Jumat, 17 Juni 2011

SPIRIT PERDAMAIAN DAN KEADILAN BULAN RAJAB

Oleh : Taufiq Aulia Rahman, M.H.I


Telah ditegaskan di dalam Al-Qur'an bahwa jumlah bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan. Empat di antaranya merupakan bulan-bulan mulia, sebagaimana tertuang dalam firman Allah subhanahu wata’ala, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (At-Taubah [9] : 36).

Sebagai penjelas ayat ini terdapat sebuah hadits riwayat dari Abi Bakrah bahwa Nabi Shallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya masa berputar sebagaimana keadaan sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Empat di antaranya merupakan bulan haram. Yang tiga bulan berurutan, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Dan satu lagi bulan Rajab Mudhar, antara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari [2958]). Dari hadits ini telah jelas bahwa bulan haram yang dimaksud di dalam ayat di atas ialah keempat bulan tersebut. Sedangkan bulan yang paling utama dari keempatnya ialah bulan Rajab menurut sebagian ulama Syafi’iyah. Meskipun ada ulama lain yang memperselisihkannya.

Kebetulan kita sekarang tengah memasuki bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah. Sebagai hamba Allah tentunya kita juga harus memuliakan bulan ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat dimanifestasikan dengan perbuatan yang bersifat ritual transendental maupun kegiatan-kegiatan sosial. Orientasinya, mengisi bulan ini dengan hal-hal yang bersifat positif dan menjauhi segala bentuk kegiatan yang kontradiksi dengan kemuliaan bulan ini.

Bulan-bulan ini disebut bulan haram (mulia) berdasarkan dua hal; Pertama, pada bulan-bulan ini dilarang melakukan peperangan. Walaupun sebagian ulama berpendapat bahwa larangan perang di bulan haram ini telah di-nasakh. Hal ini juga menjadi tradisi di kalangan orang-orang jahiliyah zaman dulu. Mereka senantiasa menghentikan peperangan ketika memasuki bulan-bulan haram. Makanya, bulan Rajab disebut pula dengan Rajab ‘Al-Asham’ yang artinya tuli lantaran pada saat bulan Rajab, orang-orang jahiliyyah menanggalkan senjata mereka. Tidak ada peperangan dan tidak terdengar sedikit pun suara gemerincing pedang pada bulan tersebut. Ini berarti bulan-bulan haram, khususnya bulan Rajab merupakan bulan perdamaian dan lepas dari pertikaian.

Kedua, sebagaimana disebutkan di dalam ayat di atas, bahwa Allah melarang manusia berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram. Hal ini bukan berarti kita boleh melakukan keharaman pada bulan-bulan lainnya, tetapi pada bulan-bulan haram ini larangan melakukan kemaksiatan lebih ditekankan. Demikian pula pada bulan-bulan ini manusia lebih diperintah untuk melakukan ketaatan. Hal ini dikarenakan setiap perbuatan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan ini akan dilipatgandakan.

Sebaliknya, jika berbuat baik pada bulan ini, maka pahalanya juga dilipatgandakan. Sebab, jika Allah telah mengagungkan sesuatu, maka kemuliaannya pun berlipat ganda, sehingga jika seseorang melakukan kemaksiatan di dalamnya, maka dosanya akan dilipatgandakan sebagaimana jika melakukan amal saleh, maka pahalanya pun dilipatgandakan. Hal ini senada dengan orang yang melakukan amal kebaikan di tanah haram, maka pahalanya pun lebih banyak dari pada beribadah di selain tanah haram. Hal ini berarti pada bulan ini kita harus lebih menahan diri dari melakukan berbagai bentuk kezaliman, baik berbuat zalim pada diri sendiri maupun kepada orang lain. Perbuatan zalim merupakan kontradiksi dari keadilan. Sehingga, secara tersirat pada bulan ini terdapat perintah untuk menegakkan keadilan. Dari dua hal ini, dapat dipetik kesimpulan bahwa bulan haram khususnya bulan Rajab memberikan spirit perdamaian dan keadilan.

Mengingat fenomena yang dialami bangsa kita akhir-akhir ini selalu dipenuhi dengan berbagai konflik dan pertikaian. Baik pertikaian antar warga, antar kelompok, antar aliran, bahkan antar rakyat dengan aparat keamanan, atau pertikaian antar elite politik. Tidak jarang pula pertikaian ini pun menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Konflik dan pertikaian ini seakan-akan tidak pernah habis. Selesai satu, tumbuh yang lain lagi dan begitu seterusnya. Makanya, datangnya bulan mulia ini seyogyanya kita jadikan sebagai momentum untuk memelihara perdamaian dan menghentikan pertikaian dan segala bentuk kekerasan. Segala permasalahan yang menghimpit bangsa ini hendaknya diselesaikan dengan cara yang damai dan dialogis tanpa menggunakan kekerasan.

Di sisi lain, kezaliman dan ketidakadilan di bumi pertiwi ini sudah menjadi hal yang lumrah. Sebaliknya keadilan justru menjadi barang langka. Yang benar dipersalahkan, yang salah dibebaskan, yang jujur dicemooh, yang berbohong justru disanjung-sanjung. Kezaliman ini telah merambah ke semua level dan lini masyarakat, mulai dari penentu kebijakan, pembuat undang-undang, maupun penegak hukum. Misalnya, tidak sedikit kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada penguasa dan orang-orang berduit yang justru menggencet rakyat lemah, korupsi semakin merajalela, orang-orang yang menilap uang rakyat miliaran rupiah dengan bebas dapat melenggang ke luar negeri, sementara rakyat kecil yang hanya mencuri sebuah semangka atau beberapa gelintir kakao harus mendekam di penjara. Masih banyak kasus-kasus lain yang merupakan bentuk kezaliman di negeri ini. Bulan Rajab ini hendaknya dapat dijadikan momentum untuk memerangi segala bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Sehingga, keadilan di negeri tercinta ini tidak hanya menjadi angan-angan kosong.

Oleh karena itu, berangkat dari spirit yang dibawa oleh bulan Rajab ini, marilah kita secara bersama-sama memupuk persaudaraan dan perdamaian, menghindari segala bentuk kezaliman dan menegakkan keadilan serta mengisinya dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang positif untuk kemasalahatan diri kita sendiri dan masyarakat pada umumnya dengan memperbanyak melakukan amal saleh, misalnya berpuasa, berzikir, dan berdoa. Ingat bahwa dosa dan pahala dilipatgandakan pada bulan mulia ini.

Penulis adalah: Musyrif (Ustadz Pembimbing) Ma'had Qudsiyyah Menara Kudus
Tulisan ini dimuat di KOLOM JUM'AT Harian Radar Kudus Jawa Pos, Edisi Jum'at 17 Juni 2011

Rabu, 15 Juni 2011

JALAN-JALAN ALA MA’HAD QUDSIYYAH

Liburan madrasah kali ini benar-benar dimanfaatkan betul bagi para santri Ma’had Qudsiyyah untuk terus belajar. Tapi kali ini beda. Pembelajaran kali ini dilaksanakan di luar kelas. Setelah sehari sebelumnya melakukan studi keredaksian di kantor harian Radar Kudus, Rabu (15/6/2011), para santri ini melakukan kunjungan ke beberapa tempat usaha.







Sekitar tiga puluh santri Ma’had Qudsiyyah melakukan kunjungan ke usaha sablon milik bapak Rosyidi, Lemah Gunung, Bakalan Krapyak, Kaliwungu Kudus, sekitar satu kilometer sebelah utara Ma’had Qudsiyyah. Di tempat tersebut para santri langsung belajar mengenal peralatan sablon, serta bahan-bahan sablon.


Dengan bimbingan langsung dari pemilik usaha Rosyidi, para santri dengan antusias melihat dari dekat proses pembuatan sablon. Sekitar tiga jam lebih para santri mengamati langsung serta diberikan teori-teori dasar tentang sablon dan pewarnaan dari ustad Aries Urianto.


Usai kunjungan dari pengusaha sablon, perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi usaha percetakan Arjuna Barokah, sekitar setengah kilometer arah selatan dari lokasi Ma’had. Di tempat tersebut para santri meoihat langusng proses percetakan, mulai dari peralatannya, mesin-mesinnya, hingga hasil yang telah jadi maupun setangah jadi. Para sanri juga diperkenalkan dengan bahan percetakan serta proses percetakan yang cukup rumit. Jadi, dalam kunjungan tersebut diharapkan para santri Ma’had Qudsiyyah mengenal lebih dekat usaha percetakan serta usaha sablon.



Meski dengan berjalan kaki, para santri tetap semangat menapaki jalan pulang menuju pemondokan di lingkungan Ma’had. Apalagi dalam perjalanan pulang tersebut, para santri sempat berunjung juga ke galeri Creativelabs, yang berada tepat di sebelah selatan perempatan Jember. Di tempat tersebut, para santri melihat langung kerajian-kerajian serta hasil karya budaya Kudus, seperti Batik Kudus lukisan, kerajinan tangan, desain-desain gambar khas kota Kudus dan lain sebagainya. Dalam kesempatan tersebut, salah satu pemilik galeri, Maesah Anggni juga sempat memberikan penjelasan kepada para santri tentang karya-karya yang dipajang pada galeri tersebut.(*)

SANTRI MA’HAD "NGAJI" KEREDAKSIAN DI RADAR KUDUS


Memanfaatkan waktu liburan panjang madrasah, santri-santri Ma’had Qudsiyyah melakukan berbagai kegiatan. Diantaranya adalah studi keredaksian di kantor Radar Kudus Jawa Pos. Kegiatan yang diikuti sekitar 30 santri tersebut dilaksanakan pada Selasa malam (14/6/2011).

Para santri yang mayoritas mengenakan sarung, baju koko dan berpeci ini diterima baik oleh GM Radar Kudus, Ganang Rosyidi serta Pimred Radar Kudus, Djoko Edi Suryono. Di hadapan para santri, GM Radar Kudus tersebut meminta pada para santri untuk tetap semangat dan optimis menghadapi kemajuan zaman. “Santri tidak identik dengan katrok dan ketinggalan zaman, santri telah membuktikan diri mampu menghadapi apapun,” ungkap Ganang yang merupakan alumni salah satu pesantren di kota ukir, Jepara.


“Gusdur telah jadi Presiden, Mahfud MD jadi ketua MK, mereka adalah alumni pesantren, dan seorang Ganang yang alumni pesantren juga bisa menjadi pemimpin media massa,” ungkapnya kepada seluruh santri dengan humor khas pesantren.
Diakuinya, kunjungan para pelajar SMA sederajat atau pelajar SMP sederajat ke kantor Radar Kudus memang telah sering dilakukan, tetapi kunjungan para santri dari pesantren baru kali ini terjadi. Hal ini diapresiasi dengan cukup baik. Bahkan, direncanakan media yang terbit di Pantura ini bakal memberikan halaman khusus bagi karya para santri, yang tentu saja bakal melibatkan Ma’had Qudsiyyah serta pesantren-pesantren lain di kota Kudus, Jepara, Pati, Rembang, dan Purwodadi.

Sedang Pimred Radar Kudus menekankan kepada para santri untuk selalu belajar membaca dan menulis. Ia menegaskan dalam agama Islam, wahyu ilahi yang muncul pertama kali kepada Nabi Muhammad tak lain adah tentang Iqra’ yang tidak hanya bermakna membaca an sich tetapi juga bermakna membaca dan kemudian dilanjutkan degan menulis.


Dalam acara tersebut para santri juga belajar langsung kepada para wartawan serta para redaktur serta layouter yang sedang mengerjakan tugas untuk penerbitan Radar Kudus esok harinya. Para santri, selain berkesempatan melihat langsung proses penulisan dan editing berita, juga dapat dengan leluasa bertanya kepada para wartawan dan redaktur yang sedang bertugas. Selain itu mereka juga berkesempatan melihat langsung penataan halaman serta perwajahan halaman yang akan terbit keesokan harinya. (*)

Jumat, 10 Juni 2011

IMPLAN SILIKON, SIAPA TAKUT?

Hidup di zaman modern memang gampang-gampang sulit. Berbagai jenis teknologi mampu menguasai dunia. Begitu cepat zaman berubah, dari zaman era sandal jepit kini menjadi era komputer, era telephon ataupun era robot sehingga sangat membantu manusia dalam menjinakkan masalah yang dihadapi manusia.

Belum lama ini, teknologi telah menawarkan alat mutakhir dalam bidang kedokteran yang dapat mengubah atau memperindah tubuh seseorang dengan cara operasi. Seperti operasi khusus mempercantik wajah agar lebih sedap dipandang, operasi selaput dara untuk mengembalikan keperawanan, operasi ganti kelamin, dan semacamnya.

Tidak sedikit orang yang sukses menjalankan operasi. Katakanlah, Malinda Dee, seorang penggelap uang milyaran rupiah, memasang silikon di dalam payudaranya, Dewi Persik, baru-baru ini diberitakan operasi selaput dara. Entahlah apa motifnya, mungkin agar bisa tampil dengan casing baru, atau dengan alasan-alasan lain. Dan ternyata masih banyak contoh lain. Yang jelas, motif mereka untuk melakukan hal itu tentu berbeda-beda, sesuai dengan yang mereka butuhkan.

Maka dari itu, bagaimana fiqh menanggapi fenomena ini?
Sebelumnya kita bisa berangkat dari sebuah ayat:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آَذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Dan aku (setan) benar-benar akan menyesatkan mereka dan akan membangkitkan angan-angan kosong mereka dan akan menyuruh mereka (memotong teliga-telinga binatang ternak) lalu mereka benar-benar memotongnya dan aku akan perintah mereka (mengubah ciptaan Allah) lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barang siapa menjadikan setan pelindung selain Allah maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.(QS. an-Nisa': 119)

Kita bisa petik dari cuplikan ayat tadi sebuah kalimat falayughayyirunna khalqallah. Ada dua tafsiran mengenai kalimat tadi. Pertama, mengubah ciptaan Allah, artinya mengubah agama (ad-din) Allah. Bisa jadi mengubah agama Allah di sini adalah perubahan agama secara total, atau dalam arti ganti kelir (murtad), atau juga diartikan menghalalkan barang haram dan sebaliknya mengharamkan barang halal. Jika berangkat dari tafsiran ini –khalqullah diartikan diinullah--jelas tidak akan ada hubungannya dengan pembahasan ini.

Sedang tafsiran yang kedua ialah, mengubah ciptaan Allah berupa anggota luar tubuh manusia atau sifat-sifat dasar manusia seperti mengebiri, membutakan mata dan memotong telinga.(Tafsir an-Naisaaburiy, III, 79, al-Bahr al-Mukhith, IV, 282)

Dari sinilah kita mulai pembahasan. Banyak ulama-ulama yang mengutarakan pendapatnya tentang taghayyur ini. Salah satunya ialah Abu Ja'far at-Thabari. Ia mengatakan bahwa tidak boleh mengubah suatu yang diciptakan Allah pada seseorang dengan menambah atau mengurangi. Contoh, jika ada seseorang yang mempunyai anggota tubuh yang lebih banyak dari normalnya maka dia tidak diperbolehkan memotongnya, karena termasuk taghyiiru khalqillah (mengubah ciptaan Allah). Atau juga dia mempunyai gigi yang terlalu panjang maka tidak boleh memendekkannya. Tapi al-Qadli 'Iyadl menambahi bahwa pemotongan tersebut hukumnya boleh jika kelebihan anggota tadi membebani padanya. Juga ada yang mengatakan bahwa taghyir di sini bukanlah mengubah yang bersifat selamanya. Apabila perubahan itu bersifat sementara seperti eyeliner (celak) atau kosmetik lain maka diperbolehkan menurut Imam Malik dan ulama-ulama lain. (Nailul Author, X, 156)

Dalam kitab Fatawa al-Azhar diceritakan, seseorang mempunyai anak yang di tangannya ada jari tambahan. Dia membiarkannya sampai usia 5 tahun. Pada saat itu dia melihat anaknya dicemooh oleh teman-temannya. Karena tangannya yang tidak normal. Lalu dia menanyakannya, apakah jika aku memotong jari itu hukumnya haram? Jawabannya tidak. Karena menghilangkan semacam jari atau gigi tambahan itu bukan termasuk taghyir yang diterangakan ayat tadi melainkan yang dimaksud adalah taghyir yang bermotif memperindah atau mempercantik ciptaan Allah. (Fatawa al-Azhar, X, 268)

Lalu bagaimana dengan Hadits Nabi yang melarang membuat tato dan menyambung rambut?
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
Allah melaknati perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan rambutnya dan perempuan pembuat tato dan yang minta dibuatkan tato.(HR. Imam Bukhari. Hadits Shahih)

Hadits ini sudah jelas melarang orang yang memasang rambut dan membuat tato. Jelas di dalamnya ada bentuk taghyir dalam mengubah warna kulit. Adapun menyambung rambut bukan termasuk taghyir. Tetapi di dalamnya ada komponen berupa tadlis (pemalsuan) dan gharar (penipuan). Perbuatan ini juga bisa menarik ke perbuatan zina. Hal ini kelihatan indah, tapi kenyataanya, tidak seindah dlahirnya. Bagai buah kedondong, kulitnya mulus, namun isinya berduri.

Ada juga lho, perubahan yang tidak termasuk dalam taghyir (diperbolehkan oleh Allah secara nash), yaitu khitan, memotong rambut, memotong kuku, dan pelubangan telinga bagi wanita. perubahan ini diperbolehkan karena memiliki faedah tersendiri. Yang pertama khitan yang berfaedah di bidang kedokteran, yaitu mengantisipasi datangnya penyakit yang disebabkan berkumpulnya kotoran-kotoran atau najis-najis di khasyafah (kulup), mengurangi syahwat, dll.

Sedangkan memotong rambut untuk mengurangi resiko bahaya dan penyakit. Dan memotong kuku agar memudahkan pekerjaan yang menggunakan tangan. Misalnya mengangkat benda-benda, maka akan menjadi sulit jika di jarinya tumbuh kuku yang panjang. Faedah potong kuku yang lain ialah merupakan salah satu upaya menghindari penyakit. Dan pelubangan telinga untuk wanita yang dipergunakan sebagai pemasangan anting dan berhias. (at-Tahrir Wa at-Tanwir, IV, 258)

Ada pengecualian dalam taghyir, yaitu jika taghyir tersebut bertujuan untuk pengobatan suatu penyakit, maka hukumnya tidak haram. (Nailul Author, X, 156)
Sekarang bagaimana dengan pemasangan silikon?

Silikon adalah polimer non organik yang bervariasi, dari cairan, gel, karet, hingga sejenis plastik keras. Beberapa karakteristik silikon antara lain tak berbau, tak berwarna, kedap air serta tak rusak akibat bahan kimia dan proses oksidasi, tahan dalam suhu tinggi serta tidak dapat meghantarkan listrik. Dalm dunia kedokteran modern, silikon dikategorikan sebagai bahan terbaik untuk melakukan perbaikan bagian tubuh, karena penolakan jaringan tubuh terhadap silikon tergolong rendah.

Pemasangan silikon, baik di hidung, bibir, payudara, atau anggota tubuh lain termasuk dalam kategori taghyir. Karena itu hukumnya diharamkan jika memang hanya diniatkan untuk membuat tambahnya sensualitas tubuh. Sedang jika memiliki tujuan lain seperti yang tersurat di atas, maka diperbolehkan.

Jadi, hukum taghyir tersebut tergantung dengan tujuan si pelakunya. Jika taghyir tersebut bertujuan untuk hal yang berfaedah seperti halnya pengobatan atau mengembalikan ciptaan Allah ke normalnya maka hal itu diperbolehkan. Tapi jika hanya untuk memoles tubuh saja agar bisa dipamerkan maka itu tidak diperbolehkan. Apalagi sampai mengubah fitrah manusia, yang asalnya perempuan diubah menjadi laki-laki, atau sebaliknya, laki-laki diubah menjadi perempuan. [eLFa]

Sabtu, 04 Juni 2011

GRATIFIKASI, HIBAH ATAU SUAP?

Lebih dari sepuluh tahun Reformasi, bangsa ini belum mampu tuntas memerangi KKN. Bahkan disinyalir semakin hari, penyakit yang merongrong negeri ini kian tumbuh varian-varian serta model baru. Publik pasti terus mendengar kasus korupsi yang menjerat pejabat publik negeri ini. Belum tuntas satu kasus yang menerpa satu pejabat, muncul kasus lain, muncul "gaya" baru dalam kasus tersebut.

Tak hanya korupsi, suap pun disinyalir terus bermetamorfosis dengan sebutan-sebutan anyar. Apakah itu uang hibah, hadiah, bahkan uang persahabatan. Untuk sebutan paling akhir ini, publik pasti masih terngiang-ngiang ulah M Nazaruddin yang meninggalkan segepok uang dalam amplop pada Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK), Janedjri M Gaffar. Tak mau kesandung masalah, lembaga yang dipimpin Mahfud MD itupun langsung mengembalikan uang tersebut kepada Nazaruddin.
Mahfudz menyatakan, uang tersebut bukan termasuk dari suap, tetapi masuk dalam lingkup gratifikasi. Karena, pada saat itu Nazaruddin tidak punya perkara/kasus apapun dengannya.

Hemm, lalu, bagaimana pandangan fiqh tentang hal ini ?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) gratifikasi ialah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Dalam konsep fiqh, segala macam pemberian disebut ‘athiyah. Sedang ‘athiyah itu ada beberapa macam, yakni shadaqah, hadiah, dan hibah.

Shadaqoh ialah pemberian yang bertujuan untuk mendapatkan pahala. Dalam hal ini pemberian tersebut dimaksudkan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan sebagai penghormatan atau penghargaan atas prestasi seseorang. Baik bertujuan untuk mendapatkan pahala atau tidak. Bisa juga penghormatan ini dikarenakan penghormatan atas ilmu atau nasab yang dimilikinya. Sedangkan Hibah adalah pemberian kepada seseorang tanpa tendensi (tujuan) apapun. Jadi, hibah lebih umum dibandingkan dengan shadaqah dan hadiah. Baik shadaqah maupun hadiah, keduanya termasuk dalam kategori hibah, tapi tidak bisa diartikan sebaliknya. Adapun hukum semua pemberian di atas adalah sunnah. (Raudlah al-Thalibin Wa Umdah al-Muftin, IV, 132, Hasyiyah al-Jamal, XV, 60).

Namun begitu ternyata ada juga pemberian yang diharamkan yakni risywah (suap). Risywah adalah menyerahkan sesuatu kepada seseorang -baik hakim dan yang lain (pemegang keputusan)-, agar memberi sebuah keputusan atau agar si penerima melakukan sesuatu secara tidak benar sesuai dengan kehendak si pemberi demi kepentingan individu, kelompok, maupun golongan lain.
Dalam hal ini, baik orang yang memberi suap maupun orang yang menerima suap hukumnya haram seperti dalam hadits,
لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم . رواه ابن حبان وغيره وصححه
Allah melaknati orang yang meyuap dan yang disuap yang banyak terjadi pada masalah hukum

Beda lagi kasusnya, bila pemberian itu dimaksudkan agar si penerima memberi keputusan secara adil dan benar, maka dalam hal hukumnya dirinci. Bagi si pemberi diperbolehkan, tetapi bagi yang menerima hukumnya haram. (Asna al-Mathallib, XXII, 203, Fatawa as-Subkiy, I, 604-605).

Kemudian gratifikasi termasuk dalam kategori apa?
Secara umum gratifikasi masuk dalam kategori hibah, karena dalam hibah tidak ada maksud apapun di dalam pemberiannya. Akan tetapi bila pemberian (hadiah) kepada hakim atau pemegang kekuasaan, maka hukumnya dirinci. Dalam fiqh, pemegang kekuasaan sendiri terdiri dari 3 macam, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam konteks Indonesia, legislatif adalah mereka wakil rakyat mulai dari DPRD II Kabupaten, DPRD I Provinsi hingga DPR RI. Sedang eksekutif adalah Presiden, Menteri dan para aparatur negara mulai dari desa/kelurahan hingga pusat. Dan ketiga yudikatif yang dipegang oleh para hakim dalam memberikan keputusan hukum. Jadi, dalam persoalan hadiah ini, tidak hanya terbatas pada para hakim saja, tetapi menyangkut seluruh komponen pemegang kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif. (Al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, VIII, 6137)

Adapun hukum pemberian hadiah kepada pemegang kekuasaan adalah: Pertama, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang sedang mempunyai perkara, maka hal ini haram dikarenakan pemberian tersebut dapat membuat condongnya hati (memiliki tendensi) sang hakim kepada si pemberi.

Kedua, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang tidak mempunyai perkara, sedang biasanya orang tersebut tidak pernah memberi (ketika sebelum menjadi hakim), maka hukumnya haram. Tetapi dalam kitab al-Kifayah dirujuk dari kitab an Nihayah dan al Basith, mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh. Jika pemberian ini diharamkan, berarti si penerima tidak berhak menerima pemberian tersebut, sehingga ia harus mengembalikan kepada si pemberi, jika tidak memungkinkan, maka pemberian tersebut diserahkan ke baitul mal (kas Negara).

Ketiga, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seorang yang tidak memiliki perkara/kasus dan si pemberi memang biasa memberikan sesuatu kepada hakim atau pemegang kekuasaan sebelum menjadi pejabat, maka dalam hal ini hukumnya halal. Sedangkan hukum menerimanya adalah makruh dan lebih baik menolak/tidak menerimanya. Atau bisa juga si penerima menerimanya dan kemudian membalas pemberian tersebut, atau si penerima menerimanya kemudian pemberian tersebut dimasukkan ke dalam baitul mal, kas negara. (Asna al-Mathallib, XXII, 204)

Memang, semua pemberian itu rawan bila ditujukan bagi orang-orang yang memiliki jabatan. Kalau tidak hati-hati maka akan terjebak dalam kubangan risywah. Umar bin Abdul Aziz (W. 101 H), salah satu khalifah yang adil di masa Umayyah, mempunyai sikap kehati-hatian dalam menerima pemberian seseorang kepada dirinya. Dia bukannya tidak mau menerima hadiah, tapi ia masih harus berpikir ada maksud lain tidak dalam pemberian itu. Dia merasa ada yang tidak beres dalam pemberian tersebut. Dan itulah yang dilarang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu pemberian yang mempunyai kedudukan atau jabatan dengan tujuan agar dia bisa membantu si pemberi, untuk mencapai hal-hal yang tidak halal untuknya.

Umar bin Abdul Aziz dengan tegas berkata:
كانت الهدية في زمن رسول الله هدية واليوم رشوة
"Hadiah pada zaman Rasulullah masih (berfungsi) sebagai hadiah tapi pada saat ini (sudah berubah menjadi) suap."

Yang dimaksud hadiah di sini adalah hadiah kepada pejabat dan pegawai pemerintahan. (Shahih Bukhari, II, 916)

Maka menjadi logis kalau hadiah bagi pejabat sangatlah rawan. Karena akan bisa dijadikan kesempatan untuk meraih tujuan tertentu. Masalah gratifikasi ke pejabat sendiri sudah diatur dalam Undang-undang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyampaian laporan wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. KPK dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. Pelaporan gratifikasi ke KPK ini dilakukan dalam rangka menjaga martabat penerima dan pemberi jika memang perolehan dan pemberian gratifikasi tidak melanggar aturan hukum.

Akhirnya, sebagai rakyat, jangan terlalu mudah memberikan "hadiah" apapun terhadap para pegawai atau pejabat negara, baik itu ketika memiliki perkara atau tidak. Pelayanan serta tugas yang dijalankan para pejabat sudah menjadi kewajiban mereka selaku abdi Negara.

Di sisi lain, bagi para pejabat sudah menjadi kewajibannya melaporkan segala bentuk pemberian yang dialamatkan kepadanya kepada KPK. KPK akan memutuskan apakah pemberian tersebut daopat menjadi milik pejabat tersebut atau justru pemberian tersebut akan masuk dalam kas Negara.

Tetapi yang paling penting, baik dari rakyat maupun pejabat hendaknya sama-sama menyadari bahaya adanya "pemberian" yang berlebih tersebut. Hendaknya kedua belah pihak sama-sama menjaga diri dari godaan "setan" tersebut.

Kesadaran ini akan lebih mengena bila para pejabat yang berwenang (baik dalam penegakan hukum dan sebagainya) mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat. Tentu hal ini harus dimulai dari para pejabat untuk berbuat adil, menegakkan hukum tanpa pandang bulu dan anti menerima "pemberian" liar. Dengan sendirinya, rakyat akan segan dan bersama-sama memerangi suap dengan berbagai macam variannya. [eLFa]