Setiap jam,
menit, detik, dunia ini selalu mengalami perubahan. Tekhnologi pun mengalami
kemajuan yang pesat dalam segala bidang, sehingga pekerjaan manusia semakin
hari semakin ‘instan’. Begitu juga dalam dunia menggambar. Mungkin dahulu manusia
menggambar masih menggunakan bebatuan, seperti relief. Alat tulis pun tak lupa
mengalami perkembangan. Dunia teknologi juga unjuk gigi dalam bidang ini dan
malah lebih mudah. Tinggal ‘jepret’
langsung jadi sebuah gambar. Tehnik gambar yang “instan” ini disebut dengan “fotografi”.
Dunia fotografi
adalah dunia penuh warna. Semua yang nyata dengan mudah mampu tergambar dalam
selembar kertas. Objeknya pun bervariasi, mulai dari yang serius, yang lucu,
bahkan sampai yang aneh pun ada. Menjadi tak heran jika warta penuh dengan
foto, karena foto sejatinya mampu bercerita dan memberita. Foto juga dapat
dijadikan sebagai bukti sejarah atau pun menjadi kenangan-kenangan indah yang
pernah kita alami.
Bicara soal
objek foto, banyak objek yang bisa dijadikan sebagai bahan pemotretan, seperti
pemandangan indah, laut luas, dan tak jarang pula para pemotret mengambil objek
manusia, ataupun binatang sebagai bahan pemotretan. keduanya adalah makhluk
hidup.
Inilah yang akan
menjadi pembahasan kita kali ini. Apakah benar ada dalam fiqh tentang anggapan
bahwa menggambar makhluk hidup itu disamakan dengan pembuatan makhluk hidup
yang dilakukan oleh Tuhan?
Ada sebagian ulama yang berpendapat
mengharamkan menggambar manusia, binatang, ataupun hewan, yang mana termasuk
makhluk Allah yang mempunyai ruh. Sedangkan benda-benda yang tidak mempunyai
ruh, diperbolehkan menggambarnya. Mereka mendasarkan pendapat mereka dari
hadits:
مِنْ أَشَدِّ
النَّاسِ عَذَاباً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُصَوِّرُونَ هذِهِ الصُّوَرَ
Sesungguhnya termasuk
dari manusia yang paling pedih siksanya di hari kiamat adalah yang menggambar
gambaran ini.
(Fiqhus Sunnah, III, 498)
Tambah lagi
riwayat dari Abdullah bin Abbas tentang adanya ancaman bahwa besok di hari
kiamat orang-orang yang menggambar objek itu akan disuruh memberikan nyawa pada
gambarannya. Sedangkan orang-orang itu tak akan bisa meniupkan nyawa selamanya.
(Fiqhus Sunnah, III, 498)
Ada juga hadits Nabi
yang mengatakan:
لَا تَدْخُلُ
الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ
Malaikat tidak
akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar. (Shahih
Bukhari, III, 1206)
Hadits ini
menerangkan malaikat tidak mau masuk ke dalam rumah yang dihuni oleh anjing
dikarenakan banyaknya najis, dan juga karena anjing itu adalah syetan, seperti
yang ada dalam salah satu teks hadits. Sedangkan malaikat itu adalah lawan dari
syetan. Karena itu, malaikat tidak berkenan untuk masuk ke rumah tersebut.
Untuk yang gambar, malaikat tidak mau masuk rumah yang ada gambarannya
dikarenakan gambaran adalah dosa yang keji karena di dalamnya terdapat unsur menyerupai
buatan Allah, gambaran adalah sesembahan selain Allah. Maka dari itu malaikat
tidak sudi untuk masuk ke dalam rumah itu.
Namun, bukan
mutlak semua malaikat tidak mau masuk ke rumah yang ada gambarannya, tetapi
yang dimaksud adalah malaikat yang yang tugasnya berkeliling membagi rahmat,
berkah, dan ampunan. Adapun malaikat selain itu, tentu masih berkenan masuk
karena bertugas sebagai pencatat amal, penjaga diri manusia, atau pencabut
nyawa. Ketidakmauan malaikat tadi bukan karena malaikat rahmat itu takut pada
gambar, syetan, atau pada anjing, tapi memang telah di-setting oleh Sang
Pencipta seperti itu, sehingga pemilik rumah tidak mendapat jatah rahmat dan
ampunan yang sedang dibagi-bagi. (Syarhun Nawawi Ala Muslim, VII, 207)
Makhluk hidup
yang dimaksud di sini bukan hanya makhluk hidup yang sering kita lihat saja,
tetapi juga mencakup makhluk-makhluk hidup fantastis yang bahkan mungkin kita
belum pernah memikirkannya. Seperti kuda bersayap, burung berwajah manusia.
