribadian itu mendominasi jika berada di kalangan masyarakat, dan lingkungan biasanya mendominasi jika berada di kalangan pesantren.

Karena guru adalah sumber ilmu, yang mana murid butuh akan bimbingannya, maka, murid harus memiliki etika terhadap guru. Kata-kata “jadikan guru sebagai teman” bukan berarti kita memperlakukannya seperti teman kita sebaya. Teman itu ada tiga macam. Pertama, dengan orang yang di atasnya seperti guru dan orang tua. Hakikat pertemanan ini adalah khidmat atau kepatuhan. Kedua, terhadap orang yang di bawahnya, yaitu sebagai bentuk sayang dan belas kasih. Dan yang terakhir, terhadap orang yang sederajat. Pengertian yang ketiga inilah makna teman yang biasa digunakan.
Murid wajib menghormati guru. Seseorang tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan mengagungkan ilmu dan pemiliknya (ahlul ilmi). Sayyidina Ali pernah berkata, “Aku adalah budak bagi orang yang telah mengajarkanku ilmu, walaupun itu hanya satu huruf”. Ini menunjukkan betapa mulianya ilmu dan orang yang memilikinya, sampai-sampai Sayyidina Ali pun rela mengaku sebagai budak hanya karena ilmu. Dan termasuk salah satu berntuk menghormati guru adalah tidak melakukan perbuatan seperti berjalan di depannya atau mendahuluinya dan tidak juga tempat duduknya juga tidak memotong pembicaraan kecuali kalau telah diizinkannya. Meskipun ini sudah kami paparkan di atas namun untuk menegaskan kembali bahwa ini termasuk salah satu dari cara menghormati guru. Dan termasuk menghormati guru juga, menghormati anaknya, kerabatnya, dan khodamnya. (Bariqotun Muhammadiyah Fi Syarh Thoriqoh Muhammadiyyah Wa Syari’ah Nabawiyyah, V, 185)

Mengenai etika yang juga perlu diketahui seorang murid adalah tidak tergesa-gesa memotong dan menanggapi ucapan guru sebelum guru selesai menyampaikan masalah. Murid dapat menanyakan isykal-isykal dari penjelasan guru setelah guru selesai dalam menyampaikan suatu materi. Nabi ketika mendapat wahyu dari Allah, beliau menjelaskan lafadz-lafadz dan menerangkan makna-maknanya. Ketika para sahabat tidak mengerti apa yang disampaikan oleh Nabi, mereka baru menanyakannya setelah Nabi selesai menerangkannya. (Tafsir as-Sa’diy, I, 889)

Dengan kata lain, murid itu dituntut untuk mengharap ridho dari guru, menjauhi kemurkaannya dan menjalankan perintahnya, selain perintah yang mengacu pada kemaksiatan. Sementara guru, selain mengajarkan ilmu sesuai dengan kemampuan peserta didik, juga harus memberi perhatian dan kasih sayang terhadap anak didik. Yang lebih penting, sikap dan perilaku guru sehari-hari mengikuti Rasul, melaksanakan sepenuh hati perintah-perintah Rasul dan menjauhi larangan-larangan Rasul. [eLFa]

EL-Fajr Edisi 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar