Jumat, 28 September 2012

Nabi Dihina, Tanggapi dengan Bijak

Film  Innocence of Muslims mengguncang dunia Islam. Film yang dibuat Nakoula Basseley Nakoula ini berisi penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw dan ajaran Islam. Dunia Islam mengutuk dan marah besar karena film ini dianggap memprovokasi umat Islam.

Berbagai unjuk rasa mengecam film Innocence of Muslims berlangsung di berbagai belahan dunia. Aksi protes massal terjadi di Kedubes AS berbagai negara seperti Mesir, Yaman, Tunisia, Bahrain, Malaysia, Indonesia, dan lainnya. Bahkan di Libya, film tersebut telah menimbulkan kemarahan warga yang menyerbu konsulat AS di Benghazi pada Selasa, 11 September lalu. Serangan itu menewaskan Dubes AS, Chris Stevens dan tiga pejabat AS lainnya.

Aksi kecaman lain diwujudkan dengan membakar bendera Amerika Serikat, serta bendera Israel yang dianggap ikut dalam mendiskreditkan Islam melalui film itu. Juga, beberapa demo yang dilakukan oleh beberapa demonstran yang berujung bentrokan dan kerusuhan.

Lalu, bagaimana respons kita?

Sebelumnya, terlebih dahulu membahas tentang boleh tidaknya memerankan Nabi Muhammad di dalam drama, sinetron, teater, ataupun sandiwara. Istilah pemeranan berarti memperagakan dari aktor yang dilakoni. (KBBI, 898)

Dalam bahasa Arab, memerankan adalah tamatsul. Ini berbeda dengan istilah meniru yang berarti meneladani perilaku dan sikap keluhuran Nabi dalam kehidupan sehari-hari, atau yang dalam bahasa arab disebut ittiba’ (megikuti tingkah laku). Karena, ittiba’ sangatlah dianjurkan, bahkan ada yang diwajibkan. (at-Ta’rifat, 64; al-Qomus al-Fiqhi Lughotan Wa Isthilahan, I, 48)

Permasalahannya, apakah tamatsul bisa masuk ke dalam kategori ittiba’ Nabi?

Pada dasarnya, kita dianjurkan meneladani atau paling tidak mengikuti sebagian sikap dan perilaku Nabi yang mulia. Seperti yang telah disebutkan Allah dalam surat Ali Imron ayat 31 yang berbunyi :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

Katakanlah wahai Muhammad jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku (ajaranku) maka Allah (juga) akan mencintai kalian serta mengampuni dosa – dosa kalian.(QS. Ali imron, 31)

Tetapi dalam masalah memerankan sosok Nabi, baik nash Al-Qur’an maupun Hadits  tidak ada yang menjelaskannya secara detail. Namun, ada beberapa kewajiban yang kita lakukan kepada sosok Nabi.
Pertama, kita sebagai umatnya memiliki tugas utama untuk senantiasa mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Nabi baik berupa perintah maupun larangan. Kedua, kita berkewajiban untuk mengagungkan Nabi, tidak boleh menghina dan merendahkan beliau. Orang yang berani menghina Nabi termasuk perbuatan dosa besar. Lebih-lebih, bila pelakunya beragama Islam maka ia tidak lagi diakui sebagai umat muslim dan halal darahnya untuk dibunuh. (Marqot Shu’udi at-tashdiq  fi Syarhi Sulamu at-Taufiq, 13; Is’ad ar-Rofiiq wa Bughyatu as-Shiddiq,II, 84)

Dalam realitanya, pemeranan nabi tidak akan bisa sama persis dengan wujud asli Nabi, akhlak maupun fisik. Hal ini akan mengurangi kehormatan dan keagungan Nabi. Padahal, Nabi itu ma’shum dari cacat akhlak maupun fisik. Oleh karena itu, memerankan nabi menjadi tidak boleh karena hal tersebut. (al-Buhuts al-Ilmiyyah, IV, 162)

Film Innocence of Muslims jelas-jelas tidak diperkenankan karena ada unsur pelecehan, penghinaan, serta penistaan terhadap Nabi. Dalam cuplikan film tersebut menggambarkan Nabi kita sebagai orang yang bodoh, hidung belang, penipu agama, pelecehan anak serta sifat-sifat yang tidak patut diberikan kepada Nabi. Na'udzu billahi min dzalik.
Selain itu, dalam film tersebut memang ada unsur provokasi yang disengaja untuk memecah belah umat muslim di dunia.
Mengenai proses hukum yang dijatuhkan bagi pelaku yang melecehkan Nabi, Ibnu Ibthal berpendapat, pelakunya harus dibunuh tanpa diminta pertaubatan. Menurut Ibnul Mundzir, pelaku harus diminta pertaubatan dulu. Dan jika ia adalah ahlul ‘ahdi (orang kafir yang berdamai dengan umat Islam), maka ia harus dibunuh, kecuali jika pelakunya masuk Islam. Menurut Imam Hanafi, ahlul ‘ahdi tidak dibunuh, tapi diserahkan kepada hakim, untuk dita’zir (diberi hukuman). (Subulus Salam, VIII, 59)

Ali bin Abi Tholib menuturkan bahwa ada seorang wanita Yahudi yang sering mencela dan menjelek-jelekan Nabi Muhammad. Oleh karena perbuatanya itu, perempuan tersebut telah dicekik sampai mati oleh seorang lelaki. Ternyata Rasulullah menghalalkan darahnya. Nash hadits tersebut menegaskan bahwa darah orang yang menghina Nabi adalah halal dibunuh. Dengan kata lain hukuman atas orang-orang yang mencela, merendahkan, memperolok-olok dan menghina Rasul adalah hukuman mati. (Sunan Abu Dawud, II, 533).

Selanjutnya bagaimana cara kita menanggapi provokasi tersebut yang akan memecah belah umat muslim?

Dengan keras, Islam sangat mengecam tindak provokasi, isi provokasi, dan isu-isu yang diusungnya, yang merupakan provokasi dalam tindak negatif. Sementara itu, jika diteliti dari aksi yang mengadu domba satu kelompok dengan kelompok yang lain, maka provokasi dalam kaca mata fiqh lebih identik dengan istilah namimah. (Is’adur Rofiq, 74)

Imam al-Ghazali menjelaskan panjang lebar, betapa tindak namimah dikecam keras oleh Allah dan Rasul- nya. Ayat yang bisa disebut mengecam provokator di antaranya adalah QS. al-Qalam ayat 10-11 yang berbunyi:

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِين هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,  yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. (QS. Al-Qalam, 10-11)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang dikutip al-Ghazali tentang namimah, yang menjelaskan bahwa tiada tempat yang lebih pantas bagi mereka kecuali neraka. Dan yang perlu digarisbawahi, provokator berupaya melakukan kerusakan di muka bumi. Karena bisa di pastikan, bahwa tindak provokasi selalu membuahkan hasil yang merusak. Misalnya seperti hadits berikut:

لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ نَمَّامٌ

Tidak akan masuk surga orang yang selalu mengadu domba. (al-Adzkar an-Nawawi, I, 335).

Maka cukuplah, penjelasan Al-qur'an dan hadist ini menjadi bukti bahwa dalam pandangan Islam provokator itu amatlah keji dan harus di hindari.

Khusus masalah provokator,  ada enam tips yang diberikan Imam al-Ghazali untuk menghadapi provokator. Pertama, apapun yang dikatakan provokator jangan sekali-kali dibenarkan. Kedua, berilah nasihat kepada provokator untuk menghentikan aksinya, dengan memberi tahu sisi buruk dari perbuatan provokasi. Ketiga, janganlah kita menyokongnya, karena Allah membencinya. Keempat, lakukan pengecekan untuk memastikan kebenaran isu yang dibawa provokator. Kelima, janganlah menjadi corong provokator untuk semakin menyebarkan isu yang diusungnya. Keenam, jangan sekali-kali mengikuti kata provokator, apakah itu menyuruh melakukan sesuatu atau melarang. (Ihya' Ulumiddin, III, 165)

Kembali ke soal film, lebih baik kita menyelesaikan masalah yang besar ini dengan damai dan bijak tanpa ada pertumpahan darah di antara kita. Karena, tindak kekerasan akan memunculkan persoalan baru lagi. Kita bersikap mengutuk dan tidak merelakan Nabi kita dihina, tetapi jangan dengan sikap dan tindakan anarkis. Pengecaman yang dilakukan jangan sampai kontraproduktif.

Jika kita melaksanakan hukuman mati untuk Nakoula Basseley Nakoula (sutradara film Innocence of Moslems) maka hal itu akan sulit dilakukan karena dia dilindungi oleh pemerintah Amerika Serikat yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Maka dari itu kita ambil jalan tengah, kita harus bersikap menyatakan bahwa kita tidak rela kalau Nabi kita dilecehkan, namun sikap itu tidak dibarengi dengan kekerasan. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan lobi atau diplomasi melalui organisasi dunia seperti PBB, OKI (Organisasi Konferensi Islam), dan sebagainya. [eLFa]

BULETIN EL-FAJR MA'HAD QUDSIYYAH KUDUS, EDISI 31/28 September 2012

Jumat, 21 September 2012

Mari Memotret

Setiap jam, menit, detik, dunia ini selalu mengalami perubahan. Tekhnologi pun mengalami kemajuan yang pesat dalam segala bidang, sehingga pekerjaan manusia semakin hari semakin ‘instan’. Begitu juga dalam dunia menggambar. Mungkin dahulu manusia menggambar masih menggunakan bebatuan, seperti relief. Alat tulis pun tak lupa mengalami perkembangan. Dunia teknologi juga unjuk gigi dalam bidang ini dan malah lebih mudah.  Tinggal ‘jepret’ langsung jadi sebuah gambar. Tehnik gambar yang “instan” ini disebut dengan “fotografi”.

Dunia fotografi adalah dunia penuh warna. Semua yang nyata dengan mudah mampu tergambar dalam selembar kertas. Objeknya pun bervariasi, mulai dari yang serius, yang lucu, bahkan sampai yang aneh pun ada. Menjadi tak heran jika warta penuh dengan foto, karena foto sejatinya mampu bercerita dan memberita. Foto juga dapat dijadikan sebagai bukti sejarah atau pun menjadi kenangan-kenangan indah yang pernah kita alami.

Bicara soal objek foto, banyak objek yang bisa dijadikan sebagai bahan pemotretan, seperti pemandangan indah, laut luas, dan tak jarang pula para pemotret mengambil objek manusia, ataupun binatang sebagai bahan pemotretan. keduanya adalah makhluk hidup.

Inilah yang akan menjadi pembahasan kita kali ini. Apakah benar ada dalam fiqh tentang anggapan bahwa menggambar makhluk hidup itu disamakan dengan pembuatan makhluk hidup yang dilakukan oleh Tuhan?
 Ada sebagian ulama yang berpendapat mengharamkan menggambar manusia, binatang, ataupun hewan, yang mana termasuk makhluk Allah yang mempunyai ruh. Sedangkan benda-benda yang tidak mempunyai ruh, diperbolehkan menggambarnya. Mereka mendasarkan pendapat mereka dari hadits:

مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَاباً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُصَوِّرُونَ هذِهِ الصُّوَرَ

Sesungguhnya termasuk dari manusia yang paling pedih siksanya di hari kiamat adalah yang menggambar gambaran ini. (Fiqhus Sunnah, III, 498)

Tambah lagi riwayat dari Abdullah bin Abbas tentang adanya ancaman bahwa besok di hari kiamat orang-orang yang menggambar objek itu akan disuruh memberikan nyawa pada gambarannya. Sedangkan orang-orang itu tak akan bisa meniupkan nyawa selamanya. (Fiqhus Sunnah, III, 498)

Ada juga hadits Nabi yang mengatakan:

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ

Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar. (Shahih Bukhari, III, 1206)

Hadits ini menerangkan malaikat tidak mau masuk ke dalam rumah yang dihuni oleh anjing dikarenakan banyaknya najis, dan juga karena anjing itu adalah syetan, seperti yang ada dalam salah satu teks hadits. Sedangkan malaikat itu adalah lawan dari syetan. Karena itu, malaikat tidak berkenan untuk masuk ke rumah tersebut. Untuk yang gambar, malaikat tidak mau masuk rumah yang ada gambarannya dikarenakan gambaran adalah dosa yang keji karena di dalamnya terdapat unsur menyerupai buatan Allah, gambaran adalah sesembahan selain Allah. Maka dari itu malaikat tidak sudi untuk masuk ke dalam rumah itu.

Namun, bukan mutlak semua malaikat tidak mau masuk ke rumah yang ada gambarannya, tetapi yang dimaksud adalah malaikat yang yang tugasnya berkeliling membagi rahmat, berkah, dan ampunan. Adapun malaikat selain itu, tentu masih berkenan masuk karena bertugas sebagai pencatat amal, penjaga diri manusia, atau pencabut nyawa. Ketidakmauan malaikat tadi bukan karena malaikat rahmat itu takut pada gambar, syetan, atau pada anjing, tapi memang telah di-setting oleh Sang Pencipta seperti itu, sehingga pemilik rumah tidak mendapat jatah rahmat dan ampunan yang sedang dibagi-bagi. (Syarhun Nawawi Ala Muslim, VII, 207)

Makhluk hidup yang dimaksud di sini bukan hanya makhluk hidup yang sering kita lihat saja, tetapi juga mencakup makhluk-makhluk hidup fantastis yang bahkan mungkin kita belum pernah memikirkannya. Seperti kuda bersayap, burung berwajah manusia. Semuanya termasuk diharamkan untuk menggambarnya, karena semua itu juga menyerupai berhala. (Fathul Mu’in, III, 411; Ibanatul Ahkam, II, 335)
Menurut Imam al-Adzra’i, pendapat yang telah masyhur mengatakan kebolehan menggambar hewan yang tidak berkepala. Dipandang dari dhohir hadits, hewan yang tak berkepala, berarti tak bisa hidup. Sedangkan yang diharamkan adalah yang dimungkinkan hidup. (Mughnil Muhjat Ila Ma’rifati Alfadhil Minhaj, XIII, 104)

Berbeda lagi dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi. Beliau berpendapat bahwa boleh membuat gambar begitu jika gambar itu tidak ada bayangannya. Jadi yang haram adalah semacam patung yang berbentuk tiga dimensi. (Ibanatul Ahkam, II, 336)

Selain itu, pembuatan gambar/patung berupa boneka, robot, dan mainan anak-anak lainnya diperbolehkan. Dengan alasan mainan anak adalah kebutuhan bagi anak-anak, sampai mereka bisa berpikir dewasa. Siti ‘Aisyah pun pernah bermain menggunakan boneka di samping Rasulullah. Selain bentuk boneka, bentuk-bentuk binatang yang biasa ditemui pada permen, botol minuman, juga diperbolehkan. Karena juga termasuk kebutuhan bagi anak-anak. Gunanya adalah untuk melatih mereka dalam urusan pendidikan dan sebagai sarana edukatif. (Fathul Mu’in, III, 413)

Alasan (‘illat) kenapa menggambar ataupun membuat patung itu diharamkan adalah karena termasuk tasyabbuh. Yaitu menyerupai buatan Allah dan menyerupakan dirinya (orang yang membuat) dengan Allah. Segi persamaannya adalah sama-sama membuat bentuk makhluk.

Setiap perkara yang diharamkan pastilah mengandung hikmah tersendiri. Begitupun juga tentang pengharaman gambar dan patung ini. Hikmahnya adalah jauh dari berhala-berhala, melindungi diri dari perbuatan syirik, dan menyembah berhala. Pernah diriwayatkan bahwa nama-nama berhala seperti Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr, adalah nama orang-orang shaleh kaum Nabi Nuh. Ketika orang-orang shaleh itu meninggal, mereka membuat gambarnya untuk mengingat orang-orang shaleh itu. Dan pada akhirnya mereka malah menyembah orang-orang yang digambar tadi. Karena itu, menggambar jadi diharamkan karena nantinya akan berakhir pada penghambaan. (Tafsir al-Qurthubi, XVIII, 308)

Bicara tentang ‘illat, hukum itu berputar sesuai ‘illat-nya. Dalam kondisi sekarang, beda dengan kondisi dahulu, ketika masyarakat Arab masih belum sempurna lepas dari sesembahan nenek moyangnya yaitu patung. Sampai-sampai dalam sejarah mengatakan pada zaman itu ka’bah dikelilingi oleh 360 patung. Dalam sosio-kultur masa itu, memang dimungkinkan pembuatan gambar untuk disembah. Namun dalam kondisi masyarakat sekarang ini, malah jarang-jarang ada pembuatan patung untuk keperluan sesembahan, apalagi gambar. Maka, patung-patung seperti untuk mengingat jasa pahlawan, monumen, ataupun untuk keperluan seni boleh saja. Asalkan bukan untuk disembah.

Lalu bagaimana tentang fotografi?

Dalam KBBI, pegertian dari fotografi adalah seni dalam keterampilan membuat gambar dengan menggunakan film peka cahaya dalam kamera. (KBBI, 435)

Para ulama ahli fiqh mutaakhirin berpendapat bahwa fotografi (at-tashwir as-syamsi) bukan termasuk dalam area haram seperti halnya menggambar dengan tangan. Karena fotografi merupakan pengambilan gambar selayaknya bercermin. Kemudian bayangan itu dihentikan sehingga menjadi sedemikian rupa. Lagi pula, dalam fotogari ini tidak ada unsur tasyabbuh seperti yang disebut di depan tadi. Maka, boleh-boleh saja memotret objek apapun. Asalkan bukan yang dilarang. (Ibanatul Ahkam, II, 337)

Fotografi pun, jika pengambilan objeknya adalah barang-barang yang banyak dhoror-nya, tentu haram. Seperti foto syur, foto yang menghina orang lain, menghina Tuhan, dan lain sebagainya. Bukan karena fotografinya, tapi karena objeknya adalah sesuatu yang haram.

Akhirnya, fotografi bukanlah merupakan tashwir, tetapi fotografi adalah menghentikan bayangan. Jadi bukan termasuk tashwir yang diharamkan yang dibuat dengan tangan. Juga sama sekali tidak menimbulkan dhoror. Dan lebih baik lagi jika di dalamnya bisa menggugah semangat untuk beribadah, dan berisi maslahat bagi umat. Lebih-lebih digunakan sebagai batu loncatan untuk berdakwah menyebarkan Islam. So, ekspresikanlah senimu! [eLFa]

Buletin EL-FAJR MA'HAD QUDSIYYAH Edisi 30/21 September 2012