Jumat, 27 Januari 2012

Menelisik Haul

Setiap orang pasti akan sangat senang jika mendapatkan sesuatu atau kiriman yang begitu istimewa, seperti sebuah hadiah atau semacamnya. Apakah hal itu hanya berlaku pada orang-orang yang masih mendiami bumi? Jawabnya tidak. Karena orang yang sudah meniggal pun bisa menerima kiriman serupa, mungkin malah lebih istimewa yang bisa membuatnya sangat bahagia. Tak sedikit cara untuk memberi kiriman pada orang yang sudah wafat, di antaranya dengan mengadakan haul.

Haul berasal dari kata al-haulu yang berarti satu tahun. Kata haul dapat dijumpai dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 240:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meniggalkan istri hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya (yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun. (QS. al-Baqarah, 240)

Dari uraian di atas, kata ‘haul’ berkembang menjadi istilah Indonesia yang lazim dipakai oleh komunitas muslim dengan arti memperingati hari wafat seseorang yang diadakan setiap satu tahun sekali (biasanya disertai selamatan arwah), dalam acara ini semua keluarga diundang. (KBBI, 514).

Pada zaman Rasulullah, tak ada istilah haul yang diartikan sebagai peringatan kematian. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang pertama kali memperkenalkan tradisi itu? Pertanyaan ini memang terlihat begitu sederhana. Namun, masih terlalu sulit untuk menjawab masalah yang ternyata sangat pelik itu. Menurut Agus Sunyoto (seorang pengamat sejarah dan budaya) haul pertama kali dilakukan oleh kerajaan Campa, Kamboja. Sayangnya pendapat ini tak bisa dijadikan pegangan yang kuat yang bisa digunakan sebagai rujukan. Dikarenakan sumber yang didapatnya belum jelas.

Pada awalnya, haul diadakan hanya untuk memperingati hari wafat para tokoh ataupun ulama yang biasanya dilakukan dengan berdzikir, membaca sholawat, atau al-Qur’an. Bisa juga dengan membacakan riwayat hidup atau mengenang sepak terjang orang yang dihauli dalam rangka memperjuangkan agama. Dengan maksud supaya mampu menjadi suri tauladan, setidaknya bisa menjadi motivasi bagi para generasi yang masih tergolong muda. Namun, di era sekarang ini haul bukan lagi terikat untuk para tokoh maupun ulama saja. Siapapun melakukannya, karena tujuan dan maksud dari haul sendiri hanya satu yaitu mendoakan orang yang sudah meninggal.

Kalau sekilas, haul memang terlihat begitu baik untuk dilakukan dan dilestarikan. Namun, masih terlalu dini untuk membenarkannya. Sebab sejauh mata memandang, tak ditemukan ta’bir yang secara tegas memberikan bukti bahwa tradisi ini ada pada masa Rasulullah. Dikarenakan sangat besar kemungkinan bila haul ini dikategorikan sebagai bid’ah yang dilarang oleh Rasulullah. Sudah wajar jika ada sebagian orang-orang yang sensitif dengan hal seperti ini. Tak sampai di situ, mereka juga mengecam tradisi ini. Tapi ada salah satu hadits yang konteksnya tentang haul:

عَنِ اْلوَاقِدِى قَالَ: كَانَ النَّبِـىُّ يَـزُوْرُ شُهَدَاءَ اُحُدٍ فِيْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتـَهُ فَيَقُوْلُ: سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ ِبـمَا صَبَرْتـُمْ فَـنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ . ثُمَّ اَبُوْ بَكْرٍ يَـفْعَلُ مِثْلَ ذٰلِكَ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ

Al-Waqidy berkata: “Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam. berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdo’a: keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah kalian perbuat, sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat/sebaik-baik rumah peristirahatan. Kemudian Abu Bakar pun melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman.(Mukhtashar Ibnu Katsir, II, 279, Syarah Nahj al-Balaghah,399)

Dalil inilah yang kemudian menjadi dasar dari dilaksanakannya acara tahunan itu guna mendoakan ulama, sesepuh, dan orang tua kita. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa haul hukumnya sunah. Karena di dalamnya terdapat do’a, tahlil, istighfar, dan ritual Islam lainnya. Dalam acara haul, juga dianjurkan untuk berziarah ke makam orang yang dihauli. Seperti dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ فَاشْرَبُوا فِي الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا

Dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah. Dahulu aku melarang kalian untuk menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari, maka sekarang simpanlah selama jelas bagimu manfaatnya. Dahulu aku melarang kalian membuat anggur selain dalam qirbah, maka sekarang minumlah dari segala tempat air, asal jangan kamu minum yang memabukkan. (Sahih Muslim, X, 165)

Dalam disiplin ilmu ushul fiqh, ada sebuah keterangan yang menerangkan bahwa, jika ada amr (perintah) yang terletak setelah nahy (larangan) maka hukumnya menjadi mubah. (Lubb al-Ushul, 65)

Kalau bicara tentang siapa yang berhak dihauli, tentunya umat muslim tak terkhususkan bagi tokoh agama, perintis, atau para pembesar lainnya. Karena seseorang yang sudah meninggal akan sangat bahagia jika orang-orang yang ditinggalkan almarhum mau mendoakannya. Dikarenakan orang yang sudah meninggal, semua amalnya terputus kecuali tiga perkara (ilmu yang bermanfaat, shodaqoh jariyyah, dan putra yang saleh) (Syarah An-Nawawi Ala Muslim, I, 25).

Membuat bahagia orang yang sudah meninggal bukan hanya lewat doa. Masih ada cara lain untuk membuatnya tentram. Di antaranya, mengenang masa-masa hidupnya, bersedekah dengan niat sedekah dari almarhum, dan masih ada yang lainnya seperti anjuran-anjuran para ulama.

Sebuah hadits menyatakan:

اذْكُرُوا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوا عَنْ مَسَاوِيهِم

Ingatlah kebaikan-kebaikan orang yang telah mati, dan hindarilah menyebut cela mereka. (al-Jami’ as-Shaghir, I, 138)

Untuk berbelasungkawa, Islam memiliki batasan tersendiri, yaitu tidak boleh menangis dengan menjerit-jerit, apalagi sampai menyobek-nyobek pakaian karena perbuatan ini adalah perbuatan orang-orang jahiliyyah. Tapi tidak masalah jika tangisan tersebut tanpa mengeluarkan suara atau jeritan sama sekali, karena tangisan itu dengan air mata, bukan dengan suara. (at-Tadzhib, 88)

Sebagai sesama muslim, kita dilarang menyebut cacat orang yang sudah meninggal. Diperbolehkan menyebut cacat seseorang yang sudah wafat jika memang demi kemaslahatan. Misalnya, cara meninggalnya seorang zalim yang tak wajar. Agar bisa menjadi pelajaran bagi semua orang agar tidak berbuat zalim. (Faidlul Qadir, I, 457).

Yang banyak ditemukan di masyarakat adalah haul ditujukan doanya untuk orang Islam. Adapun jika hukum mendoakan (memintakan maghfiroh) untuk orang kafir adalah ditafsil. Dikatakan boleh jika orang kafir itu masih hidup, dan jika sudah meninggal maka hukumnya haram mendoakannya. (Hawasyi as-Syarwani, III, 75).

Dari keterangan yang telah dikupas tadi, kita bisa mengambil hikmah atau manfaat dari haul yang begitu agung. Seperti, mengenang perjalanan hidupnya sehingga bisa menjadi contoh yang baik bagi kita untuk menjadi lebih baik ke depannya. [eLFa]

Buletin El-Fajr Edisi 17

Indahnya Bersama Rasululullah


Bulan kelahiran Nabi Muhammad saw telah datang. Gema salawat terdengar di berbagai penjuru. Ya di bulan Rabiul Awwal inilah Nabi kita Muhammad lahir membawa pencerahan dan membawa cahaya dan kemilau Islam ke muka bumi.
Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 85 yang artinya: “Katakanlah, sebab fadhal Allah (lahirnya Rasul saw) dan sebab rahmatnya (risalah Rasul saw), hendaklah dengan itu maka bergembiralah. Fadhal dan Rahmat Allah adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (harta benda)”.

Dalam ayat ini terdapat perintah “bergemberilah”. Para ulama banyak berpendapat bahwa bergembira yang dimaksud merupakan hal wajib sebagai timbal jasa terhadap terciptanya Rasulullah saw walaupun hal itu tidak sebanding. Kerana dengan terciptanya beliau sehingga terwujudlah kita dan bisa merasakan kehidupan ini, lebih-lebih kita bisa merasakan indahnya agama Islam.

Dalam Hadis Qudsy dijelaskan, “Andaikata tidak ada kamu (Muhammad), andaikata tidak ada kamu, maka sungguh akupun tidak akan menciptakan cakrawala”.

Dengan kata lain, bisa difahami bahwa rahmat Allah yang paling utama adalah diutusnya Nabi Muhammad (risalahnya Nabi) ke alam dunia ini. Juga, sebagai pembawa sinar penerang dari kegelapan (jahiliyyah) menuju hidayah (islamiyyah). “Dan tiada aku mengutusmu kecuali rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al- Anbiya’ 107).

Rasa syukur dan terima kasih kita kepada Nabi saw adalah sahih dan sangat benar. Ibnu Hajar pernah menukil sebuah hadis sahih, bahwa rasulullah saw pernah ke Madinah bertemu orang Yahudi yang sedang puasa hari Asyura, Nabi bertanya kenapa kamu puasa hari ini? Mereka menjawab ini adalah hari di mana Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelematkan Nabi Musa, kami puasa sebagai rasa syukur terima kasih, maka Nabi saw berkata aku lebih utama dari pada Musa dan kamu sekalian.

Adapun bentuk rasa syukur dan terima kasih kita kepada baginda Rasul saw bisa kita tunjukkan dengan beribadah menjalankan perintah dan menajuhi larangannya. Seperti salat, puasa, sedekah, membaca Alquran, dan sebagainya. Juga menjauhi segala apa yang dilarang, seperti melakukan acara-acara yang dilarang oleh syari’at Islam, seperti membunuh, meminum minuman keras, berzina dan sebagainya.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah dengan memperbanyak membaca salawat kepada Nabi. Apalagi bulanini meripakan momentum kelahiran Nabi Muhammad saw. Diterangkan dalam kitab Madarijussu’ud, bulan yang paling utama bulan Ramadan, kemudian bulan Muharram, kemudian Rajab, kemudian Dzul Hijjah kemudian Dzul Qa’dah dan terakhir Sya’ban dan bulan lainnya sama kedudukannya. Sementara malam yang paling utama adalah malam kelahiran Nabi Muhammad saw. Malam utam lainnya adalah malam Lailatul Qadr malam Isra’ Mi’raj kemudian malam Arafah kemudian malam Jumu’ah malam Nisfu Sya’ban dan kemudian malam hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Oleh karenanya sangat penting meningkatkan kecintaan kita terhadap Rasulullah dengan meningkatkan menjalani ritus kesalihan serta memperbanyak membaca salawat ke Nabi Muhammad saw.
“Sesungguhnya Allah melaikatnya membaca solawat kepada Nabi. Wahai orang-orangyang beriman bersolawatlah kepadanya dan berilah salam dengan sesunguh salam.” (QS. Al Ahzab ayat 56).

Dalam Kitab Fadhailussholawat diterangkan barang siapa yang membaca solawat kepada Nabi maka tujuh puluh ribu malaikat akan memintakan ampun kepada mereka, dan barang siapa yang dimintakan ampun oleh malaikat maka termasuk ahli surga. Bertepatan dengan momentum mauled Nabi ini tak ada salahnya meningkatkan solawat kita. Ini karena begitu besarnya keutamaan membaca solawat atas Nabi.

Hal penting lain dalam momentum kali ini adalah menumbuhkan tingkah laku kita sesuai dengan sunnah Nabi. Hal-hal sunnah yang dilakukan Nabi hendaknya bisa kita tiru untuk diteladani. Seperti misalnya bercelak, makan langung menggunakan tangan, dan memakai wewangian.

Bercelak adalah salah satu akhlak Rasul, dengan menjalaninya, selaian tampak lebih menarik, juga melancarkan sirkulasi darah di daerah mata, sehjingga dijauhkan dari penyakit mata. Di samping itu juga diberikan penglihatan yang lebih tajam lahir dan batin.

Dengan memakan langsung menggunakan jari-jari (tanpa sendok), maka membantu proses pencernaan makanan, karena dalam jari-jari tangan terdapat zat-zat yang mampu melunakkan makanan serta penawar bakteri pada makanan. Sehingga dalam tubuh akan menjadi lebih sehat dan bugar. Selain itu, akhlak rasul saat makan adalah memakai pakaian yang bersih dan rapi. Sehingga dalam soal makan pun, diharapkan akan mendapatkan limpahan rizki yang baik serta berpengaruh terhadap kepribadian.
Sedang memakai wewangian adalah sunnah rasul dalam hal melakukan kebaikan-kebaikan, seperti wangi dalam berdzikir, wangi dalam membaca Alquran, memakai wewangian dalam majlis ta’lim dan sebagainya.

Begitu banyak suri tauladan dari Rasulullah yang patut kita contoh dan kita teladani. Mulai bulan ini, mari kita tingkatkan rasa cinta kita terhadap Rasul, karena kadar bobot keimanan seseorang bisa diukur dari kecintaanya terhadap Rassulullah saw. (*)

oleh: Nur Amin Abdurrahman
Ustadz Ma’had Qudsiyyah Kudus

Tulisan ini dimuat di Radar Kudus Jawa Pos, Edisi Jum'at, 27 Januari 2012

Jumat, 20 Januari 2012

Memilih Hewan yang Halal Dimakan

Hewan merupakan salah satu makanan yang dikonsumsi manusia. Berjuta-juta spesies dan ribuan nama dan jenis hewan menjadikan manusia memiliki banyak pilihan untuk mengkonsumsinya. Baik hewan darat maupun hewan laut, asalkan diracik dengan sedap, manusia tentu siap untuk menyantapnya. Ada dari swike kodok, tikus bakar sampai sate ular pun juga tak luput dari daftar menu makanan dewasa ini.

Akan tetapi, tidak semua hewan enak untuk dimakan, tidak semua hewan baik untuk tubuh. Oleh karenanya, al-Qur’an dan Hadits telah memberi rambu-rambu untuk memilih dan memilah mana hewan yang boleh dimakan, mana yang tidak boleh.

Dalam fiqh, dikenal klasifikasi tiga jenis hewan menurut habitat hidupnya. Pertama, Al-hayawan al-maaiy (hewan air) yaitu hewan yang hanya bisa hidup di air saja.
Seperti ikan, kepiting, kerang, dll. Hewan ini halal untuk dimakan secara mutlak. Artinya walaupun hewan tersebut tanpa disembelih tetap boleh dimakan. Ini sesuai dengan ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 96 :

أحل لكم صيد البحر وطعامه، متاعاً لكم وللسيارة

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. (QS. al-Maidah, 96)

Kedua, Al-hayawan al-barriy (hewan darat) yaitu hewan yang hanya bisa hidup di darat saja. Dalam kontkes ini, hewan darat terbagi atas tiga macam, yaitu (a) hewan yang tidak memiliki darah, (2) hewan yang memiliki darah tetapi tidak mengalir, dan (3) hewan yang memiliki darah yang mengalir.

Hewan-hewan yang tidak memiliki darah sama sekali seperti belalang, lalat, semut, lebah, cacing, kumbang, laba-laba, kecoa, dll. Selain belalang, hukumnya haram dimakan karena termasuk hewan yang menjijikkan. Belalang diperbolehkan karena sudah ada nash hadits yang menyatakan bahwa belalang termasuk kategori hewan yang halal untuk dimakan walaupun tanpa disembelih.

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ الْحُوتُ وَالْجَرَادُ

Dihalalkan untuk kita dua bangkai yaitu ikan dan belalang.(Sunan Ibnu Majah, IX, 412).

Hewan-hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir contohnya ular, tokek, cicak, musang, dll. Hukum memakannya adalah haram. Tetapi, Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa ada pengecualian pada hewan jenis ini yakni landak, musang, dan rubah. Ini karena orang Arab menganggap baik hewan tersebut. Jadi, memakan landak, musang, dan rubah menurut Ulama Syafi’iyyah diperbolehkan.

Sedangkan jenis hewan-hewan yang memiliki darah mengalir terbagi menjadi dua kategori, yakni hewan jinak dan hewan liar. Hewan jinak, misalnya (1) dari jenis hewan ternak, seperti sapi, onta, kambing, kerbau, keledai, bagal (peranakan kuda dengan keledai) dan (2) hewan unggas yang tidak memiliki cakar kuat seperti ayam, angsa, bebek, dll. Memakan hewan-hewan jinak adalah boleh dengan ketentuan harus disembelih terlebih dahulu, kecuali keledai rumahan dan bagal. Kedua hewan ini (keledai rumahan dan bagal) haram dimakan.

Sementara hewan liar, hukum memakannya menurut jumhurul ulama adalah haram. Contohnya, (1) jenis-jenis unggas yang memiliki cakar yang digunakan untuk memangsa, separti elang, burung hantu, rajawali, dll, dan (2) binatang-binatang buas seperti singa, macan, beruang, serigala, dll. Akan tetapi, dalam hal ini, Ulama Syafi’iyyah memberi batasan tersendiri yaitu hewan liar yang memiliki taring dan cakar yang kuat dan bisa melukai yangharam. Karena itu, hewan seperti rubah dan musang boleh dimakan karena taringnya tidak dapat melukai.

Ketiga, Al-hayawan al-barru-maaiy (hewan amfibia): yaitu hewan yang dapat hidup di dua alam, seperti katak, buaya, kura-kura, ular, anjing laut, dll. Hukumnya haram untuk dimakan. (al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu, IV, 323-332)

Selain ketentuan di atas ada juga sebuah kaidah yang berbunyi maa nuhiya ‘an qotlihi fahuwa haromun (semua hewan yang dilarang untuk dibunuh, maka haram memakannya). Hewan yang masuk dalam kaidah fiqh tersebut seperti semut, lebah, burung Hud-Hud. Nabi bersabda:

أَنَّهُ نَهَى عَنْ قَتْلِ الْخَمْسَةِ عَنِ النَّمْلَةِ وَالنَّحْلَةِ وَالضِّفْدِعِ وَالصُّرَدِ وَالْهُدْهُدِ

Sesungguhnya Nabi melarang membunuh lima (hewan) yaitu semut, lebah, katak, burung Surad, dan burung Hud-Hud. (as-Sunan Li al-Baihaqi Wa Fi Dzailihi al-Jauhar an-Naqi, IX, 317)

Hewan-hewan tersebut haram dimakan karena hewan-hewan tersebut termasuk hewan yang dimulyakan (muharram).

Ada lagi kaidah yang berbunyi maa umiro bi qotlihi minal hayawani fahuwa haromun (semua hewan yang diperintahkan untuk membunuhnya, maka haram untuk memakannya). Yang termasuk dalam kaidah ini seperti ular, kalajengking, tikus, rajawali, gagak, dan hewan-hewan buas yang membahayakan. Nabi bersabda:

خمس قتلهن حلال في الحرم الحية والعقرب والحدأة والفأرة والكلب العقور

Lima hewan yang halal membunuhnya di tanah haram: ular, kalajengking, rajawali, tikus, dan anjing galak. (Kanz al-Umal Fi Sunan al-Aqwal Wa al-Af’aal, V, 37)
Hewan-hewan tersebut juga haram dimakan. (Raudlatu at-Thalibin Wa ‘Umdatu al-Muftin, I, 377-378)

Sebenarnya, haram dan halalnya hewan-hewan yang telah disebutkan, bermula dari orang Arab. Hewan yang dianggap baik oleh orang Arab, semuanya halal, kecuali yang telah ditetapkan oleh syara’ keharamannya.
Al-Quran menyatakan:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَات

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah, "Dihalalkan bagimu yang baik-baik”. (QS. al-Maidah, 4)

Juga hadits Nabi:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.(QS. al-A’raf, 157)

Dalam terminilogi Ushul Fiqh, kata ‘at-thoyyibat’ dan ‘al-khobaits’ termasuk dalam kategori kata yang kurang jelas penunjukannya dan membutuhkan penafsiran. Jelasnya, kata at-thoyyibat dan al-khobaits adalah lafadz mujmal (global) yang masih membutuhkan mubayyin (penjelas) dari al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian, kita harus bertanya kembali pada al-Qur’an.

Dalam ayat-ayat lain, Allah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan makanan yang baik adalah seperti hewan-hewan ternak kambing, sapi dan onta (QS. al-An’am, 144). Dan makanan kotor adalah seperti hewan yang disembelih dengan cara tidak menyebut nama Allah, yang mati terjerat, tertanduk, terlempar, dan hewan yang dimangsa hewan buas dan tidak sempat disembelih (QS. al-Maidah, 3). Dalam hadits juga menjelaskan tentang beberapa hewan yang tidak baik untuk tidak dikonsumsi seperti tiap-tiap hewan yang bertaring, berkuku tajam, anjing, kodok, gagak, ular, tikus, semut, lebah dan sejenisnya.

Kesimpulannya, antara hewan yang boleh dan tidak boleh untuk dimakan sudah diterangkan secara rinci dalam Islam. Jangan mentang-mentang selera, dengan rakus memakan segala apa yang ada. Karena menghindar dari keharaman ada hikmah dan faedah di dalamnya. Salah satunya, seperti pada ilmu gizi modern yang menetapkan bahwa orang yang memakan hewan buas akan mewarisi sifat-sifat hewan tersebut. Sebab, hormon-hormon yang berada dalam tubuh hewan tersebut mengalir ke dalam darah orang yang memakannya hingga akhirnya bercampur jadi satu. Hal ini akan mempengaruhi kejiwaan seseorang dan akhlak-akhlak yang ada pada diri manusia. [eLFa]

Buletin EL-FAJR, Edisi 16/20 Januari 2012

Minggu, 01 Januari 2012

Perayaan Tahun Baru, Bolehkah?

Bunyi nyaring terompet dan cahaya gemerlap kembang api senantiasa menghidupkan suasana malam tahun baru. Di jagad raya ini malam tahun baru ini selalu dinanti dan selalu dirayakan ratusan ribu bahkan milyaran penduduk bumi. Dari berbagai penjuru dengan beragam etnis dan budaya. Gegap gempita menyambut pergantian tahun.

Suasananya sangat heboh dan menyemarak. Mereka berjubel di jalan-jalan seiring dengan merangkaknya jarum jam menuju pukul 00.00 yang menandakan berakhirnya tanggal 31 Desember dan dimulainya tanggal 1 Januari.

Tahun baru adalah suatu perayaan di mana suatu budaya merayakan berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya. Di Indonesia, pada umumnya, tahun baru jatuh pada 1 Januari karena Indonesia mengadopsi kalender Gregorian sama seperti mayoritas negara-negara lain di dunia.

Dirunut dari sejarahnya, peryaan tahun baru pertama kali dilakukan oleh Julius Caesar pada 1 Januari 45 SM. tak lama setelah dinobatkan sebagai Kaisar Roma. Dia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ke-7 SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandaria yang menyarankan agar penanggalan baru itu dihitung berdasarkan revolusi matahari (sebanyak 365,25 hari). Caesar menambahkan 67 hari dalam tahun 45 SM. Caesar juga memerintahkan agar setiap 4 tahun pada bulan Februari ditambahkan 1 hari (kabisat) yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.

Di zaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua). Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa pada abad permulaan Masehi. Pada tahun 1200-an, pemimpin-pemimpin Inggris mengikuti kebiasaan Romawi yang mewajibkan mereka memberikan hadiah tahun baru orang-orang Inggris Romawi memberi uang kepada istri-istri mereka untuk membeli bros sederhana (pin). Kebiasaan ini hilang pada tahun 1800-an. Namun istilah pin money yang berarti sedikit uang jajan tetap digunakan. Banyak orang-orang koloni di New England, Amerika, yang merayakan tahun baru dengan menembakkan senapan ke udara dengan teriak, sementara yang lain mengikuti perayaan di Gereja atau pesta terbuka.
Zaman sekarang, banyak pemuda-pemudi Islam juga ikut merayakan tahun baru Masehi tersebut. Apakah merayakannya itu bisa dianggap sebagai perwujudan tasyabbuh bil kuffar (menyerupai/meniru orang kafir)?. Rasulullah pernah menyatakan:

من تشبه بقوم فهو منهم

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.(al-Jami’ Fi al-Maulid, IX, 43)

Juga ayat al-Qur’an berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (al-Baqarah, 104)

Mulanya ayat ini menjelaskan tentang larangan orang Islam mengucapkan raa’ina yang artinya “perhatikanlah kami” ini, karena orang Yahudi mengucapkannya sehingga mereka maksud adalah ru’uunah yang artinya “bodoh sekali” sebagai ejekan pada Rasulullah. Itu sebabnya Allah menyuruh para sahabat menukar lafal raa’ina dengan unzhurna yang artinya sama dengan raa’ina. Jadi, jelasnya orang Islam dilarang meniru orang kafir. Baik dalam perkataan, perbuatan, maupun pakaian yang khusus untuk orang kafir. Terlebih lagi soal ibadah yang tidak disyari’atkan pada orang Islam. (Tafsir Ibn Katsir, I, 374)

Adapun hujjah lain yang menyinggung tentang larangan meniru orang kafir adalah
اجتنبوا أعداء الله في عيدهم
Jauhilah hari-hari perayaan musuh- musuh Allah. (Sunan al-Baihaqi, IX, 234)

Mengenai tasyabbuh, ada beberapa rincian. Jika seseorang meniru orang-orang kafir dengan bertujuan menyerupai untuk menyiarkan agama mereka dan condong ke agama mereka, atau bahkan juga ikut-ikutan melakukan ibadah mereka, maka orang tersebut dianggap kufur. Ini seperti halnya perayaan Natal yang jelas-jelas adalah perayaan orang Kristen, atau bagi orang Persia 1 Januari adalah Hari Raya bagi orang Majusi yang disebut hari Nairuz.

Jika tasyabbuh tersebut tidak bertujuan menyerupai untuk mensyiarkan agama mereka, tapi hanya bertujuan untuk mengisi syi’ar Hari Raya ‘id sendiri, maka hukum tasyabbuh (menyerupai orang kafir) hanya dosa, tidak sampai kufur. Jika perbuatan tersebut tidak ada tujuan sama sekali, seperti halnya orang Islam ketika merayakan hari-hari besarnya yang kebetulan saja bersamaan dengan hari di mana hari tersebut orang-orang muslim juga merayakan hari besar mereka, maka hukumnya makruh.

Adapun tasyabbuh yang diperbolehkan ialah jika tasyabbuh pada ranah kebaikan, seperti meniru dalam kedisiplinan atau keilmuan dan hal-hal baik lainnya. (Bughyah al-Mustarsyidin, II,15)

Lalu bagaimana hukum merayakan tahun baru Masehi?
Tahun Masehi bukanlah tahun yang khusus untuk agama Kristen. Walaupun tahun baru masehi – karena berdekatan waktunya – biasanya dijadikan satu paket dengan hari Natal, namun perayaan tahun baru Masehi bukanlah hal yang khusus (yang diajarkan agama mereka). Tahun Masehi adalah bentuk penanggalan internasional yang dipakai oleh orang sedunia. Maka, perayaan tahun baru bukanlah termasuk tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir).

Namun, walaupun tidak termasuk tasyabbuh, bukan berarti fiqh membolehkan secara absolute (mutlak). Karena perayaan tahun baru zaman sekarang identik dengan hura-hura. Banyak orang mengisi tahun barunya dengan menggunakan seremoni haram, seperti pesta miras, joget bareng, atau maksiat lainnya. Tidak melihat hukum perayaannya, tapi melihat dari unsur-unsur atau cara yang digunakan adalah barang haram.

Selain itu, perayaan tahun baru terkadang juga menimbulkan musibah. Ini terjadi di Philipina dan Italia, tidak sedikit warga di sana yang menjadi korban dari letusan kembang api bahkan sampai menimbulkan korban jiwa dan kerugian materiil. (Harian Jawa Pos, 02 Januari 2012)

Dalam momentum ini, tahun baru juga dapat kita dijadikan sebagai sarana berkesempatan untuk berbuat kebaikan, misalnya mengasihi fakir miskin, menyantuni anak-anak panti asuhan, kerja bakti membersihkan lingkungan, dan sebagainya, yang nilai-nilainya telah diajarkan oleh Islam. Mari kita usahakan atau bahkan haruskan untuk meninggalkan model-model cara merayakan tahun baru Masehi yang meniru orang kafir, sebab masih banyak cara lain yang bersifat diperbolehkan oleh syara’ seperti perbuatan-perbuatan baik yang telah dipaparkan di atas.

Yang prlu kita tegaskan lagi, jangan berkecil hati dengan hingar bingar dalam perayaan tahun baru Masehi, sebab kita masih memiliki momentum tahun baru Hijriyyah. Selain itu kita juga masih mempunyai hari-hari agung Islam lainnya, seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. [eLFa]

Buletin EL-FAJR Edisi 15/06 Januri 2012