Semuanya termasuk diharamkan untuk menggambarnya, karena semua itu juga
menyerupai berhala. (Fathul Mu’in, III, 411; Ibanatul Ahkam, II,
335)
Menurut Imam al-Adzra’i,
pendapat yang telah masyhur mengatakan kebolehan menggambar hewan yang tidak
berkepala. Dipandang dari dhohir hadits, hewan yang tak berkepala,
berarti tak bisa hidup. Sedangkan yang diharamkan adalah yang dimungkinkan
hidup. (Mughnil Muhjat Ila Ma’rifati Alfadhil Minhaj, XIII, 104)
Berbeda lagi
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi. Beliau berpendapat bahwa boleh
membuat gambar begitu jika gambar itu tidak ada bayangannya. Jadi yang haram
adalah semacam patung yang berbentuk tiga dimensi. (Ibanatul Ahkam, II,
336)
Selain itu, pembuatan
gambar/patung berupa boneka, robot, dan mainan anak-anak lainnya diperbolehkan.
Dengan alasan mainan anak adalah kebutuhan bagi anak-anak, sampai mereka bisa
berpikir dewasa. Siti ‘Aisyah pun pernah bermain menggunakan boneka di samping
Rasulullah. Selain bentuk boneka, bentuk-bentuk binatang yang biasa ditemui
pada permen, botol minuman, juga diperbolehkan. Karena juga termasuk kebutuhan
bagi anak-anak. Gunanya adalah untuk melatih mereka dalam urusan pendidikan dan
sebagai sarana edukatif. (Fathul Mu’in, III, 413)
Alasan (‘illat)
kenapa menggambar ataupun membuat patung itu diharamkan adalah karena termasuk tasyabbuh.
Yaitu menyerupai buatan Allah dan menyerupakan dirinya (orang yang membuat)
dengan Allah. Segi persamaannya adalah sama-sama membuat bentuk makhluk.
Setiap perkara
yang diharamkan pastilah mengandung hikmah tersendiri. Begitupun juga tentang
pengharaman gambar dan patung ini. Hikmahnya adalah jauh dari berhala-berhala, melindungi
diri dari perbuatan syirik, dan menyembah berhala. Pernah diriwayatkan bahwa
nama-nama berhala seperti Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr, adalah nama
orang-orang shaleh kaum Nabi Nuh. Ketika orang-orang shaleh itu meninggal,
mereka membuat gambarnya untuk mengingat orang-orang shaleh itu. Dan pada
akhirnya mereka malah menyembah orang-orang yang digambar tadi. Karena itu,
menggambar jadi diharamkan karena nantinya akan berakhir pada penghambaan. (Tafsir
al-Qurthubi, XVIII, 308)
Bicara tentang ‘illat,
hukum itu berputar sesuai ‘illat-nya. Dalam kondisi sekarang, beda
dengan kondisi dahulu, ketika masyarakat Arab masih belum sempurna lepas dari
sesembahan nenek moyangnya yaitu patung. Sampai-sampai dalam sejarah mengatakan
pada zaman itu ka’bah dikelilingi oleh 360 patung. Dalam sosio-kultur masa itu,
memang dimungkinkan pembuatan gambar untuk disembah. Namun dalam kondisi
masyarakat sekarang ini, malah jarang-jarang ada pembuatan patung untuk
keperluan sesembahan, apalagi gambar. Maka, patung-patung seperti untuk
mengingat jasa pahlawan, monumen, ataupun untuk keperluan seni boleh saja.
Asalkan bukan untuk disembah.
Lalu bagaimana
tentang fotografi?
Dalam KBBI, pegertian dari fotografi
adalah seni dalam keterampilan membuat gambar dengan menggunakan film peka cahaya
dalam kamera. (KBBI, 435)
Para ulama ahli
fiqh mutaakhirin berpendapat bahwa fotografi (at-tashwir as-syamsi)
bukan termasuk dalam area haram seperti halnya menggambar dengan tangan. Karena
fotografi merupakan pengambilan gambar selayaknya bercermin. Kemudian bayangan itu
dihentikan sehingga menjadi sedemikian rupa. Lagi pula, dalam fotogari ini
tidak ada unsur tasyabbuh seperti yang disebut di depan tadi. Maka,
boleh-boleh saja memotret objek apapun. Asalkan bukan yang dilarang. (Ibanatul
Ahkam, II, 337)
Fotografi pun,
jika pengambilan objeknya adalah barang-barang yang banyak dhoror-nya,
tentu haram. Seperti foto syur, foto yang menghina orang lain, menghina Tuhan,
dan lain sebagainya. Bukan karena fotografinya, tapi karena objeknya adalah
sesuatu yang haram.
Akhirnya,
fotografi bukanlah merupakan tashwir, tetapi fotografi adalah menghentikan
bayangan. Jadi bukan termasuk tashwir yang diharamkan yang dibuat dengan
tangan. Juga sama sekali tidak menimbulkan dhoror. Dan lebih baik lagi
jika di dalamnya bisa menggugah semangat untuk beribadah, dan berisi maslahat
bagi umat. Lebih-lebih digunakan sebagai batu loncatan untuk berdakwah
menyebarkan Islam. So, ekspresikanlah senimu! [eLFa]
Buletin EL-FAJR MA'HAD QUDSIYYAH Edisi 30/21 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar