Sabtu, 04 Juni 2011

GRATIFIKASI, HIBAH ATAU SUAP?

Lebih dari sepuluh tahun Reformasi, bangsa ini belum mampu tuntas memerangi KKN. Bahkan disinyalir semakin hari, penyakit yang merongrong negeri ini kian tumbuh varian-varian serta model baru. Publik pasti terus mendengar kasus korupsi yang menjerat pejabat publik negeri ini. Belum tuntas satu kasus yang menerpa satu pejabat, muncul kasus lain, muncul "gaya" baru dalam kasus tersebut.

Tak hanya korupsi, suap pun disinyalir terus bermetamorfosis dengan sebutan-sebutan anyar. Apakah itu uang hibah, hadiah, bahkan uang persahabatan. Untuk sebutan paling akhir ini, publik pasti masih terngiang-ngiang ulah M Nazaruddin yang meninggalkan segepok uang dalam amplop pada Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK), Janedjri M Gaffar. Tak mau kesandung masalah, lembaga yang dipimpin Mahfud MD itupun langsung mengembalikan uang tersebut kepada Nazaruddin.
Mahfudz menyatakan, uang tersebut bukan termasuk dari suap, tetapi masuk dalam lingkup gratifikasi. Karena, pada saat itu Nazaruddin tidak punya perkara/kasus apapun dengannya.

Hemm, lalu, bagaimana pandangan fiqh tentang hal ini ?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) gratifikasi ialah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Dalam konsep fiqh, segala macam pemberian disebut ‘athiyah. Sedang ‘athiyah itu ada beberapa macam, yakni shadaqah, hadiah, dan hibah.

Shadaqoh ialah pemberian yang bertujuan untuk mendapatkan pahala. Dalam hal ini pemberian tersebut dimaksudkan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan sebagai penghormatan atau penghargaan atas prestasi seseorang. Baik bertujuan untuk mendapatkan pahala atau tidak. Bisa juga penghormatan ini dikarenakan penghormatan atas ilmu atau nasab yang dimilikinya. Sedangkan Hibah adalah pemberian kepada seseorang tanpa tendensi (tujuan) apapun. Jadi, hibah lebih umum dibandingkan dengan shadaqah dan hadiah. Baik shadaqah maupun hadiah, keduanya termasuk dalam kategori hibah, tapi tidak bisa diartikan sebaliknya. Adapun hukum semua pemberian di atas adalah sunnah. (Raudlah al-Thalibin Wa Umdah al-Muftin, IV, 132, Hasyiyah al-Jamal, XV, 60).

Namun begitu ternyata ada juga pemberian yang diharamkan yakni risywah (suap). Risywah adalah menyerahkan sesuatu kepada seseorang -baik hakim dan yang lain (pemegang keputusan)-, agar memberi sebuah keputusan atau agar si penerima melakukan sesuatu secara tidak benar sesuai dengan kehendak si pemberi demi kepentingan individu, kelompok, maupun golongan lain.
Dalam hal ini, baik orang yang memberi suap maupun orang yang menerima suap hukumnya haram seperti dalam hadits,
لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم . رواه ابن حبان وغيره وصححه
Allah melaknati orang yang meyuap dan yang disuap yang banyak terjadi pada masalah hukum

Beda lagi kasusnya, bila pemberian itu dimaksudkan agar si penerima memberi keputusan secara adil dan benar, maka dalam hal hukumnya dirinci. Bagi si pemberi diperbolehkan, tetapi bagi yang menerima hukumnya haram. (Asna al-Mathallib, XXII, 203, Fatawa as-Subkiy, I, 604-605).

Kemudian gratifikasi termasuk dalam kategori apa?
Secara umum gratifikasi masuk dalam kategori hibah, karena dalam hibah tidak ada maksud apapun di dalam pemberiannya. Akan tetapi bila pemberian (hadiah) kepada hakim atau pemegang kekuasaan, maka hukumnya dirinci. Dalam fiqh, pemegang kekuasaan sendiri terdiri dari 3 macam, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam konteks Indonesia, legislatif adalah mereka wakil rakyat mulai dari DPRD II Kabupaten, DPRD I Provinsi hingga DPR RI. Sedang eksekutif adalah Presiden, Menteri dan para aparatur negara mulai dari desa/kelurahan hingga pusat. Dan ketiga yudikatif yang dipegang oleh para hakim dalam memberikan keputusan hukum. Jadi, dalam persoalan hadiah ini, tidak hanya terbatas pada para hakim saja, tetapi menyangkut seluruh komponen pemegang kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif. (Al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, VIII, 6137)

Adapun hukum pemberian hadiah kepada pemegang kekuasaan adalah: Pertama, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang sedang mempunyai perkara, maka hal ini haram dikarenakan pemberian tersebut dapat membuat condongnya hati (memiliki tendensi) sang hakim kepada si pemberi.

Kedua, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang tidak mempunyai perkara, sedang biasanya orang tersebut tidak pernah memberi (ketika sebelum menjadi hakim), maka hukumnya haram. Tetapi dalam kitab al-Kifayah dirujuk dari kitab an Nihayah dan al Basith, mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh. Jika pemberian ini diharamkan, berarti si penerima tidak berhak menerima pemberian tersebut, sehingga ia harus mengembalikan kepada si pemberi, jika tidak memungkinkan, maka pemberian tersebut diserahkan ke baitul mal (kas Negara).

Ketiga, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seorang yang tidak memiliki perkara/kasus dan si pemberi memang biasa memberikan sesuatu kepada hakim atau pemegang kekuasaan sebelum menjadi pejabat, maka dalam hal ini hukumnya halal. Sedangkan hukum menerimanya adalah makruh dan lebih baik menolak/tidak menerimanya. Atau bisa juga si penerima menerimanya dan kemudian membalas pemberian tersebut, atau si penerima menerimanya kemudian pemberian tersebut dimasukkan ke dalam baitul mal, kas negara. (Asna al-Mathallib, XXII, 204)

Memang, semua pemberian itu rawan bila ditujukan bagi orang-orang yang memiliki jabatan. Kalau tidak hati-hati maka akan terjebak dalam kubangan risywah. Umar bin Abdul Aziz (W. 101 H), salah satu khalifah yang adil di masa Umayyah, mempunyai sikap kehati-hatian dalam menerima pemberian seseorang kepada dirinya. Dia bukannya tidak mau menerima hadiah, tapi ia masih harus berpikir ada maksud lain tidak dalam pemberian itu. Dia merasa ada yang tidak beres dalam pemberian tersebut. Dan itulah yang dilarang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu pemberian yang mempunyai kedudukan atau jabatan dengan tujuan agar dia bisa membantu si pemberi, untuk mencapai hal-hal yang tidak halal untuknya.

Umar bin Abdul Aziz dengan tegas berkata:
كانت الهدية في زمن رسول الله هدية واليوم رشوة
"Hadiah pada zaman Rasulullah masih (berfungsi) sebagai hadiah tapi pada saat ini (sudah berubah menjadi) suap."

Yang dimaksud hadiah di sini adalah hadiah kepada pejabat dan pegawai pemerintahan. (Shahih Bukhari, II, 916)

Maka menjadi logis kalau hadiah bagi pejabat sangatlah rawan. Karena akan bisa dijadikan kesempatan untuk meraih tujuan tertentu. Masalah gratifikasi ke pejabat sendiri sudah diatur dalam Undang-undang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyampaian laporan wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. KPK dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. Pelaporan gratifikasi ke KPK ini dilakukan dalam rangka menjaga martabat penerima dan pemberi jika memang perolehan dan pemberian gratifikasi tidak melanggar aturan hukum.

Akhirnya, sebagai rakyat, jangan terlalu mudah memberikan "hadiah" apapun terhadap para pegawai atau pejabat negara, baik itu ketika memiliki perkara atau tidak. Pelayanan serta tugas yang dijalankan para pejabat sudah menjadi kewajiban mereka selaku abdi Negara.

Di sisi lain, bagi para pejabat sudah menjadi kewajibannya melaporkan segala bentuk pemberian yang dialamatkan kepadanya kepada KPK. KPK akan memutuskan apakah pemberian tersebut daopat menjadi milik pejabat tersebut atau justru pemberian tersebut akan masuk dalam kas Negara.

Tetapi yang paling penting, baik dari rakyat maupun pejabat hendaknya sama-sama menyadari bahaya adanya "pemberian" yang berlebih tersebut. Hendaknya kedua belah pihak sama-sama menjaga diri dari godaan "setan" tersebut.

Kesadaran ini akan lebih mengena bila para pejabat yang berwenang (baik dalam penegakan hukum dan sebagainya) mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat. Tentu hal ini harus dimulai dari para pejabat untuk berbuat adil, menegakkan hukum tanpa pandang bulu dan anti menerima "pemberian" liar. Dengan sendirinya, rakyat akan segan dan bersama-sama memerangi suap dengan berbagai macam variannya. [eLFa]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar