Minggu, 11 Desember 2011

HALQAH MA'HAD BERLANGSUNG GAYENG

QUDSIYYAH, KUDUS – Acara halqah yang digagas Ma’had Qudsiyyah Menara Kudus dan Nurul Maiyyah Indonesia pada Ahad (11/12/2011) di Gedung Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) berlangsung semarak. Kehadiran 5 nara sumber di panggung kian menambah “panas” suasana dalam acara yang mengusung tema “Islam Toleran dalam Himpitan Gerakan Islam Trans-Nasional”.



Rais PBNU KH Masdar Farid Mas’udi, mantan Jama’ah Islamiyyah (JI), Nasir Abbas, Hasyim Asy’ari, SH., M.Si (Dosen UNDIP), H Em Nadjib Hassan (Perhimpunan Pemangku Makam Auliya’/PPMA), dan Drs. Sukardi, M.Si (perwakilan Majlis Tafsir Al-Qur’an) hadir dan mengulas tema sesuai kapasitas masing-masing. Acara kian gayeng dengan banyaknya respon serta pertanyaan dari para peserta yang hadir. (*)

Jumat, 09 Desember 2011

Taubatku untuk-Mu

Setiap waktu, setiap hari, bahkan setiap detik, manusia tak kan pernah lepas dari aturan yang telah dibuat sedemikian rupa oleh Allah. Mengingat hal itu, manusia pasti pernah melakukan pelanggaran (maksiat) terhadap aturan-aturan tersebut. Dan karena manusia diciptakan juga memiliki hati, maka pastilah dalam hidupnya pernah merasa menyesal akan perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan.
Sebab itu, muncullah suatu jalan yang akan membuat dosa-dosa yang diproduksi manusia itu luntur, walaupun tak seluruhnya. Jalan itu adalah taubat, sebagai pengakuan dosa.

Ada sebuah cerita menarik yang akan sedikit kami ulas. Pada suatu hari, seorang lelaki datang kepada Rabi'ah al-Adawiyah al-Bashriyyah. Tanpa banyak basa-basi pria itu pun bertanya, "Saya ini telah banyak melakukan dosa, maksiat saya menumpuk. Mungkin jika diukur melebihi gunung yang ada. Andai saja saya bertaubat, apakah Allah akan menerima taubat saya?". Dengan tegas Rabi'ah al-Adawiyah menjawab "Tidak".

Pada kesempatan yang berbeda, seorang lelaki lain datang kepadanya. Lelaki itu berkata, "Seandainya tiap butir pasir adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Semua jenis maksiat telah saya lakukan, baik kecil maupun besar. Apakah Allah masih menerima taubat saya?". Jawab Rabi'ah dengan tegas, "Pasti". Lalu ia menjelaskan, "Kalau Allah tidak berkenan menerima taubat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak manjalani taubat?. Untuk berhenti dari dosa, jangan pernah gunakan kata 'akan' atau 'andai kata'."

Yang bisa kita ambil dari kisah ini, bahwa secara naluri, kita tidak dapat memungkiri kecenderungan hampir tiap orang untuk melakukan taubat ketika jelas nyata-nyata berbuat salah. Hanya persoalannya, banyak orang tidak memahami apa yang mesti ia lakukan agar taubat tadi benar-benar diterima di sisi Allah. Akibatnya, keinginan untuk membersihkan dosa itu menjadi terabaikan. Selain itu, mungkin ini juga akibat dari tiadanya pemahaman makna taubat yang sesungguhnya.

Secara etimologi, taubat berarti kembali. Sedangkan secara terminologi, taubat berarti kembali dari dosa dan maksiat menuju taat kepada Allah dan mencapai ridlo-Nya. (Syarh an- Nawawy 'Ala Muslim, IX, 107; Tafsir ath-Thobary, XXIII, 493)
Ayat yang berbicara tentang taubat sangat beragam. Di antaranya adalah:

       •        •         •                  •     

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. at-Tahrim, 08)

Dalam ayat tersebut, kita orang-orang mukmin diperintah untuk bertaubat, kembali kepada Allah. Bukan hanya taubat-taubat yang biasa, tapi diberi sifat 'nasuha'. Pengertian taubat nasuha ialah taubat yang sebenar-benarnya, taubat yang bermakna kembali pada Allah dan tidak akan pergi menjauhi-Nya lagi. Tidak kembali melakukan maksiat. Taubat nasuha menurut ayat tersebut, bisa melebur kesalahan-kesalahan dan memasukkan ke dalam surga. (Tafsir ath-Thobary, XXIII, 493)

Dalam syariat Nabi Musa, taubat dilaksanakan dengan cara bunuh diri (QS. al-Baqarah, 54) setelah umat Nabi Musa bersama-sama menyembah patung sapi emas. Namun, lain ladang lain tanaman. Dalam syariat Nabi kita, hal itu malah dilarang, karena kewajiban untuk menjaga nyawa (hifdhun nafsi).

Ulama sepakat bahwa bersegera taubat hukumnya wajib karena telah melakukan dosa, besar ataupun kecil. Apabila seorang bertaubat untuk sebagian dari semua dosanya, taubat tersebut tetap sah menurut ahlul haq. Sedang dosa-dosa yang masih tersisa dan belum ditaubati harus segera ditaubati. (Syarh an- Nawawy Ala Muslim, IX, 107; Riyadl as-Sholihin, I, 3)

Syarat taubat yang harus dilakukan seseorang setelah maksiat adalah: Pertama, jika maksiat yang dilakukan tidak berhubungan dengan haq adamy (hak kemanusiaan) maka ada tiga syarat: [a] Berhenti dari maksiat [b] Menyesali perbuatan [c] Tekad kuat untuk tidak melakukannya lagi. Kedua, jika berhubungan dengan haq adamy, seseorang harus bebas dari hak orang yang bersangkutan. Jika berupa barang, maka wajib mengembalikan atau menggantinya. Jika berupa tuduhan, omongan, atau sejenisnya, maka wajib untuk meminta maaf. Sedangkan jika merasa pernah salah namun tidak diketahui salahnya, maka dengan meminta halal. Singkat cerita, permasalahan antar individu harus selesai. (Riyadl as-Sholihin, I, 3)

Sejatinya, menurut al-Kalby, taubat nasuha adalah beristighfar dengan lisan, penyesalan dengan hati, dan pengekangan dari maksiat dengan anggota badan. sedang menurut Muhammad bin Ka'ab al-Qordliy, taubat nasuha mencakup empat hal yaitu : memohon ampunan dengan lisan, menjauhkan diri dari dosa dengan badan, berniat tidak mengulangi dengan hati dan berhenti berbuat buruk kepada orang lain. (Tafsir al-Khozin, VI, 128)

Menurut Dzunnun al-Mishriy, taubat harus merambah luas ke seluruh tubuh. Hati, bertaubat dengan cara meninggalkan perbuatan tercela. Mata, bertaubat dengan memejamkan mata dari semua yang diharamkam. Tangan, bertaubat dengan tidak mengambil barang yang tidak halal. Kaki, bertaubat dengan tidak berjalannya menuju hiburan-hiburan yang dilarang agama. Telinga, bertaubat dengan tidak mendengarkan barang-barang batil. Kemaluan, bertaubat dengan tidak melakukan hal tercela. Begitu seterusnya, sampai taubat menyeluruh dari ujung jari kaki sampai ujung kepala. (Mukfirot adz-Dzunub Wa Mujibat al-Jannah, I, 4)

Antara rasul, wali, dan manusia biasa pasti mempunyai cara tersendiri dalam ma'rifat kepada Allah. Maka dari itu, ada pula tingkatan tersendiri mereka bertaubat. [1] Taubat, adalah tingkatan orang mukmin. Allah berfirman, "Bertaubatlah kalian kepada Allah wahai orang-orang beriman" (QS. an-Nur, 31). [2] Inabah, adalah tingkatan para wali dan muqorrobin (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah). Allah berfirman, "Yaitu orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah" (QS. Qoff, 33). [3] Aubah, adalah tingkatan para nabi dan rasul. Allah berfirman, "Sebaik-baik hamba adalah orang yang bertaubat" (QS. Shod, 44). Jika seseorang melakukan taubat karena takut terhadap siksaan Allah dan ancaman-Nya, maka dia berada pada tingkatan inabah. Dan jika seseorang taubat karena menjalankan perintah, bukan karena mengharap pahala ataupun takut terhadap siksaan tetapi karena semata-mata cinta kepada Allah, maka dia sudah berada pada tingkatan aubah. Tingkat inilah yang paling tinggi. (Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, I, 46)

Mulai sekarang, marilah kita biasakan bertaubat. Dan ingatlah, jika ingin bertaubat, ikutilah aturan-aturan yang sudah tertera di atas. Tidak perlu menunggu sampai dosa itu menumpuk hingga seluas lautan. Siapa tahu sebelum Anda sempat bertaubat, nyawa anda sudah digandeng oleh Malaikat Azrail.

Walaupun memang zaman sekarang situasinya sudah berat, dan potensi yang memanggil-manggil agar berbuat maksiat pun sudah berlalu-lalang di depan mata kita. Tapi alangkah indahnya, jika maksiat-maksiat itu dijauhi dan disingkiri. Marilah kita memulai hari yang diidam-idamkan, yang damai, dan sejahtera. Jauh dari perbuatan-perbuatan dosa. [eLFa]

Buletin EL-FAJR Edisi 14/09 Desember 2011

Selasa, 06 Desember 2011

Ma’had Qudsiyyah Bakal Datangkan Masdar Farid dan Nasir Abbas

QUDSIYYAH, KUDUS-Rongrongan terhadap agama Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terus saja berlangsung. Banyaknya peristiwa peledakan bom yang memakai nama Islam membuat wajah Islam di Indonesia menjadi tercoreng. Bahkan persatuan dan kesatuan bangsa juga terkikis dengan banyaknya aksi-aksi yang banyak menimbulkan korban jiwa.

Padahal, sejak awal Islam memproklamirkan diri sebagai agama yang mengusung idealisme rahmatan lil ‘alamin, agama yang menebar kedamaian untuk semesta. Islam tidak akan mengajarkan teror kepada umatnya, walaupun untuk sebuah kebajikan. Tujuan yang baik mesti diperoleh dengan cara yang baik pula.

Ma’had Qudsiyyah Menara Kudus, sebagai salah satu pondok pesantren di kabupaten Kudus mencoba kembali ingin menyegarkan wawasan Islam yang toleran. Salah satu yang akan dilakukan adalah dengan menggelar halqah Islam toleran yang mendatangkan KH. Masdar Farid Mas’udi (Rais Syuriah PBNU) dan Nasir Abbas (Mantan Jama’ah Islamiyyah) dalam sebuah diskusi interaktif.

Halqah ini bakal digelar pada Ahad Pon (11/12/2011) di Gedung Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) pukul 08.30 WIB.

Selain itu, acara yang digagas Ma’had Qudsiyyah bekerjasama dengan Nurul Maiyyah Indonesia (MNI) juga mengundang H. Em Nadjib Hassan (Perhimpunan Pemangku Makam Auliya’/PPMA) yang bakal mengurai Islam yang diajarkan walisongo di negeri ini,” tambahnya. Sebagai pembanding, hadir juga pakar hukum dan ilmu politik dari UNDIP semarang, Hasyim Asy’ari serta salah satu perwakilan dari ormas Majlis Tafisr Al-Qur’an (MTA).

Halqah yang mengundang sekitar 500 orang dari berbagai komponen masyarakat di Kudus dan sekitarnya tersebut diharapkan bakal menyegarkan kembali wawasan Islam yang toleran, Islam yang damai, dan rahmatan lil ‘alamin serta memperteguh NKRI. (*)

Jumat, 02 Desember 2011

Jual beli via online

Bertransaksi atau jual beli merupakan salah satu cara seseorang untuk bisa memenuhi kebutuhannya. Transaksi itu bisa menggunakan alat pembayaran (uang) atau dengan sistem barter (tukar menukar barang). Umumnya antara penjual dan pembeli bertemu dalam suatu tempat (pasar) untuk tawar menawar dan mencari kebutuhan tersebut.
Namun sejalan dengan kemajuan teknologi dan informasi, bertransaksi telah dipermudah dengan adanya layanan-layanan dari fasilitas di berbagai kemajuan teknologi tak terkecuali media informasi dan komunikasi, di antaranya melalui fasilitas internet.

Dengan fitur-fitur yang ditawarkan internet, semisal situs-situs bertujuan untuk promosi, maka proses transaksi antar penjual dan pembeli tidak harus bertemu fisik secara langsung tetapi cukup berkomunikasi melalui media internet. Ini semakin memudahkan seseorang dalam promosi maupun dalam pencarian barang. Situs jejaring sosial sepeti facebook dan semacamnya pun tak luput jadi ajang promosi yang memudahkan, di samping sebagai wadah pertemanan di dunia maya.

Sistem-sistem seperti di atas biasa disebut dengan istilah ‘online’, di mana antara orang yang menawarkan barang dengan konsumen menggunakan jalur internet sebagai media bertransaksi. Adapun mekanisme transaksi jual beli online itu sendiri antara lain dengan cara konsumen mencari produk atau jasa yang diinginkan lewat browsing pada situs-situs perusahaan yang ada di internet. Melalui online katalognya, konsumen kemudian memilih barang yang ingin dibelinya. Konsumen kemudian dihadapkan dengan sebuah halaman yang berisi berbagai informasi barang tersebut serta proses pembayaran yang ingin dilakukan. Apakah model pembayaran transfer, kartu kredit, kartu debit, cek personal, dan sebagainya.
Sebagai contoh ketika menggunakan kartu kredit kerap ditanyakan informasi lain seperti nama yang tercantum dalam kartu, nomor kartu, expire date, dsb. Bila menggunakan cek personal biasanya selain nomor cek, ditanyakan pula nama dan alamat bank yang mengeluarkan cek tersebut. Setelah uang diterima oleh si penjual, baru kemudian barang dikirim kepada pembeli.
Lalu, bagaimana kaca mata fiqh memandang hal ini? Pada dasarnya, ada empat macam transaksi jual beli yang diterangkan dalam kitab-kitab salaf (di kitab istilahnya bai’) antara lain: [a] Bai’ ‘ain musyahadah yaitu jual beli yang sudah jelas barangnya dan dapat dilihat (konkret). Hukumnya boleh karena tidak ada unsur penipuan di dalamnya. [b] Bai’ maushuf fidz dzimmah adalah jual beli sesuatu dengan menyebutkan sifat, seperti ketika membeli barang yang tidak diketahui atau tidak dapat dilihat tapi di situ terdapat sifat-sifat atau gambaran barang tersebut. Hukumnya boleh ketika ditemukan sifat yang telah disebutkan. [c] Bai’ ‘ain ghoibah ialah jual beli yang barangnya tidak diketahui dan tidak dapat dilihat (abstrak). Model ini hukumnya tidak boleh sebab adanya larangan jual beli penipuan. [d] Bai’ manfa’at yaitu jual beli manfaat barang atau disebut dengan istilah ijaroh (sewa). (al-Iqna’, II, 2-3)
Model jual beli online sendiri masuk dalam kategori bai’ maushuf fidz dzimmah. Sebab, penjual menyebutkan sifat-sifat produk yang dijualnya, disertai dengan harga. Seperti halnya makanan, dijelaskan secara mendetail takaran atau nettonya, buku, dijelaskan judul dan deskripsi atu sinopsis yang mewakili isi buku, begitu seterusnya. Dengan disebutkan ciri-ciri serta sifat barang itu secara jelas, maka konsumen tidak lagi samar. Penyebutan tersebut bisa menggunakan tulisan, atapun visual berupa gambar.

Kemudian persoalan lain, apakah dalam jual beli online ini terdapat shighat? Sebenarnya dalam jual beli apapun harus ada rasa saling meridlai antara dua belah pihak, karena sabda Nabi:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya jual beli itu saling meridlai” (Sunan Ibn Majah,VI,419)

Tetapi, karena ridla itu tidak dapat dilihat dari luar, tempatnya dalam hati, maka untuk mengetahui apakah sudah ada rasa ridla atau belum antara penjual dan pembeli diperlukan shighat. Shighat menjadi pertanda kerelaan barang yang dibeli atau dijual. Dalam jual beli online banyak yang tidak menggunakan fasilitas audio, kecuali hanya beberapa saja. Sementara, jual beli membutuhkan shighat. Sedangkan dalam praktek ini shighat yang digunakan adalah melalui tulisan. Karena yang dimaksud shighat adalah sesuatu yang menunjukkan maksud, baik berupa lafadz, tulisan, maupun isyarat. (Fath al-Mu'in, III, 6, Hawasyi asy-Syarwaniy, VI, 366)

Jual beli online termasuk dalam model jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli dalam tempat yang terpisah, artinya yang namanya jual beli online itu tidak pada satu majlis (satu tempat). Kacamata fiqh memandang hal ini sah-sah saja.

Bahkan ketika shighat antara penjual dan pembeli menggunakan tulisan pun, masih disahkan transaksinya walaupun ada waktu tenggang antara ijab dan qabul, atau disela dengan lafadz yang tidak ada hubungannya dengan akad. Tetapi hal ini khusus jika shighat-nya menggunakan tulisan. (Tuhfah al-Muhtaj Fi Syarhi al-Manhaj, XVI, 249)

Dalam prrktik transaksi jual beli online mungkin hanya menentukan kesepakatan harga, karena lazimnya dalam jual beli online, sifat-sifat barang yang ditawarkan sudah dipaparkan secara jelas. Jika sifatnya sesuai dengan seperti yang dipromosikan, maka pembeli wajib menerima barang yang telah dikirim, karena sudah terjadi akad yang sah. Tetapi ketika barang yang dikirim ternyata tidak sesuai dengan yang ditawarkan di internet, pembeli boleh memilih (khiyar) antara jadi membeli dan tidak. Simpelnya, pembeli boleh menerima barang yang sudah dikirim, atau tidak menerimanya dan uang kembali. (al-Iqna', II, 2)

Problem yang mungkin muncul dalam jual beli model ini adalah penjual mengatakan suatu barang yang telah diserahkannnya tidak terdapat cacat, padahal terdapat kecacatan pada barang itu. Penjual merasa kalau barang yang dulu dikirimnya bukan barang cacat tadi. Ada pro-kontra antara keduanya. Bila hal ini terjadi, karena yang dilaksanakan adalah akad bai', maka yang dimenangkan pihak penjual (بائع) sebab ada kaidah fiqh yang mengatakan, “al ashlu as salamah”. Aslinya barang tersebut bebas dari cacat. (Raudlah at-Thalibin Wa 'Umdah al-Muftin, I, 485)

Intinya, jual beli online hukumnya boleh dan masuk dalam akad bai’. Dan penerimaan barangnya memerlukan tempo yang ditentukan. Karena termasuk rukhsah (dispensasi) yang asalnya jual beli barang yang tidak dapat dilihat itu tidak boleh menjadi boleh, karena telah disebutkan sifat-sifat barang yang nantinya bakal diterima. Juga dengan adanya kebutuhan bagi konsumen.
Kendati demikian, kita juga harus waspada dengan adanya penipuan-penipuan yang sangat mungkin terjadi. Ini lantaran tidak bertemunya kedua belah pihak secara langsung dan pembayaran sudah diberikan sebelum barang diterima. Bahkan Nabipun pernah mewanti-wanti dengan sabdanya:

التُّجَّارُ هُمُ الْفُجَّارُ
“Para pedagang itu adalah orang-orang yang berbuat buruk”

Walaupun Allah menghalalkan jual beli, namun dalam sambungan Hadits ini Nabi menyatakan kebanyakan para pedagang itu adalah pengumbar sumpah palsu dan melakukan perbuatan keji. (Sunan al-Baihaqy al-Kubro,V, 266). Maka berhati-hatilah! [eLFa]

Buletin EL-FAJR Edisi 13/02 Desember 2012